Mudah-mudahan janji Mocsya betul ya, teman-teman!
Nasi goreng jadi. Dimakan bertiga bersama Kakek Junaedi. Sedap. Sedap sekali. Rasanya tak ada yang menandingi. Mungkin karena Mocsya bekerja keras untuk mendapatkannya. Atau mungkin karena peluh yang jatuh di nasi goreng saat membuatnya.
Biarlah.
Hari ini, Mocsya betul-betul banyak menemukan arti. Arti dari solat, ketepatan waktu, dan kerja keras.
Mau mencoba? Ayo segera!
Jam delapan, Bagus sudah mengajak tidur. Padahal masih sore. Mocsya ikut, karena Mocsya tamu. Tak mungkin Mocsya menolak. Di rumah Kakek Junaedi tak ada televisi. Jadi tak bisa menonton sinetron.
***
Matahari belum tinggi. Baru juga muncul. Mocsya juga belum sarapan pagi. Apalagi gosok gigi. Ada yang mengetuk pintu besi. Tak ada yang bereaksi. Dibiarkan saja ketukan itu. Setiap orang sedang sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri. Apalagi si Oca, manusia yang paling cuek se-rumah. Tak mungkin ia peduli. Kecuali ada banjir bandang seperti di Situ Gintung. Pasti Oca akan peduli, eh, tetap tak akan peduli. Oca malah akan lari. Sendiri.
Akhirnya, ketukan pun pindah ke pintu kamar Oca. Jangan-jangan ada hantu. Oca ketakutan sendiri. Tak mungkin. Hantu tak mungkin mengetuk pintu. Untuk apa susah-susah mengetuk pintu. Hantu kan bisa menembusnya. Tanpa suara. Tahu-tahu sudah ada di hadapan Mocsya. Tak mungkiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiin! Jurus penyelamatan yang paling manjur adalah lari.
Tapi apa di kata. Saat membuka pintu. Di bangku ruang tamu. Ya, di bangku ruang tamu. Sudah ada perempuan tercantik di Indonesia, bahkan di dunia. Dia sedang duduk manis. Sendirian. Ada apa? Pikir Oca.
Seekor lalat terbang bebas. Mendarat tepat di mulut Oca yang terbuka. Sang punya mulut pun kaget tak kepalang. Mendapat serangan dadakan. Seperti Amerika pada saat perang dunia dua. Saat Jepang tanpa minta izin memborbardir pangkalan militernya di Pear Harbour, “Tora! Tora!”