“Dia tidak berada dirumah. Dan seharusnya dia memang tidak ada...” Jawabku dengan suara meninggi.
“Hey... sabar! Apakah begini caramu menyambut tamumu?” Kelakar Issabel sambil menatap rendah padaku. Tatapan yang mengintimidasi!
Aku berjalan kearah pintu, lalu menarik kasar handle dari pintu itu. Aku menatap tajam kepada dua tamu tak diundangku yang kini masih dengan tatapan mengintimidasi mereka.
“Tamu tak diundang itu memang harus diperlakukan seperti ini. Jika kalian tidak menyukai caraku, kalian boleh angkat kaki dari sini, dan... well pintuku cukup lebar buat kalian melangkah keluar dari rumahku,”
Masih dengan pandangan mengintimidasi, merekapun beranjak dari rumahku. Elsie menatapku dengan pandangan yang membuatku bergidik.
“Kau akan menerima balasan atas perlakuanmu itu, anak aneh!” Ujarnya sambil berlalu pergi.
Ya... kurasa itu menandakan bahwa karya ilmiahku juga sudah tamat!
***
Manusia itu adalah makhluk yang plin-plan. Bahkan sangat plin-plan. Mereka akan segera berubah pikiran ketika mereka dihadapkan pada dua kenyataan. Hidup dan mati. Maju dan mundur. Namun, kebanyakan dari manusia akan memilih mati dan mundur. Mereka memilih mati apabila mereka sudah lelah untuk menghirup nikmat oksigen yang tadinya mereka angkuhkan, “Aku kaya, aku punya segalanya. Aku punya oksigen yang tak terbatas”. Sedangkan mereka akan memilih mundur, apabila mereka sudah lelah untuk mendaki tebing yang semakin terjal, “Aku sudah tidak sanggup mendaki tebing ini, apabila yang kutemui hanyalah ketakutan dan bebatuan yang siap menerjangku. Biarlah aku turun dan mati dalam kegelisahan dari pada aku jatuh dan mati dalam ketakutan”.
Aku hanya bisa mengernyit ketika Mr. Pullman menyuruhku untuk mendatangi ruangannya. Aku tahu maksud dan tujuan dari panggilan Mr.Pullman. Kalau ini sangat berpengaruh terhadap nilai Akademik yang telah kudapat selama disekolah ini, dengan sangat berat hati aku terpaksa menerima kembali Elsie dan Issabel dalam karya ilmiahku, walaupun dengan berbagai tekanan yang akan mereka lakukan. Itu artinya, aku memilih mati dan mundur.
Mr.Pullman menatapku. Sebuah tatapan yang menilai. Kadang, aku tidak begitu mengerti dengan orang-orang yang berpangkat seperti Mr. Pullman. Apakah gelar yang dia peroleh itu memang untuk digunakan menilai ketidak pantasan dari orang lain. Aku merasa bagaikan seorang gadis yang berdiri di atas jembatan rapuh yang mana setiap langkah kakiku meneriakan derit dan ketakutanku akan derasnya sungai yang menyambutku. Aku merasa ditelanjangi dengan tatapan yang tidak aku mengerti dari orang berpangkat ini.