Agak ngantuk, kuyu dan gelisah, gara-gara kurang tidur semalam. Tapi aku puas atas diriku. Aku akan kirim ke Suara Pembaharuan, Terbit, Pelita atau Republika. Belum pasti.
Diskusi dengan Mas Anto (Susanto Zuhdi) lebih terarah. Intinya, makalahku soal "Pembantaian Cina di Pariaman" dikritik Sitho sebagai "terlalu didramatisir" atau kata Mas Anto "Sebagai Putra Daerah". Nyatanya, masih sulit mengambil sikap. Bukan materi bahan yang disorot, tetapi lebih ke pribadi. Banyak masukan juga, antara lain identifikasi data. Kuliah dari pukul 09.00 (aku terlambat), break makan dan fotokopi dan diteruskan sampai 14.00.
Ada Dewi mencariku, tapi tak ketemu. Pulangnya diskusi dengan Teguh. Dia independen dan bangga akan dirinya.
Tidur sore dan malamnya ngetik, serta ke rumah Ida diajak Rival. Hanya ada ibunya dan May, kakaknya. Ngobrol akrab. Asumsiku tidak sejelek semula tentang keluarga Ida. May sangat bersahabat. Dia hobi ngumpulin perangko bekas dan aku menjanjikan memberikan perangkoku dari surat-surat yang datang.
Pulangnya kuhitung: mencapai 40 lembar. Lumayan. Rata-rata menerima 15 surat pertahun: dari Titin, keluarga, Zulfahmi, Zulkarnaen, Pak Bustamam, Bobby, Janna, Denok, Ince, Yanti, Syamsul, Nilawati, dan Ichwan Mustafa (IKIP Malang). Alangkah sedikitnya. Sebagai seorang yang suka bersahabat dan berkomunikasi, seharusnya aku lebih sering berkorespondensi, termasuk dengan orang-orang asing dan teman-teman dari seluruh Indonesia. Akan kulakukan untuk tahun-tahun mendatang.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H