"Gua tahu siapa Agus," kataku.
Namun dari segi manajerial, Agus cukup mampu. Namun dalam jam terbang dan pengalaman politik, dia tidak terlalu intens dalam memahami dinamika yang ada.
Dan lagi, "Zul diplot oleh Agus," kata Ihsan.
Aku memang menyadarinya. Dan aku tidak tahu, akan jadi apa SMUI jika dikelola oleh orang-orang Zul dan Agus yang disamping tidak punya pengalaman, juga dicap hijau. Ada indikasi kearah merosotnya kepedulian mahasiswa pada SMUI. Apalagi ketua-ketua komisi dipegang oleh orang-orang yang tidak dikenal sebelumnya.
"Gua sudah memprediksikan bahwa elu yang menjadi Ketua Komisi Hubungan Luar," kata Ihsan.
SMUI mungkin butuh aku, tapi kelihatannya Zul tidak butuh. Aku mesti "tahan harga", dan kukatakan hal itu pada Subuh, ketika makan di Kansas.
Subuh kembali berpikir ulang untuk terlibat dalam kepengurusan. Apakah ada mekanisme yang mengatur penolakan terhadap susunan pengurus SMUI? Salah satu jalan yang masih terbuka adalah bicara dengan Bagus.
Ada Lulu dan katanya: "Jangan demonstrasi lagi, sebab tidak menghasilkan perubahan apapun!"
"Bukan perubahan fundamental, tapi sekadar sikap," kataku. Lulu khawatir dengan resikonya, dan itu wajar.
Ketemu Indra. Indra juga menemukan hal serupa: "Kenapa bukan elu yang jadi Sekum? Kenapa mesti Agus?" Dia dapat isu bahwa Agus adalah seorang penjilat (oportunis).
Kupikir, banyak tantangan untuk SMUI periode ini. Dan ini baru awal perjalanan, belum 5% jalan. Yang kuketahui, dan katakan secara olok-olok pada Agus kemaren, bahwa dia dipilih secara tidak demokratis. Sebelumnya, Sekum dipilih oleh para ketua SMF dan tim pendamping melewati seleksi beberapa calon. Agus menganggapku punya ambisi jadi Sekum SMUI dan "Itu hak prerogatif Ketua Harian!" katanya.