Mohon tunggu...
yuliana pertiwi
yuliana pertiwi Mohon Tunggu... -

Seorang Pemimpi Yang sedang Berjuang, dan mudah-mudahan idak akan pernah lekang....

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Terlintas Satu Kata

5 Oktober 2015   10:03 Diperbarui: 5 Oktober 2015   10:03 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku bergeming. Mematung menatap nanar pada surat yang berada di genggamanku. Aku merasa ditelan oleh lidah-lidah api yang siap membakarku. Apakah ini mimpi? Bukan, ini bukan mimpi, karena rasanya tidak mungkin sesakit ini. Mike Ayahku! 2 kata itu terngiang jelas ditelingaku. Orang yang kubenci selama ini adalah Ayahku.

Badanku merosot dilantai. Aku terduduk lesu. Aku masih tidak mempercayai fakta itu. Sejenak, tatapan teduh Mike kembali membayangiku. Tatapan teduh yang seolah ingin memberi ketenangan bagiku. Tapi, aku telah meremuk tatapan teduh itu dengan kebencian dan ketidak tahuanku.

Seharusnya aku meminta sebuah penjelasan dari Mike. Seharusnya aku tidak melaporkan dia ke polisi. Seharusnya aku tidak membuat pengakuan palsu yang telah kulakukan itu. Aku ingin memeluk Mike seperti waktu itu. Aku ingin menangis dalam pelukannya.

Aku semakin tersedu dalam kubangan penyesalan. Apakah ini salah ku? Apakah aku masih membenci Mike, atas pengakuan yang telah dilakukannya? Aku tidak tahu! Aku bingung! Senyuman Mike. Senyuman tulus yang selalu ditujukannya padaku, ternyata bukanlah sebuah kepura-puraan seperti yang selalu kupikirkan.

Akupun bangkit, dengan segenap penyesalanku yang semakin menyesak. Akupun berlari menuju jalanan. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku hanya ingin memeluk Mike, oh tidak maksudku… Ayah. Ya! Ayah. Aku ingin memeluk Ayah dengan segenap penyesalan dan kata maaf dariku untuknya. Dia menyayangiku. Aku terus berlari menuju Ayah. Walaupun, aku tahu itu sudah terlambat. Tapi aku tidak peduli. Sepanjang jalan, aku selalu membisikan satu kata yang selalu terlintas dibenakku… Ayah!

***

1 Tahun Kemudian….

Pelangi dikaki langit itu terlihat menguntai indah ketika bersenda gurau dengan siluet cakrawala yang mulai mengeluarkan semburat keemasan. Pemandangan yang indah. Tentunya ini juga akan menjadi fenomena langka di New York. Bahkan, dalam pekatnya waktu yang selalu menyelubungiku akhir-akhir ini, aku sempat berpikir ingin menjadi seperti pelangi itu. Aku ingin menggapai pelangi itu dan menyimpannya disela-sela kerinduanku.

Aku sekarang berada disebuah Apartement besar. Ini adalah salah satu pemberiannya yang tidak bisa kubuang ditempat sampah seperti pemberian-pemberian sebelumnya. Aku senang ditempat ini. Selain aku dapat menikmati pemandangan elok yang kurasakan sekarang, aku juga dapat memandang gedung-gedung pencakar langit yang terlihat begitu menakjubkan apabila lampu-lampu jalanan di kota ini mulai dinyalakan.

Walaupun kehidupanku sempat padam, namun aku selalu mencoba untuk kembali menghidupkan kembali kepadamanku dengan cahaya redup yang masih tersisa. Cahaya redup dari kasih sayang Mike. Setidaknya, ketidak tahuanku itu telah menyongsongku menuju segala asa yang tidak kuketahui dari Mike.

Mike menyayangimu dengan caranya yang aneh. Itulah yang dikatakan Jordan setahun yang lalu ketika diriku masih dibentengi oleh kebencian dan dendam. Dia menyayangiku. Dia menyayangiku, tanpa mempedulikan dendam dan amarahku. Dia tidak mempedulikan jilatan api panas membara yang akan dia terima atas tindakan heroiknya kepadaku.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun