Menerima surat Jana dari Lampung. Aku kagum pada isi surat Janna yang mengkritik keras isi suratku tentang "kebijaksanaan". Ada dialektika dan Janna punya pemikiran yang baik dan sistematis, serta punya rasa ingin tahu yang besar.
Rapat di SM FSUI, dipimpin Kamal. Sekadar persiapan untuk LPK. Anak Suara Mahasiswa UI mau ke Cisarua, untuk pelantikan. Sedangkan Zul dan Agus agak sakit, karena lelah.
Makalahku mengundang polemik di KSM UI, karena aku menyatakan bahwa pragmatisme adalah sintesa kegagalan kelompok studi dan parlemen jalanan di era 1980-an. Pragmatisme sendiri belum menjadi ideologi, tapi baru sekadar sikap dan tindakan mayoritas mahasiswa era 1990an. Kata Rudi, tulisanku bisa dikirim ke surat kabar. Aku menemukan kepercayaan diri dengan diskusi. Sangat positif. Pulang bareng Agus yang nanya hubunganku dengan Ema. Dia mendorongku untuk memilih Ema, ketimbang Dewi.
"Mereka adalah sahabatku," kataku.
Mudah-mudahan aku tidak terjebak dengan skandal wanita, ketika jadi orang penting nantinya. Amin! Wanita termasuk penghambat karier Aries, namun sebaliknya pemacu semangatnya untuk meraih cita-cita. Kontroversial.
Menonton film Hakim bin Dinar. Sangat bagus dan mengusik nilai-nilai imanku. Ya ALLAH, beri aku ampunmu.
O,ya, paginya juga menerima surat dari Syamsul (Universitas Sriwijaya) soal piagam SNAM. Obsesiku untuk membikin jaringan di seluruh Indonesia akan tercapai, asalkan aku konsisten. Makanya aku masuk Komisi Hubungan Luar SMUI, walau kurang disukai oleh Ikhsan.
"Elu akan disubordinasi oleh Zul," katanya. Juga, pertentangan pendapat soal Ketua Komisi Penalaran. Belum ketemu pemecahannya. Besok ke Bogor.
Minggu, 29 Mei 1994
Aku menilai, dilarangnya peserta luar negeri untuk menghadiri Konferensi tentang Timor Timur di Universitas Manila tanggal 31 Mei -- 4 Juni (semula sampai 20 Juni, tapi dipersingkat) sebagai bukti makin kuatnya posisi Indonesia di mata dunia, terutama di Asia Tenggara. Protes Indonesia atas konferensi tersebut, karena dinilai tidak menyelesaikan masalah dan sebagai provokasi politik belaka, ternyata ditanggapi Presiden Fidel Ramos dengan serius.
Kupikir pembatasan-pembatasan yang dilakukan oleh pemerintah Philipina, termasuk mencekal kedatangan pemenang hadiah Nobel Perdamaian asal Irlandia tahun 1976 Mairead Maquire dan batalnya kedatangan istri Presiden Perancis dan istri Presiden Portugal, menunjukkan lemahnya bargaining position Philipina dan implikasi dari adanya kebutuhan atau ketergantungan politik tertentu kepada Indonesia.