Mohon tunggu...
Indra J Piliang
Indra J Piliang Mohon Tunggu... Penulis - Gerilyawan Bersenjatakan Pena

Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara. Artikel bebas kutip, tayang dan muat dengan cantumkan sumber, tanpa perlu izin penulis (**)

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Catatan Harian Mei 1994

5 Februari 2022   03:20 Diperbarui: 5 Februari 2022   04:45 1201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KSM UI, Ketika AKU Tak Hadir

Berhubung "Catatan Harian Mei 1998" sudah lama saya sebar-luaskan, maka giliran "Catatan Hariam Mei 1994" ini muncul. Saat para pimpinan mahasiswa dari UI muncul pada jejaring masing-masing pada 1998, empat tahun sebelumnya mereka berada pada kancah hubungan yang saling benci, tetapi tetap berada dalam satu tikar pandan. Tak suka, dikatakan ke wajah sosok yang tak disukai. 

Pun saya minta maat, jika ada nukilan hubungan percintaan teman-teman saya di sini. Saya belum minta izin mereka. Tetapi, apakah saya perlu minta izin, mengingat MEREKA yang sekarang tentu berbeda dengan MEREKA yang ada dalam catatan harian ini. Jadi, permintaan maaf saya sungguhlah sikap yang penuh dengan keculasan. 

Pada akhirnya, UI! UI! Kampusku! Bersatu! Almamaterku! 

Kamis, 5 Mei 1994

Pagi mencoba mendengarkan kaset rekaman SNAM (Simposium Nasional Angkatan Muda 1990-an: Menjawab Tantangan Abad 21), mencari Taufik Rahzen. Tapi tak mendapatkan. Padahal, aku janji untuk merekamkan ulang bagi Fahri Hamzah, anak FEUI yang menemuiku kemaren.

Tidak ada kuliah -- Bayangkan, alangkah tidak disiplinnya para dosen!.

Minjam buku Deliar Noer. Becanda dengan Musa Emyus cs. Membicarakan acara ulang-tahunku dan Elsye Meilani di rumah Fana D Savitri.

Diskusi dengan Mbak Reni Pujiastuti tentang SMUI. Menemani tiga cewek IKIP Jakarta di perpustakaan. Aku merasa tidak perlu kenal nama dan alamat mereka.

Makan siang di Balsem dengan Subuh Prabowo. Sebelumnya mengenal Zulkieflimansyah secara lebih dekat dan Ai, Campaign Manager-nya.

"Memilih Zul bukan sebagai primus enter pares, tapi yang jelek di antara paling jelek," kataku.

Banyak hal yang kubicarakan dengan Subuh: idealisme, cita-cita, kondisi kemahasiswaan dan cewek.

"Tetapkan kriteria dan kejar, walaupun tidak mungkin 100%," katanya.

Ratih cs, adik kelasku, mendengarkan.

"Elu harus berani memulai, memutuskan dan mengikuti prosesnya," kata Purwadji, Ketua BPM Fakultas Psikologi. Tiba-tiba, anak-anak kulihat lebih bijak dari sebelumnya.

Kiriman dana sponsor untuk SNAM Rp. 2 Juta dari Bank Industri sudah masuk. Kupikir ada permainan di dalamnya. Jika didepositokan, mereka untung Rp. 600.000. Masalahnya, siapa "mereka"?

Dari 14.00 sampai 17.00 mengikuti Debat Lisan antara Eman Sulaeman Nasim versus Teddy dan Rivai (Phaon) versus Zul.

Zul dan Teddy bicara dalam tataran ide-konseptual. Eman lebih aplikatif. Rivai terlalu praktis. 

Perdebatan antara Zul-Rivai seakan antara seorang filsuf dengan rakyat biasa. Kecenderunganku adalah memilih Zul. Namun ada satu kelemahan dia: tidak bisa mensintesakan hal-hal yang teoritis dengan persoalan praktis di lapangan. Dan dia bisa belajar banyak dari pengalaman kemaren. Sepertinya, Mustafa Kamal, Agus Widiarto dan Sukarman Dj Soemarno adalah arsitek di belakang Zul.

Aku terlibat diskusi intensif dengan Jaha dan Yaswin Iben Sina. Sedikit move kulakukan, yakni mengiterupsi Rifky Mochtar yang menjadi moderator. Soalnya, dia memojokkan Eman dengan kalimat, "Anda salah menangkap isi pertanyaan."

Namun, aku tidak terlalu ngotot, soalnya akan menurunkan kredibilitas Rifky dan panitia. Untung Fajar (FHUI) segera tanggap. Ada permintaan untukku: "Tahun depan elu harus maju!"

Pulang, ke Kalibata Mall dan membeli buku harian ini dan Alan Laulin. Sebelumnya, bicara dengan Ikhsan Dongoran soal KSM-UI. Dia mampu akomodatif dan memotivasi anak-anak lainnya. KSM UI harus besar.

"Kalau elu salah, gua akan kritik. Kalau elu benar, gua dukung," begitu ikrar kami berdua.

Kupikir, aku harus maju tahun depan di SMUI. Tahun ini, mengakar dan berkiprah di KSM UI, serta menempa diri dengan konsep-konsep yang matang.

Jum'at, 6 Mei 1994

Kupikir, aku tidak bodoh dalam studi sejarah. Masalahnya, aku kurang membaca buku-buku sejarah dan tidak mendalaminya secara optimal, karena kesibukanku dalam dunia kemahasiswaan dan kedekatan hubungan dengan banyak anak di UI.

Waktuku habis untuk membicarakan banyak hal dengan orang-orang berbeda, sehingga tidak hanya terfokus pada satu persoalan.

Aku merasa yakin dengan kemampuanku, termasuk menjadi seorang pakar sejarah dengan syarat: memberikan lebih banyak waktu untuk mendalaminya. Aku hanya butuh waktu untuk menyelesaikan peranku selaku aktivis, dengan mengikuti seluruh prosesnya.

Setelah mantap, aku akan memfokuskan diri pada satu bidang: sejarah dan dunia penulisan. Secara perlahan, aku akan meninggalkan dunia kemahasiswaan.

Kuliah historiografi hanya memberikan peta permasalahan di sekitar sejarah, jenis-jenis penulisannya ataupun tokoh-tokoh dalam bidang tertentu. Hal ini perlu, apalagi dalam menentukan bahan yang akan dikerjakan dalam skripsiku.

Di perpustakaan membuat draf kertas kerja Bidang Pengabdian Masyarakat KSM UI, lengkap dengan program kerja dan dasar pemikirannya. Banyak hal yang bisa dilakukan: transfer ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, pengabdian dan dialog dua arah. Aku akan menawarkannya pada rapat KSM nanti.

Makan siang di Kantin Atas. Bicara dengan Saiful soal SMUI dan SM FSUI. Dia menanyakan konsepsiku tentang FS, suatu obsesi yang harus dilakukan di FS.

Kukatakan: 

"Satu hal yang belum dilakukan di FS adalah mengembangkan potensi-potensi di masing-masing jurusan dalam satu kesatuan Sastra. Sastra adalah pintu gerbang pertama dalam memahami suatu budaya atau negara lain. Selama ini, para pemikir atau tokoh-tokoh terkenal di Perancis, cuma dikenal oleh anak Sastra Perancis. Anak jurusan lain juga berkutat dengan jurusannya. Padahal, jika digabungkan, maka Sastra akan mampu berbicara sejajar dengan fakultas favorit lainnya. Dibalik itu, Sastra akan jadi satu. Bukankah kemanusiaan itu universal? Bukankah ilmu pengetahuan itu hukum-hukumnya juga sama di masing-masing negara, kecuali interaksinya dengan kebudayaan setempat?"

Aku juga bicara dengan Taufik Kurniawan, soal kebebasanku.

"Itu lebih baik, ketimbang menjadi pemimpin, tapi mengikuti kemauan kekuasaan yang lebih besar," kata Taufik.

Di Mesjid, ketemu Subuh dan kukatakan kepadanya, "Elu jangan melakukan move-move yang terlalu kasar dan kentara. Kalau elu ingin eksis, masuklah dalam kepengurusan SMUI berikutnya, siapapun pemimpinnya."

Dia lebih mudah mengeluarkan ide-idenya, jika ada dalam struktur.

Dalam perjalanan ke Mesjid, naik mobil Deden dengan JJ Rijal. Pembicaraan sekitar Jurusan Arkeologi yang merasa bukan anak Sastra. Sebabnya, mereka tersingkir dalam pemilihan Ketua SM FSUI. Kupikir, mereka akan sangat otoriter jika ada di atas. Sebaliknya, menjadi apatis jika orang lain yang berkuasa, bahkan anarkis.

Pelantikan pengurus KSM tertunda sampai 16.00. Aku dianggap Sutana sebagai otak dari ide, "KSM akan jadi pressure group bagi SMUI!"

Dia mengatakan itu pada Bagus Hendraning. Sementara, aku bicara dengan Bagus soal Dewi (Perancis 91) dan masalah buku filsafat (Frans Magnis Suseno) yang kubaca.

"Buku itu hanya pantas dibaca kalau perut sudah kenyang dan kebutuhan terpenuhi," katanya.

Aku agak kesal dan makin memahaminya, serta konsepnya tentang kemapanan atau aktualisasi diri.

Ada dialog dengan wakil-wakil PLD KSM. Yang menarik adalah cerita Mas Ardi tentang kejayaan KSM. Dia menguasai permasalahan dan bisa diajak diskusi.

Harapan Pak Umar Mansyur (Purek III) terhadap KSM sangat besar: sebagai think tank SMUI, pelopor perubahan, pemicu semangat intelektual mahasiswa, dan lain-lainnya.

Dia masih murni sebagai seorang ilmuwan, belum birokrat.

"Apakah dia masih bisa bicara seperti itu, jika sudah lama di kursi PR III UI?

Katanya, masih. Orientasinya sudah jelas: keilmuan (research university), bukan politik praktis. Antara lain, mengundang tokoh-tokoh kontraversial untuk bicara secara ilmiah, dengan tidak mengundang pers, serta jaminan untuk KSM mendengarkan ceramah ilmiah, dan lain-lainnya. Prospek KSM baik di UI!

***

Ide-ideku sering muncul setelah membaca buku dan menghubungkannya dengan pengamatanku dan pendapat-pendapat lain yang pernah masuk ke kepalaku. Namun, seringkali aku belum bisa menangkap keseluruhan isi buku atau artikel koran, dalam satu paragraf. Aku biasanya terpengaruh untuk tidak menyelesaikan buku-buku yang kubaca, karena alasan kesibukanku. Aku perlu waktu khusus untuk membaca.

Sabtu, 7 Mei 1994

Pagi mengetik tulisan (opini) untuk Wida Septarina (Rusia 91). Aku ternyata bisa dan mendapatkan kepercayaan diri yang kuat, apalagi jika dimuat.

Pukul 10.00 ke Sastra, setelah mengambil foto-foto di Foto Plaza. Bicara dengan Bodi Poernomo dan Nelwandi di Kansas. Dalam suasana seperti ini, kami menjadi begitu terbuka dan saling bertukar pikiran. Bodi makin mantap dengan Studi Jepangnya dan teman-temannya di Sumitmas dan Jurusan Sastra Jepang. Aku dipandang punya modal di organisasi yang sedikit digeluti mahasiswa. Perbedaan karakteristik dan pemahaman atas kelebihan-kekurangan masing-masing individu mengakrabkan kami.

Hanya Nelwandi yang belum matang, karena ketidak-konsistenannya di Jurusan Sejarah. Dia terlalu terpengaruh pada keluarga dan teman-temannya yang memandang Sejarah sebelah mata. Padahal, secara ekonomi, dia tidak punya masalah, seperti halnya aku dengan Bodi. Aku dan Bodi berusaha membangkitkan lagi semangat hidupnya dan kepercayaan dirinya selaku mahasiswa UI. Mudah-mudahan dia mendapatkan sesuatu dari pembicaraan kami. Sampai pukul 13.00 di Warteg.

Di Senat memberikan surat buat Agus Widiarto. Aku ingin memperbaki hubungan dengannya.

"Selama ini kita tidak ada masalah, koq," katanya.

Di Pusgiwa, pukul 14.00, rapat soal Program Kerja KSM UI. Didahului dengan presentasi Alex Antariksa soal "Penelitian Sosial" dan Yuliansyah soal "Tanggungjawab Sosial Industri Kesehatan".

Ternyata ada semacam kolusi antara dokter dengan industri farmasi soal biaya pengobatan. "Dokter sering memberikan resep untuk memakai obat-obat mahal, padahal ada obat yang lebih murah dengan khasiat sama!" Konsumen sering dirugikan karena ketidaktahuannya, bukti kelemahan YLKI atau IDI.

Pulang pukul 19.00. Rencana mau nonton di Pasar Minggu, tapi karena filmnya jelek, aku pulang.

Sampai malam nonton RCTI. Kisah memilukan di tengah kekuatan mata seorang bocah perempuan yang bisa membakar mobil, orang dan gedung. Dia selalu merasa berdosa melakukan kesalahan yang membuat orang lain menderita atau membunuh mereka. Namun, kematian dan kata-kata ayahnya untuk "memusnahkan semuanya", yaitu lembaga riset yang memakai mereka sebagai kelinci percobaan (eksperimen), telah membuatnya kalap dan menghancurkan gedung dan orang-orang intelek tersebut.

"Just for you, my father!" katanya, sambil berlinangan air menyaksikan kematian, kebakaran dan kehancuran di depannya.

Cinta telah membawa manusia pada perbuatan yang bertentangan dengan hati nuraninya. Kesucian cinta, kadang-kadang mengerikan jika dimanifestasikan dalam bentuk berbeda. 


Minggu, 8 Mei 1994

Sebetulnya, aku punya rencana untuk menyelesaikan sebagian tugas-tugas kuliah. Tapi, tanggungjawab moralku mengharuskan untuk mengantarkan Etek Ida ke terminal Tanah Abang untuk kepulangannya.

Paginya menulis surat untuk ayah-amak tentang berbagai hal: kuliahku, pernikahan Tuan Ismed, pendidikan adik-adikku, rencana kedatangan Buyun di Jakarta dan ....calon istriku. Kalau aku menikah dengan gadis diluar Minang, setidaknya sedikit melegakan pihak yang bersaing karena sama-sama "buluih". Entahlah. Mungkin juga sebaliknya, makin memusuhiku.

Senin, 9 Mei 1994

Lagi-lagi tidak ada kuliah. Tidak ada pemberitahuan dari Mbak Melly (Magdalia Alpian) soal Sejarah Amerika. Katanya ada ujian skripsi.

Akhirnya belajar di perpustakaan. Membaca skripsi Lilian Issusianti (Sejarah 80) tentang PERMI (1930-1937). Ada kata-kata menarik dalam pengantar skripsinya:

"Pandanglah hari ini, sebab inilah hidup, hidup yang benar-benar hidup. Dalam jangkanya yang pendek ini terletak semua kebenaran serta kenyataan eksistensimu -- kebahagiaan pertumbuhanmu, kemuliaan perbuatanmu, kemegahan karyamu. Sebab kemaren hanyalah mimpi dan besok hanyalah bayangan, tapi hari ini sungguh ada dan membuat kemaren jadi mimpi bahagia dan besok jadi bayangan yang berpengharapan. Oleh karena itu, pandanglah hari ini. Inilah salam kepada fajar."

Membicarakan rencana ulangtahun Elsye, aku dan Agung Pribadi di rumah Fana. Tapi aku malu karena tidak punya uang. Mereka sangat baik, namun aku belum bisa meyakinkan diriku.

Di Senat, ketemu Agus W. Suratku membawa perubahan.

"Kalau elu diminta jadi Ketua KOPMA FSUI, elu bisa?" tanya Agus.

Kukatakan kesanggupanku. Agus kudorong jadi Ketua SM FSUI, nyatanya Isa (Alamsyah) yang maju. Isa lebih bisa diterima ketimbang Agus, kupikir.

Aku juga bicara soal Kamal dengan Halomoan dan Yunadi Ramlan. Aku telanjur menilai kebimbangan Kamal karena kepentingan hijau. Padahal, Halomoan Kristen.

"Gua nasionalis," kataku. Memberi saran Halomoan memfokuskan studinya dalam semester awal ini.

Makan bersama Fadli Zon dan Agus W. Diteriaki sebagai intel oleh Mangku. Ketemu Subuh dan bicara soal pembuatan buku hasil-hasil SNAM. Aku, Syamsul Hadi, Syafuan Rozi dan Fadli sebagai redaksi/editor, sedang Subuh sebagai sekretaris redaksi.

Ke Pusgiwa, membicarakan Hadi Juwanda dan SMUI. Juga evaluasi demonstrasi ke (kedutaan) Yugoslavia, (kedutaan) Amerika Serikat dan Departemen Sosial yang dinilai Fadli: "Tepat!"

"Apa bukan sekadar legitimasi (post factum)?" tanyaku.

Fadli menilai tidak, karena setidaknya kita mau menyuarakan sikap kita. Sedangkan tudingan banyak pihak atas ketidaktepatan demo tersebut dinilai sebagai ucapan tanpa dasar. Buktinya, mereka yang menuding itu hanya diam.

Lalu diskusi di KSM dengan Zul dan Phaon. Aku sebagai moderator yang nyatanya tidak moderat, karena turut menilai. Padahal, kupikir ini adalah dialog untuk mencapai satu kesimpulan/kesepakatan. KSM belum bisa keluar dari peraturan-peraturan yang dibuat sendiri dan mengikat anggotanya. Keilmiahan suatu forum diskusi justru dinilai dari suasana formalitas yang melingkupinya.

Zul bicara secara filosofis-teoritis, sedang Phaon praktis-empiris. Zul pantas dikagumi atas pengetahuannya yang luas dengan dimensi intelektual yang tajam.

Mungkin benar kata Kamal, "Zul lebih baik dari saya!"

Aku mempunyai image terlalu negatif atas Zul, padahal belum mengenalnya. Suatu pelajaran berharga. Satu nilai positif dari pencalonan keduanya: kemantapan pribadi, terlepas dari kalah atau menang.

****

Sejarah lokal patut dipelajari dan diteliti untuk bisa mengadakan koreksi terhadap generalisasi-generalisasi yang sering dibuat dalam sejarah nasional -- Sejarawan Filipina --.

Selasa, 10 Mei 1994

Tulisanku tentang "Suksesi dan Kendaraan Politik Mahasiswa" dikritik Karman karena kekacauan bahasa atau logikanya.

Aku dinilai tidak jernih melihat fenomena, bahkan terlibat dalam tulisanku sebagai 'penghujat'! Faktor lain, karena aku tidak bisa mengambil jarak terhadap subjek yang kutulis dan kurangnya pengetahuanku tentang perspektif sejarah (Arnold Toynbee). Hal terakhirlah yang kurasa sebagai faktor utama kesalahanku.

Pemilihan Ketua Harian dan Ketua Umum SMUI dimulai hari ini. Sepertinya, Zul akan menang mutlak di FSUI, seperti yang kulihat dari para pemilih yang mayoritas (seluruhnya?) massa Zul. Kata Kamal, Zul adalah intelektual muda yang pandai mengarahkan dirinya pada satu garis lurus.

Ada persoalan di sekitar utusan Jurusan Sejarah dalam BPM, prosedur yang ademokratis. Kita cepat tanggap dan Kamal membicarakan dengan Bondan Kanumuyoso.

"Tahun ini untuk Angkatan 91," kata Bondan.

Dia adalah calon pasti, disamping Musa. Aku tidak setuju Musa, karena dia tidak pernah serius mengerjakan sesuatu. Aku mengusulkan Bondan dan Agus Sofyan.

Membicarakan Studi Klub Sejarah, BPM dan SMUI dengan Bondan. Aku ingin membenahi SKS, sebagai ketuanya. Setidaknya, aku punya obsesi untuk mengembangkannya menjadi laboratorium sejarah. Perlu dukungan dari Angkatan 91, minimal.

Sore dan malam menulis surat untuk Nur Azizah dan Dr Mestika Zed. Bicara masalah Islam dan sejarah Pariaman.

Nonton film tengah malam TVRI. Sangat bagus, inspiratif dan membangkitkan kecintaan pada manusia selaku individu. Bercerita tentang musik, persahabatan yang diwarnai pertentangan dan bayangan-bayangan masa silam. Nostalgia yang mengikat, namun mempesona. Nostalgia, walaupun pahit, merupakan harta paling berharga dan membangkitkan nuansa-nuansa keindahan. Karakter masing-masing tokohnya jelas dan mantap, sehingga sulit membedakan antara aktor utama dengan aktor pendukung. Bagiku, Eddie, Frank, Lionne, Doc atau Lilian adalah tokoh utama. Ketokohan kolektif.

Muncul suatu gagasan atau gambaran bahwa Eddie adalah Subuh, sedangkan aku adalah Frank. Aku ingin mendirikan suatu kelompok diskusi dan persahabatan dengan anggota tim: Subuh, Jaha, Agus W, Fadli, Indra dan Rudi. Leonne-nya adalah Emma Mulianta, Dewi atau siapapun. Indonesia akan mendengarnya dan dunia akan ternganga!

Aku adalah syair, Subuh adalah musik. Kesepakatan yang tumbuh diam-diam.

Rabu, 11 Mei 1994 

Bangun kesiangan, sehingga tidak sempat sholat subuh. Aneh, aku tidak merasa berdosa atau bersalah. Pribadiku belum utuh dalam Islam dan iman. Butuh waktu untuk memantapkannya.

Dalam seminggu belakangan, penyelesaian tugas-tugasku keluar dari prioritas utama: studi. Kebanyakan mengurus hal-hal pribadi dan organisasi. Nyatanya, aku tidak bisa konsisten.

Agak siang ketemu Ema, Subuh dan Dewi. Subuh ingin mengajakku jalan.

"Gue lagi suntuk," katanya.

Tapi, karena ada pertemuan Sejarah 91 di rumah Fana, kutolak. Begitupun ajakan Dewi untuk makan siang.

"Indra, gue habis bertengkar!" kata Dewi.

"Besok aja ceritain," kataku.

Sampai pukul 14.00 di rumah Fana: minum, makan siang dan makan rujak. Dilanjutkan sambutanku, Agung dan Elsye (Three Musketeers). Pada dasarnya, kekompakan sudah tertanam dalam diri kami. Namun belum bisa direalisasikan pada persoalan yang lebih mendasar: keilmuan atau intelektual.

Semula, pembicaraan tidak serius.

"Gua sudah malas kalau serius," kata Bondan.

Tapi setelah kumulai tentang 'penindasan', mereka mulai bisa mendengar, bicara dan diskusi. Prioritas pembicaraan adalah keanggotaan SKS di BPM, sesuatu yang kutolak. Aku melihat bahwa persoalan yang terbesar justru dalam tubuh SKS atau mahasiswa sejarah umumnya. Sedangkan keterlibatan mereka di BPM atau SM bersifat personal. Aku punya obsesi untuk membenahi dan membesarkan SKS.

Aku berusaha meyakinkan mereka, antara lain dengan mengajukan program kerja yang bisa dilakukan oleh pengurus SKS masa mendatang. Akhirnya, diputuskan 2 calon Ketua SKS: aku dan Agus Sofyan. Dengan berbagai pertimbangan -- antara lain (1) Aku lebih tahu konsep tentang SKS, (2) Kedekatanku dengan Kamal, (3) Preseden buruk Angkatan 92 terhadap Agus, (4) Kemungkinan bahwa aku akan lebih didukung Angkatan 92, dan lain-lainnya-- maka aku dipilih sebagai calon Angkatan 91 untuk Ketua SKS. Menurut pengamatan Bondan, 91 akan menang, siapapun yang mengajukan calon.

Dicapai kesepakatan bahwa kalau ada kebijakanku yang dinilai merugikan Angkatan 91, maka mereka secara terbuka akan mengkritikku dalam pertemuan Angkatan.

"Bagiku, kritik adalah vitamin," kataku.

Masih ada 2 masalah lain (1) Dicalonkannya aku sebagai Ketua Kopma FSUI dan (2) Cara menghadapi Angkatan 93 yang bukan anggota SKS. Keduanya menunggu perkembangan keadaan.

 

Kamis, 12 Mei 1994

Sistem pendidikan nasional, di samping berhasil memberikan kesejajaran pengetahuan pada masyarakat Indonesia, di sisi lain, ternyata secara perlahan mengikis tradisi pendidikan lokal yang secara empiris sudah terbukti menghasilkan lulusan-lulusan terbaik bagi kemajuan bangsa, sejak zaman awal kemerdekaan.

Tulisan ini akan kukembangkan dalam kesempatan lain. Aku mulai concern dengan masalah pendidikan.

Jum'at, 13 Mei 1994

Sistem seminar yang diperkenalkan oleh Mbak Wardiningsih dalam kuliah Historiografi Umum belum berlangsung secara efektif disebabkan oleh 3 hal:

Ketidak-siapan mahasiswa, baik secara psikologis, pengetahuan ataupun kesulitan bahan-bahan yang berbahasa Inggris.

Konsep seminar dan arahan diskusi yang belum jelas,antara lain fungsi Mbak Wardiningsih sebagai mediator dan fasilitator. Orientasi nilai yang terlalu transparan -- mengumumkan nilai mahasiswa dan kelompok setelah diskusi -- ternyata menimbulkan kritik dari Lilla (Wasillah).

Disiplin mahasiswa dan dosen.

Secara umum, aku mengacungkan jempol pada Mbak Wardiningsih. Ia telah mencoba sistem perkuliahan kearah yang lebih baik, misalnya, berbeda dengan kuliah mimbar.  

Disamperin Firdaus dan Mangku soal calon anggota HMI Cabang Depok dan SKS. Firdaus hanya melihatku sebagai orang yang tepat mengelola SKS, dari Angkatan 91. Dia mendukungku, begitupun Agus W dan Pristianto (92).

Bicara soal-soal HMI, SMUI, SM FSUI dan masalah kemahasiswaan lainnya dengan Mangku ketika makan di warteg. Lalu sholat Jum'at.

Ketemu Subuh, minta duit Rp. 8.000 dan beli kaset Chrisye. Satu kesepakatan yang diinginkan Subuh dari Zul adalah "Komisi Hubungan Luar dikelola gue, elu dan Fadli."

Soalnya, Zul belum mengenal medan atau malah tidak mau mengenalnya. Ini diluar pembentukan Majelis Penyelamat Organisasi (MPO) SMUI atau pressure group untuk SMUI (KSM). Bargaining ini harus bisa dibicarakan dan lolos, di tengah persepsi yang makin menyudutkan Zul.

Agung kemaren (Rabu) bilang tentang kesedihannya bahwa Islam telah jatuh di UI.

"Kalaupun Zul menang, Islam tetap kalah," katanya, mengutip ucapan Isa.

Nyatanya, pengunduran diri Kamal telah menimbulkan kegoncangan, bahkan perpecahan -- dalam taraf awal -- dalam tubuh anak-anak Rohis (kelompok Syuro, istilah Fadli). Dari Agung aku tahu bahwa dalam rapat-rapat Majelis Syuro tersebut, FS dan FISIP paling kritis. Sedang FMIPA, FT, FH dan lain-lainnya, hanya diam dan berpatokan pada Zul.

Aku ingat perdebatan dengan seorang akhwat FORMASI FS, sebelum kuliah Sejarah Amerika. Dia mempercayai kejujuran Kamal dan kemundurannya adalah diluar rencana. Begitupun majunya Kamal. Tidak ada koordinasi dalam tubuh "Majelis Syuro". Mereka bersatu, justru di saat Zul muncul sebagai calon satu-satunya.

"Begitupun Karman, diikut-sertakan dalam tahap-tahap akhir," kata Agung.

Kukatakan bahwa asumsi yang berkembang telah merendahkan golongan ROHIS pada tempat yang "Mempunyai orientasi kekuasaan dan menggunakan SMUI sebagai media penyebar warna kelompok (Syuro)."

"Aku tidak mempersoalkan proses awalnya. Cuma proses akhir, yaitu kemunduran Kamal telah menguatkan asumsi demikian!" kataku. Invisible hand behind Kamal.

Jawaban yang kusediakan ketika ditanyakan, apa sikapmu?

"Wait and see", dalam artian bagaimana Zul akan menempatkan orang-orang di luar kelompoknya dalam kepengurusan dan bagaimana kebijakannya dalam memecahkan masalah-masalah kemahasiswaan, atau dalam meresponse persoalan-persoalan masyarakat dan negara.

Dan sampai detik ini, aku tidak memilih. Sehingga Hendra (Koordinator Pemilu di FS -- Dia kurekomedasikan pada Rifky dan Sunu di SMUI --), bilang padaku: "Gue kejebak! Nyatanya, elu sendiri nggak memilih!"

Dan aku bersyukur, karena di FS sudah masuk suara sekitar 600 orang. Sedang di FISIP, lebih dari 200 suara (dari Subuh).

***

Bicara dengan Deni (Inggris 89) soal organisasi, kekagumannya pada aktivitasku, dan lain-lain, ketika sama-sama nonton Sastra Blues Hours. Ibu-Bapaknya ternyata orang Payakumbuh dan ceweknya gadis Minang. Pulang bareng Subuh, pukul 15.00.

Kesalahan terbesar yang kulakukan malam ini adalah tidak membaca satu lembarpun buku-buku. Waktuku habis untuk ngobrol dan nonton.

Sabtu, 14 Mei 1994

Kupikir, menulis catatan harian ini berarti aku menengok ke belakang, sehingga tanpa disadari pola pikirku juga terpengaruh pada pengulangan-pengulangan (repetisi-historis). Seharusnya, aku mengimbanginya pada persoalan-persoalan di depan yang akan kuhadapi. Sehingga akan lebih siap secara konseptual dengan referensi historis dan antisipasi prediktif. Syukurlah, aku bisa menyadarinya sekarang.

Praktis aku tidak melakukan apapun dari semalam, sampai siang ini. Hanya rutinitas pribadi dan hubungan kemanusiaan yang lumrah. Dan tak satu tugaspun kuselesaikan.

Ada konser Dave Koz Goes to Campus di Balairung, suatu kegiatan profit dengan sponsor Djarum Super. Menurut perhitunganku, minimal panitia mendapatkan keuntungan Rp 50 Juta. Pembagiannya fifty-fifty untuk SMUI-Panitia. Suatu kesempatan untuk bertatap muka dengan penyanyi dunia bagi mahasiswa dengan tiket murah, Rp. 3.500,-. Aku tidak termasuk di antara para penonton karena...rapat.

Ada dua rapat, di FS dan KSM. Aku tidak datang ke KSM, karena nonton Sastra Blues Hours sampai 16.00. Pukul 13.00 tiba di Senat.

Ada pembicaraan soal bentrokan panitia SBH dengan Panitia Pemira SM-BPM menyangkut penggunaan Teater Kolam. Seharusnya, ada kampanye lisan calon, namun sudah diisi oleh band pengiring SBH. Akhirnya, kampanye gagal. Kamal terpaksa menyelesaikan.

Aku membuka rapat pengurus inti, sebagai Sekretaris Umum Senat Mahasiswa FSUI. Yang hadir hanya Vonny, Wiwied, Ratna, Eka, Nuni dan Kamal. Pembicaraan soal LPK, sertifikat dan distribusi tugas. Dihubungi Rijal soal pengisian acara masalah-masalah sosial di Radio Teknik Club (RTC). Aku menyanggupi untuk bicara soal pendidikan.

Ngobrol santai dengan Ema di Teater Kolam, di tengah banyak anak yang nonton SBH. Akrab dan terbuka. Aku dikenalkan dengan Linda, temannya dari Bandung. Satu hal yang sudah kuprediksikan diceritakan Ema, persoalan hubungannya dengan Gatot. Ema ingin bebas dan menganggap Gatot sebagai temannya. Kalau dia 'kembali' nanti, Ema akan serius. Gatot jelas kecewa, tapi tidak bisa memaksa Ema untuk tetap pacaran dengan dia. Aku tidak punya hak untuk memarahi Ema, walau dia bilang: "Aku akan terima kalau elu memarahi!"

Karena tidak ada teman akrab untuk ngobrol, aku pulang pukul 16.00. Dapat informasi dari Wien Muldian soal kemenangan Eman secara mutlak dengan perbedaan suara menyolok, sebagai Ketua Umum SMUI, di FS. Sudah kuduga.

Minggu, 15 Mei 1994

Kembali aku ingin menulis soal pendidikan dan kembali tidak bisa, karena Tuan Is membeli cat rumah. Sampai tengah hari bekerja mengecat dan membersihkan rumah, hingga semarak dan rapi.

Sorenya membaca soal sejarah mentalitas: Freud, Marx, Weber, Spengler, etc. Merangsang intelektualitas.

"Pendidikan sebagai Wahana Pembebasan dan Kemanusiaan" (Draf untuk mengisi acara di radio Teknik Club UI)

Latar belakang sejarah:

Pendidikan tradisional: pesantren, sekolah rakyat, alam sebagai guru.

Pendidikan kolonial: politik etis dan implikasinya bagi perubahan di Indonesia.

Pendidikan nasional:

Masa Orde Lama kepentingan politik.

Masa Orde Baru kepentingan pembangunan.

Konsep link and match Wardiman.

Wajib belajar 9 tahun, ketinggalan 100 tahun dari negara Jepang.

Pendidikan sebagai wahana pembebasan manusia Paulo Freire.

Unsur kemanusian dalam pendidikan.

Pendidikan moral-budaya.

antitesa terhadap link and match.

Kesimpulan dan saran pengembangan pendidikan di Indonesia.

NKK/BKK dampaknya pada pendidikan.

Senin, 16 Mei 1994

Aku mendapatkan insight yang besar dalam memandang dunia sekelilingku hari ini. Walaupun dalam salah satu bagian, aku tidak bisa mengontrol diri untuk tidak terlibat dalam hal-hal yang berkonotasi memihak satu kelompok, dalam pemilu SM.

Bareng Dewi dari halte Sastra. Sebetulnya Dewi tidak terlalu istimewa. Cuma, lebih bisa membawakan diri sebagai aktor dalam panggung kehidupan.

Tidak ada kuliah Amerika. Bicara dengan Vonny Anggraini soal kartu pengawas UMPTN yang kehabisan. Ngobrol dengan Adi Patrianto di Kansas. Dia adalah teman diskusi yang baik dan mampu membuka mataku tentang sejarah dan sistem pendidikan.

"Bangsa Indonesia kurang berpikir. Jika terbentur pada satu permasalahan, manusia-manusianya justru akan menyalahkan orang lain atau sistem yang berlaku, etc, etc."

Bicara soal plagiat-plagiat ilmu, sarjana-sarjana karbitan, kreatifitas yang mandeg, sarjana-sarjana penjilat pada sistem yang digugatnya sendiri tanpa idealisme yang mantap, tidak mampu mengambil resiko atas perbuatan sendiri, dllnya. Dan terutama tidak pernah mengoreksi kesalahan sendiri, cenderung mencari kambing hitam.

Kita membicarakan segala sesuatunya sampai 1,5 jam lebih (09.30-12.15). Dan aku menganggapnya sebagai batu pijakan baru bagi kelanjutan langkah-langkahku di kampus dan dunia ini.

Adi menulis skripsi tentang Marinir Indonesia yang secara hukum baru lahir tahun 1950-an, sebagai satu kesatuan komando yang pertama. Skripsinya menimbulkan pro-kontra di kalangan ABRI, termasuk KASAL dan PANGAB. Pengalamannya belajar di luar negeri selama kurang dari 1 tahun telah membuka cakrawala berpikir Adi. Kecintaannya pada sejarah justru dimotivasi oleh cara-cara dosen di sana dalam mengajarkan sejarah pada mahasiswa: metode permainan tentara-tentaraan (Revolusi Amerika dan perang Napoleon).  

"Kalau ada 10 orang yang berpikir seperti elu, maka akan ada perubahan di UI, asal mau mendialogkan dengan mahasiswa lain," kataku.

"Tidak perlu 10. Satu orangpun cukup. Gua akan lulus dan yang pertama kali gua lakukan adalah bagaimana gua survive. Untuk di kampus ini, elulah orang yang paling tepat untuk meralisasikannya," katanya, diplomatis. Namun, ada keseriusan dalam nada bicaranya.

Kemunculan Winny (si 'Cemplon') mengalihkan subjek pembicaraan ke soal-soal yang berhubungan dengan gadis cantik ini, yakni pacarnya. Anggapanku, pacarnya sudah sangat dewasa dan menggambarkan tipikal seorang lelaki ideal. Bertanggungjawab, namun demokratis.

"Gua ini pakarnya masalah wanita, ketemu orang yang polos seperti elu. Ya, .....berantakanlah," kata pacarnya yang dikutip Winny.

"Lelaki akan menemukan kemantapan setelah kawin, wanita justru sebaliknya," kata Adi, mengutip pepatah Perancis.

Disamperin Kamal, masalah SM FSUI dan SMUI. Zul menang mutlak, kecuali di FT. Begitupun Eman, kecuali di FK (kalah 4 suara).

***

Merayakan ulang tahun Subuh dengan Fadli, Grace (pacar Fadli) dan Subuh sendiri, juga di Kansas. Sayang, Bagus tidak datang karena rapat di Pusgiwa. Sangat akrab, walau ada yang kurang: Lulu (pacar Subuh) dan pacarku. Aku diledekin habis-habisan.

"Gua orang bebas," kataku.

"Ya, orang bebas yang matanya mencari kemana-mana," sambung Fadli. Aku meledek Subuh yang "Sudah pantas kawin" atau Fadli yang kena imbas Subuh.

Aku ingat kata-kata Subuh: "Gua nggak bisa ngebayangin, kalau seandainya beberapa tahun lagi kita ketemu. Gua duduk di sini, Fadli di sini, Grace di sini dan Indra di sini." Kata-kata yang menggambarkan indahnya persahabatan dan keabadiannya.

Kita mendiskusikan masalah KKI dan masalah kebangsaan. Komentar Fadli cukup berbobot, karena bacaannya yang luas. Dia menolak kusebut mapan dan aku sebagai orang tertindas.

***

Nonton kampanye lisan Isa dan Ibenk. Sebetulnya, aku tidak ingin menanyakan apapun.

"Sesuatu yang aneh dengan menghilangnya Indra," kata Teguh (Sejarah 93). Namun, aku dilobi Yaswin untuk bicara di ruang Senat.

"Gua ingin mengambil jarak dengan semuanya," kataku.

Yaswin memaklumi. Namun, tidak adanya koordinasi yang baik di kalangan massa Isa membuat jiwaku memberontak dan ...nanya. Aku seperti kejebak, karena Ibenk sudah siap: perbedaan persepsi. (Malamnya aku tahu, justru hal itu memperlihatkan ketidaksiapan Ibenk dan menunjukkan betapa tidak kompromistisnya dia).

Haryo, yang dalam setiap forum menjadi lawanku, sangat emosional atas pertanyaanku.

"Literatur apa yang elu baca? Gua menantang elu untuk bicara di hadapan mahasiswa (untuk memperdebatkan berbagai persoalan?)," katanya.

"Baik!" kataku, juga emosional.

Haryo tendensius dan menyerang pribadiku. Dia tidak mengerti akan arti sebuah "perbedaan", walau dia sering sekali bicara soal rakyat, demokrasi, HAM, etc. Sikapnya cenderung represif (menggugat Panitia Pemilu dan Kamal) atau bahkan intimidatif.

Hadi mencapnya sebagai "orang oportunis yang berbahaya". Dan aku masih ingat akan penerimaanku ketika dia mengajukan permohonan sebagai pengurus SM FSUI. Aku orang pertama yang menyetujui, ketika Kamal membicarakannya. Mungkin aku harus selalu konfrontatif dengan dia, dan gagasan-gagasannya.

Terlanjur basah, aku ikut Kamal, Yayan dan tim sukses Isa lainnya. Membicarakan strategi penyoblosan besok dan evaluasi hari ini. Aku mengusulkan mobilisasi D-3 sebagai prioritas dan melontarkan kekurang-koordinasian kampanye lisan hari ini.

Hari ini juga disepakati utusan SKS ke BPM: Bondan dan Pris.

Selasa, 17 Mei 1994

Pagi membaca Bernard Dahm : "Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan".

Pergolakan antar 2 golongan, Islam dan Komunis, menemukan sintesa dalam diri Soekarno berupa ide persatuan semua golongan dengan mengeleminir perbedaan-perbedaan untuk mencapai tujuan bersama: kemakmuran dan kebebasan dari kolonialisme. Dia berhasil merumuskan musuh bersama, yaitu Barat dengan imperealisme dan kolonialismenya.

Konflik yang ada dalam diri Soekarno, tak ubahnya seperti konflik yang kualami dalam perjalanan aktivitasku di UI, khususnya FSUI.

Satu golongan (paham) lagi yang diinternalisir Soekarno pada ide kesatuan perjuangannya adalah nasionalisme. Sampai akhir hayatnya, Soekarno masih memegang teguh prinsipnya berupa NASAKOM. Walaupun massa rakyat (dengan dukungan ABRI) menginginkan, bahkan mengultimatum Soekarno, menghapuskan komunis dari muka bumi Indonesia. Kematiannya justru disebabkan karena keteguhan dalam prinsip dan ide-idenya.

Kuliah kewiraan dengan Dewi yang dihabiskan dengan pembicaraan-pembicaraan pribadi, apalagi dosen tidak datang. Lalu makan bareng di Kansas, ditemani Dewi dan Ema. Aku menawarkan bantuan untuk Ema, agar bisa memperbaiki namanya di mata mahasiswa FT, sehubungan dengan kegagalan hubungannya dengan Gatot. Aku mengajaknya untuk menemaniku dalam acara RTC.

Pembicaraan singkat dengan Adi membuatku harus memutuskan untuk segera menyelesaikan tugas-tugas kuliahku yang telantar. Sebab, itu adalah kewajiban dan kalau kuhindari akan menimbulkan kerugian besar padaku.

Justru pembicaraan yang membebaniku sepanjang hari dan memusingkan pikiranku adalah dengan Arie Wanto, tim sukses Ibenk, kelompok in depth. Aku diidentifikasi sebagai orang yang selalu ragu seperti Hatta, terutama dalam posisiku di antara 2 kelompok: in depth dan hijau. Sulitnya, aku diharuskan memilih satu di antara 2 kelompok tersebut. Dia bicara soal Tan Malaka (memiliki wawasan internasional dan konsep massa aksi dan merdeka 100%) dan Soekarno (yang tidak pernah keluar negeri). Kesalahan Tan Malaka: melawan Soekarno.

Aku mengatakan untuk bersikap netral. Namun karena aku dipandang sebagai something alias berbeda dengan mahasiswa lain, aku termasuk agenda pembicaraan dalam kelompok in depth: "Bagaimana Indra Jaya?"

"Pada saatnya, aku akan memilih," kataku.

Seharusnya mengerjakan sesuatu di perpustakaan: baca, nulis atau mendaftar buku-buku. Tapi, karena pusing, aku tidak bisa konsentrasi. Akhirnya menemani Dina makan siang -- karena aku sudah makan --, sampai 15.00. Dan go home. Tidur sampai sore. Minum bodrex.

Malamnya, aku igin menyelesaikan tugas Teori dan Metodologi, tapi Tuan Ismed datang dan menghidupkan radio untuk mendengar pertandingan Piala Uber. Sangat berisik dan bikin kesal. Akhirnya bertengkar. Soalnya, sudah beberapa kali dia tidak mengerti kesibukanku: main koa, bawa teman-temannya, dengar radio keras-keras, etc. Sampai pagi tidak menyelesaikan apapun.

Rabu, 18 Mei 1994

Melanjutkan bikin draf Teori dan Metodologi di Perpus. Pukul 11.00 kuliah Amerika: Pemerintahan Jimmy Carter. Makan di Kansas bareng Kamal dan Kholid Novianto. Ngomongin SMUI, kerancuan fungsi Ketua Umum (legislatif?) dan Ketua Harian (eksekutif?). Perlu ada revisi juklak SMUI.

Soal pembantaian Cina di Pariaman dengan sudut pandang psikologi sosial diperlukan analisa melalui wawancara orang-orang yang terlibat. Juga disaranin baca baca buku Yoshio Hirokawa: Mobilisation and Control.

Disamperin Ema yang "butuh jalan". Menemani nelpon, sementara aku bicara dengan Ibenk soal obsesinya kalau terpilih jadi Ketua SM FSUI.

"Gue optimis," katanya.

Secara panjang lebar diuraikan kekecewaan-kekecewaannya terhadap golongan hijau: Kopma yang ekslusif, musolla yang kebanjiran tanpa perhatian (FORMASI dan SM yang notabene "hijau"), dllnya.

"Kalaupun kalah di sini, gua akan bermain di tingkat atas atau di luar," tegasnya.

Sepertinya, kekalahannya justru menimbulkan oposisi terhadap SM terpilih (Isa). Secara pribadi, aku mengakui konsep-konsepnya.

"Tujuan kita sama, berjuang untuk rakyat. Mungkin jalan kita yang berbeda," katanya.

Pukul 15.00 pulang, setelah ngobrol dengan Sudirman dan Firdaus. Aku ngajak Ema dengan keinginan agar dia "mengenal siapa gua yang sebenarnya". Mendapatkan Pian, Kamili dan Culin lagi tidur.

Dan Ema harus belajar duduk di tikar/karpet. Kita Cuma bicara soal-soal pribadi dan keluarga, sampai 17.00.

Di senat tadi, sebelum pulang, ketemu Haryo yang bilang pada Ema: "Hati-hati sama Indra, orientasinya vertikal."

"Berarti elu belum mengenal gua," kataku.

"Tidak perlu," jawabnya.

Ema juga diajak bicara politik tingkat nasional. Entah apa maksudnya.

Kamis, 19 Mei 1994

Aku menemukan konsepsi baru tentang diriku: sebagai seorang humanis. Istilah itu diingatkan oleh Umi Lasminah.

Pertentangan antara kelompok kiri, hijau atau perbedaan antar agama hanya bisa dipahami oleh satu unsur: kemanusiaan. Aku mendiskusikannya secara panjang lebar di Kansas dengan Yusrizal, Yunadi dan Luki. Pandanganku didukung oleh Luki, seorang Katolik, bahwa dialog hanya akan bisa dipertemukan kalau dibawa ke konsep yang universal: kemanusiaan. Kalau persepsi golongan, agama, kelompok atau satu sisi saja yang ditonjolkan, maka dialog akan macet.

Pada dasarnya, Yusrizal tidak sependapat dan terlalu ekstrim pada semua sisi dari sudut keislaman. Untuk memperjelas, aku mengajukan satu contoh: para pelacur di Kramat Tunggak yang masih tetap melaksanakan kewajibannya sebagai muslimah.

Yusrizal cenderung menyalahkan pelacur tersebut sebagai tidak beriman atau tidak teguh beriman. Aku justru berbeda melihatnya: masyarakat (terutama Islam) juga patut dipersalahkan, karena mereka hanya bisa menuding dan memandang hina, tanpa bisa memberikan suatu arahan, petunjuk, solusi atau bantuan.

"Pelacur itu juga manusia yang harus mempertahankan hidupnya dan keluarganya. Sedangkan jalan satu-satunya untuk mempertahankan hidup adalah dengan melacurkan diri," kataku.

Yusrizal tidak bisa menerima, walau aku sudah menjelaskan bahwa kalau kita bicara Islam secara konsepsi ataupun melihat nilai-nilai luhur yang ada di dalamnya, maka pelacur itu patut dipersalahkan. Namun secara praktis, apakah konsepsi-konsepsi tersebut sudah dilaksanakan? Apakah masyarakat Islam yang tersirat dalam ajaran Qur'an dan Hadist Nabi Muhammad SAW benar-benar sudah terbentuk di Indonesia saat ini? Setahuku, belum.

Masyarakat Islam yang benar-benar konsisten melaksanakan Al Quran dan Sunnah Nabi cuma bertahan sampai Khalifah Ali bin Abi Thalib. Setelah itu, muncul berbagai bentuk "masyarakat" Islam lainnya atau golongan dalam Islam, antara lain dengan munculnya 4 mazhab: Hanafi, Hambali, Syafii dan Maliki. Pengaruh globalisasi dan paham-paham Marxisme, Liberalisme, Sosialisme, dllnya, ternyata makin menjauhkan orang-orang Islam untuk hidup sebagaimana zaman ideal: para sahabat.

Yunadi justru memahami kedua argumen. Pada prinsipnya dia menilai bahwa "manusia itu dipenjara oleh dirinya sendiri." Hal ini berkaian dengan demokrasi dan kebebasan.

Aku juga bicara soal Freud, Rousseau dan Marx. Menurut Freud, peradaban pada dasarnya bermaksud untuk mengendalikan nafsu agresi dalam diri manusia. Freud melihat pertentangan antara manusia dengan sejarah (peradaban). "Manusia tidak mempunyai suatu orientasi yang positif terhadap masyarakat dan peradaban, pendidikan, pengaruh dan ideologi, pun tidak dapat mencairkan nafsu-nafsu agresif itu."

Marx dan Rousseau justru berpandangan lain. Baginya peradaban (misalnya yang kapitalis) mengacaukan kodrat manusia. "Kebahagiaan orang per orang dapat dijamin asal masyarakat disusun kembali. Masyarakatnya yang bertanggungjawab bagi segala penderitaan dan ketidakadilan yang terdapat di dunia."

Untuk menjembataninya, sebagai sintesa, dalam memahami suatu masalah individu, kita perlu melihat kondisi sosio-kultural masyarakat dan juga memahami individu tersebut sebagai pribadi (manusia).

Pukul 14.00 ketemu Bagus yang menanyakan soal SNAM dan Dewi. Bagi Bagus, lebih aman bergerak jika kita kenal pejabat-pejabat tinggi di pemerintahan, seperti kasus Fadli Zon (yang nelpon Zaky Makarim ketika dia hendak ditangkap dalam demonstrasi di DPA). Juga bicara soal buruh, birokrasi, SMUI, etc. Yuli, Firdaus, Hadi, dllnya, kadang-kadang ikut bergabung.

Ada kampanye pemilihan Ketua IKPD (Ikatan Kekeluargaan Program Diploma): Dandi dan Kinkin.

Keduanya kukenal sebagai sahabat. Kinkin mungkin hanya sebagai "pendamping demokrasi". Dalam kampanye, Dandi lebih argumenttif, walau sering teriak: "Kesatuan IKPD; Saya tidak akan membiarkan siapapun mengganggu IKPD" dan isu-isu primordial lainnya. Kinkin malah lebih kacau dan cenderung sloganistis, karena berkali-kali berteriak: "Hidup sastra! Hidup IKPD FSUI!".

Sore pulang dengan Mangku untuk mencari kos baru. Nyatanya sudah ditempati oleh Ibenk cs. Haryo di sana dan kembali menanyakan tantangannya untuk berdebat di depan seribu mahasiswa UI.

"Gua bukan seorang rekayawasan atau pejabat," kataku.

Apakah aku harus menarik garis tajam dengan ide "perjuangan" Haryo?

Mangku bilang bahwa dia kesulitan berdebat dengan Haryo, karena secara teoritis, Haryo memang luar biasa. Sebagai contoh, Haryo mengemukakan soal free sex yang dinilainya sebagai sesuatu yang tidak berbahaya dan tidak perlu ditakutkan. Tesis tersebut diserang Mangku lewat kesehatan dan sejenisnya. Praktis, Mangku tidak bisa berkutik, karena Haryo sudah menyediakan jawaban.

"Bagaimana," tanya Haryo.

Aku katakan, serang kerangka berpikirnya.

"Aku setuju bahwa free sex tidak berbahaya, sejauh disesuaikan dengan konteks budaya masyarakatnya. Dalam masyarakat liberal seperti Amerika, free sex memang tidak berbahaya dan siapa yang peduli. Masalahnya, jika konteksnya adalah masyarakat Indonesia yang dikenal religius dan Pancasilais, maka free sex berbahaya, baik secara moral, kultural, kesehatan, agama, dan lain-lainnya. Dengan demikian, secara umum, di Indonesia free sex berbahaya. Dan adalah pemaksaan bila Haryo bilang bahwa free sex tidak berbahaya di Indonesia," kataku.

Haryo, jika diikuti jalan pemikirannya atau kerangka berpikirnya, maka kita akan terjebak dan tidak menemukan cara untuk menyerangnya.

Mangku hanya diam. Kupikir, banyak hal yang bisa dikembangkan dari dialog dengan orang lain. Tak terkecuali Haryo. Tantangannya bernilai konstruktif, karena aku dipaksa untuk berpikir dan membaca lebih banyak.

Jum'at, 20 Mei 1994

Hari Kebangkitan nasional. Namun, tidak seorangpun yang memperingatinya di UI. Kemaren memang ada seminar tentang ekonomi di Perpustakaan Nasional. Aku pingin ikut, tetapi tidak punya duit untuk mendaftar. Padahal, pembicaranya bermutu dengan perspektif luas.

Pagi diskusi "Historiografi Cina dan Jepang", dipandu Bondan.

Aku belum bisa berdebat secara mantap dengan Andi Achdian atau Bondan, karena kurang baca. Bondan kunilai paling pintar dan bisa menganalisa. Sayangnya, Bondan sangat book minded. Bahasa dan logikanya merupakan bahasa dan logika buku. Dia belum bisa menggunakan bahasa dan logikanya sendiri. Inilah kelemahannya. Biasanya, dia sangat tergantung kepada buku dan tidak siap pada pertanyaan-pertanyaan yang tiba-tiba atau realitas sehari-hari. Kemampuan analisanya belum mantap, beda dengan Fadli. Kukira, jalan yang harus ditempuhnya adalah berinteraksi dengan realitas, tepatnya aktif di organisasi mahasiswa atau kelompok diskusi.

Aku diminta Isa untuk membuka kunci kotak suara pemilu. Kupikir, "Belum jadi ketua sudah memerintah!" Aku terpaksa membantunya, antara lain menjadi saksi. Secara emosional, aku pernah akrab dengannya. Kukerjakan sambil baca Soekarno.

Yaswin mengkritikku: "Ente mengalami kemunduran!", ketika melihatku merokok. Kubantah, "Rokok telah membawaku untuk sesaat tenang, berpikir dan merenung. Sebelumnya, aku begitu hiper aktif!"

"Itu hanya membenarkan tindakan ente. Apa bukan karena pengaruh nikotin?" bantahnya. Namun, selama aku mengambil sisi-sisi positif dan konstruktif dari merokok, maka bagiku rokok tidak merugikan.

Juga bicara dengan Nuni, Ferkin (sex sebagai jual beli, tanpa cinta) dan seorang anak 93. Anak terakhir ini mengajukan pertanyaan gencar dan mencari namaku di agenda. Soalnya, aku mendramitisir, tepatnya memberi makna kosku yang jauh: berinteraksi dengan masyarakat dan realitas keseharian.

Di mesjid ketemu Subuh, Fadli, Zul, dllnya. Zul terlibat pembicaraan serius dengan Fadli dan kuasumsikan bahwa Zul hanya mau berkonsultasi dengan orang yang setaraf dengannya. Buktinya, dalam berbagai kesempatan bertemu dengannya, dia tidak pernah menanyaiku soal SMUI. He looks at me like a stupid man! Apakah benar begitu kepribadiannya? Akan kulihat nanti.

Ikhsan bicara soal Bulan Pengabdian Masyarakat KSM UI. Sebetulnya, implementasinya tidak cocok dengan konsepsiku tentang Pengmas yang sebetulnya. Namun, aku akan mendelegasikannya kepada Dede atau anggota KSM UI lainnya.

Sampai sore di Sastra dengan Subuh. Agus bicara agar tahun depan aku mencalonkan diri sebagai mahasiswa berprestasi. Tahun ini, Fadli pemenangnya. Aku kecut sendiri, karena tahu nilai-nilaiku yang jelek karena "pemberontakan"-ku pada sistem perkuliahan di FSUI.

Karena kondisi Sastra yang "tidak enak", aku pulang. Bakal pecah keributan soal pemilu, setidaknya Ibenk cs sebagai oposan. Aku tidak suka pada situasi ini. Dan aku tidak ingin ada di pihak manapun! Apakah aku akan bisa jadi seorang Soekarno muda? Entahlah.

Sabtu, 21 Mei 1994

Apakah aku akan menutup buku harian ini? Pertanyaan yang cukup serius malam ini (24.00). Buku Napoleon Hill telah mengilhamiku dengan berbagai kesempatan untuk mengaktualisasikan diri. Masalah utama yang harus aku pecahkan adalah masalah keuangan (money problem). Dan keinginanku yang utama adalah mandiri dalam keuangan, agar aku bisa terbebas dari rasa rendah diri dan menemukan kepercayaan akan masa depan. Dan betapa banyaknya waktuku terhabis untuk organisasi dan orang-orang di sekitarku, tanpa akhir. Sebelum aku membantu orang lain, terlebih dahulu aku harus bisa membantu diriku sendiri.

Aku juga berniat mundur dari KSM. Sebab, jabatanku di Bidang Pengmas ternyata tidak sesuai dengan cita-citaku. Bukan dalam artian idealisme, melainkan implikasinya kearah perkembangan kepribadianku. KSM lebih berorientasi pada hal-hal yang bersifat formal-prosedural. Informasi-informasi yang kudapatkan didalamnya sangat sedikit. Dan seringkali kreatifitasku untuk berpikir dan bertindak terhambat, karena alasan-alasan organisasi dan struktur.

Perubahan di KSM akan berlangsung lama dan alot, sebab setiap kali ada inisiatif muncul, selalu persoalan-persoalan tersebut dikembalikan kepada Garis-Garis Besar Haluan Organisasi (GBHO) yang kadangkala bertentangan dengan inisiatif tersebut. Keputusan tertinggi, ada di tangan Ikhsan.

Hanya satu hal penting yang kuperoleh di KSM, teman-teman dari berbagai fakultas di UI. Jika aku jujur, hampir semuanya memandang diri sebagai yang terbaik, terutama Sulis, Alex, Ayu dan lain-lainnya. Kalau aku mau jujur kepada diriku sendiri, maka perasaanku seringkali tidak enak di KSM. Aku tidak akrab dengan mereka, kecuali Rudi, Indra, Titis atau Yudi.

Entahlah. Persoalan ini cukup ruwet, sementara aku juga butuh teman-teman untuk mendukung ide-ideku. Secepatnya, aku akan menuntaskan persoalan ini.

 

Minggu, 22 Mei 1994

Tidak kemana-mana. Baca Napoleon Hill dan Bernard Dahm. Bikin surat buat adik-adikku, agar mereka mampu menggunakan masa muda untuk hal-hal yang positif.

Sore membuat draf pidato kampanyeku untuk calon Ketua SKS FSUI.

Keinginanku untuk pindah kos makin kuat. Dari catatan-catatan yang ada di buku harian ini, sudah seringkali aku dirugikan oleh lingkungan kos yang tidak mendukung perkembangan kepribadian dan penalaranku. Kedua-duanya macet. Aku seringkali kesal atau kehilangan kesabaran. Bagaimanapun, aku punya harga diri.

Malamnya membaca Dahm. Nyatanya, Soekarno bukan seorang pemikir atau analis yang baik. Seringkali dia mengutip kata-kata ilmuwan-ilmuwan atau pemimpin-pemimpin dunia lain, untuk sekadar menguatkan argumen-argumennya, tanpa bermaksud mendalami. Kelebihan Soekarno, dia berani berpendapat dan teguh -- bahkan angkuh -- pada pendiriannya. Kesunyian adalah musuhnya dan ide-idenya akan keluar secara deras bila berdiri di depan ribuan massa rakyat.

Apa yang bisa kudapatkan dari pribadi Soekarno?

Mungkin keberaniannya berpendapat, serta konsistensinya menjalankan keputusan apapun yang telah diambil. Pemikirannya? Lebih baik aku membaca langsung buku-buku yang pernah dibaca olehnya. Kupikir, Soekarno muda harus lahir dan hidup, dengan pencerahan pemikiran atau pendapat.

Senin, 23 Mei 1994

Tidak ada Mbak Melly. Dan aku tidak ikut kuliah Bu Nana.

Akumulasi kekecewaanku pada sistem pendidikan di FSUI ini, mungkin meledak dalam kuliah-kuliah Bu Nana. Aku memutuskan tidak bikin tugas wawancara dan makalah. Aku menghukum diri sendiri untuk kesalahan orang lain.

Di Perpus hanya membolak-balik buku-buku. Sekadar penyadaran bahwa buku-buku tersebut sangat baik untuk dibaca.

Ngobrol biasa di Kansas, ketika makan dengan Adi, Ihsan Abdussalam, Dewi, Ibenk dan Ade. Ihsan sudah memutuskan untuk mundur dari Suara Mahasiswa UI dan bekerja.

Siangnya menemani Dewi ke bank dan Rektorat. Manusia kadang-kadang hidup dari hayalan-hayalannya. Dan aku juga seolah-olah berjalan menjaga seorang nyonya besar. Dewi pakai payung, karena panas, sedang aku tidak. Dia memang sangat memperhatikan dirinya.

Ketemu Wardi yang sedang tidur di mobilnya, di bawah pohon karet. Bareng ke FS. Wardi memiliki kebun palem di rumahnya dan itulah usahanya.

Aku dikasih tahu Bingar soal nilai. Jika satu mata kuliah saja dapat E, maka akan sulit untuk manaikkannya kembali. Dan ini meresahkanku. Apalagi Umi bilang, "Seorang idealis seperti elu, seharusnya juga mengerjakan tugas-tugas yang diberikan orang lain. Dari sana elu bisa melanjutkan idealisme elu."

Maksudnya, sekalipun aku tidak setuju cara-cara kuliah di FSUI, aku tetap harus membuat tugas-tugas sebagai landasan kritikanku.

Pulang bareng Umi. Dan sepertinya, aku butuh teman akrab seperti dia. Dia bisa ngobrol soal idealisme, sejarah, prinsip hidup, dllnya.

Malamnya aku menulis draf makalah untuk Seminar Bu Nana. Dan selesai. Nyatanya, aku mampu. Sayang, kertas tik tidak ada. Jadi, tidak selesai diketik.

Selasa, 24 Mei 1994

Sebenarnya, tidak ada sesuatu yang sulit dalam dunia ini, asal kita punya kemauan untuk mencapai dan mendapatkannya. Kemalasan, ketidakpedulian, kekurangseriusan, atau sifat-sifat destruktif lainnya, adalah penyakit yang harus disingkirkan dalam setiap kesempatan dan waktu. Pikiran-pikiran liberal tentang profesionalisme yang manusiawi dan menekankan kebebasan individu, lewat buku-buku populer yang kubaca, meyakinkanku atas suatu disktum :tidak ada yang mustahil untuk dicapai dalam dunia ini. Yang diperlukan adalah kemauan, keyakinan dan konsistensi dalam menjalankan rencana-rencana kearah tujuan-tujuan hidup.

Karena tidak ada Mas Anto (terlambat), aku mengetik di ruang jurusan. Mbak Iis terlalu baik, begitupun Bu Nana. Tidak rasional mengambil sikap antipati kepada mereka.

Kemudian bicara dengan Pris soal SKS. Dia sangat serius menangani soal ini, dengan asumsi setelah kalah dalam Pemira SM FSUI, maka Taufik cs akan melimpahkan kekesalan ke dalam SKS. Soal-soal peka, seperti SKS, kedudukan anak 93 dan kaderisasi anak-anak in depth mendapat catatan khusus darinya.

"Di 92 mereka dapat kader-kader pemikir (Wanto cs), sedang di 93 mereka hanya memperoleh kader-kader anarkis," kata Pris.

Pola pikir Pris sudah politis, sehingga dikotomi kelompok kiri (merah) dan kita (hijau) sangat kentara. Karena SKS adalah kelompok studi, maka aku sedapat mungkin meredam "isu-isu kelompok" tersebut, antara lain pembentukan Biro Kerohanian (Islam) dalam SKS.

"Fakultas Sastra punya FORMASI," kataku.

Ketemu Ihsan dan bicara soal keterkejutannya dengan diangkatnya Agus sebagai Sekum SMUI. Nyatanya, banyak yang tidak suka Agus dan menyangsikan capability-nya. Kukatakan, trik-trik Agus sangat halus dalam mengambil simpati anak-anak hijau.

"Gua tahu siapa Agus," kataku.

Namun dari segi manajerial, Agus cukup mampu. Namun dalam jam terbang dan pengalaman politik, dia tidak terlalu intens dalam memahami dinamika yang ada.

Dan lagi, "Zul diplot oleh Agus," kata Ihsan.

Aku memang menyadarinya. Dan aku tidak tahu, akan jadi apa SMUI jika dikelola oleh orang-orang Zul dan Agus yang disamping tidak punya pengalaman, juga dicap hijau. Ada indikasi kearah merosotnya kepedulian mahasiswa pada SMUI. Apalagi ketua-ketua komisi dipegang oleh orang-orang yang tidak dikenal sebelumnya.

"Gua sudah memprediksikan bahwa elu yang menjadi Ketua Komisi Hubungan Luar," kata Ihsan.

SMUI mungkin butuh aku, tapi kelihatannya Zul tidak butuh. Aku mesti "tahan harga", dan kukatakan hal itu pada Subuh, ketika makan di Kansas.

Subuh kembali berpikir ulang untuk terlibat dalam kepengurusan. Apakah ada mekanisme yang mengatur penolakan terhadap susunan pengurus SMUI? Salah satu jalan yang masih terbuka adalah bicara dengan Bagus.

Ada Lulu dan katanya: "Jangan demonstrasi lagi, sebab tidak menghasilkan perubahan apapun!"

"Bukan perubahan fundamental, tapi sekadar sikap," kataku. Lulu khawatir dengan resikonya, dan itu wajar.

Ketemu Indra. Indra juga menemukan hal serupa: "Kenapa bukan elu yang jadi Sekum? Kenapa mesti Agus?" Dia dapat isu bahwa Agus adalah seorang penjilat (oportunis).

Kupikir, banyak tantangan untuk SMUI periode ini. Dan ini baru awal perjalanan, belum 5% jalan. Yang kuketahui, dan katakan secara olok-olok pada Agus kemaren, bahwa dia dipilih secara tidak demokratis. Sebelumnya, Sekum dipilih oleh para ketua SMF dan tim pendamping melewati seleksi beberapa calon. Agus menganggapku punya ambisi jadi Sekum SMUI dan "Itu hak prerogatif Ketua Harian!" katanya.

Entahlah, mungkin badai ini akan berubah jadi taufan untuk menghantam SMUI. Kudengar, Indah juga mau berhenti!

Menemani Lila ke perpustakaan. Sebelumnya, gagal menghubungi Bu Nana lewat telepon. Aku baca skripsi soal PERMI dan pulang pukul 15.30. Lila cerita tentang temannya di FH UGM yang sekarang jadi Ketua Senat Mahasiswa FH UGM. Nyatanya, dia tidak setertutup perkiraanku.

***

Harga diriku seperti diinjak-injak malam ini, justru oleh sindiran Kamili. Aku dianggap terlalu gengsi dan "Mubazir aja elu sekolah tinggi!" Penyebabnya, mungkin karena aku belum mengembalikan uangnya goceng, seringnya aku minta rokok padanya, dan pekerjaanku di kos: membaca, menulis atau mengetik. Jelas, aku tersinggung. Disamping butuh minjam duit dia dan rokok, maksud lain dibalik itu adalah aku ingin akrab dengan mereka, dengan bahasa mereka. Nyatanya, terlalu rendah hati dan terbuka juga tidak baik. Ini pelajaran berharga bagiku untuk menghadapi orang-orang hebat macam Kamili atau Pian. Harga diri buatku nomor satu.

***

Menerima surat dari ayah yang isinya terlalu melantur dan utopis. Ayah belum memahamiku dan dia tidak berubah: melihat kesalahan orang lain/masyarakat dan membanggakan diri sendiri. Aku akan membantah pola-pola berpikirnya. Surat dari Ince juga datang yang mengajurkan aku terus jadi aktifis. Kenapa kita baru bisa bicara sekarang, Ince?

Rabu, 25 Mei 1994

Hari Raya Waisak. Just at home. Seharian aku tidak makan nasi, hanya indomie, telor dan roti. Penyebabnya, aku tidak mau minta duit lagi pada Tuan Ismet. Biarlah dia sadar sendiri atas kedewasaannya. Untung sore Busra datang dengan Zaher.

Aku menyelesaikan tulisan: "Pragmatisme sebagai 'Ideologi' Mahasiswa 1990-an: Sebuah Analisa Awal". Rencananya mau kukirim ke harian Terbit, besok. Tapi, belum bisa diketik. Sabtu akan kudiskusikan di KSM.

Kamis, 26 Mei 1994

Di Perpus diskusi dengan Umi soal humanisme. Dia mendefenisikan diri sebagai humanis yang feminis, memahami manusia sebagai manusia. Aku menolak konsepsinya tentang hewan yang dilihat dari sisi humanisme. Memahami hewan dari sisi kemanusiaan adalah mengingkari kemanusiaan itu sendiri. Dalam beberapa hal, hewan memang punya sifat manusia. Umi menyadarinya dan merubah pendapatnya menjadi: memahami hewan sebagai mahkluk yang punya perasaan. Dia bercerita soal seorang anak yang hidup dengan dunianya sendiri, walau secara fisik sehat dan normal.

"Kehidupannya mungkin begitu indah, sehingga menerlenakannya," katanya.

Juga berbeda pendapat soal Bu Nana yang belum kawin. Dia menuduhku usil dengan urusan orang lain, padahal : "Bu Nana adalah orang yang sukses!" Aku katakan, "Maksudku hanya satu: Mengapa? Agar kita lebih memahami satu sisi dari kehidupan." Kita bicara di depan Lila yang mengatakan psikologi sebagai upaya mengerti Bu Nana.

Ditraktir minum oleh Agus yang mengisukan Wien sebagai "benalu". Di Kansas, dia menanyakan hubunganku dengan Dewi. Kukatakan, hanya sebagai teman tukar pikiran dan konsultasi. 

"Aku lebih memahami Ema, begitupun sebaliknya," kataku.

Lalu bicara soal SMUI, pendekatan-pendekatan Zul, dan lain-lainnya. Agus kira-kira mengatakan, "Dalam setiap kemenangan, adalah wajar jika yang diprioritaskan adalah orang-orang yang dekat dengannya!" Aku mambantah, apalagi sikap itu ditujukan pada aktifis-aktifis SMUI sebelumnya, seperti Rifky, Retno, etc. Satu hal, aku membicarakan segala sesuatu secara lebih dewasa, tidak menghujat.

Ke Pusgiwa, diantar Wardi dan Handewi. Hanya Agus yang turun, sedangkan aku ke Jalan Fatimah, sekretariat HMI Cabang Depok. Sempat bicara tentang bangunan-bangunan bersejarah.

Kukira, hidup adalah pilihan. Teguh melihat kemunculanku di HMI sebagai "Sesuatu yang harus dipertanyakan, why?" Karena suasananya yang tidak kondusif, apalagi pesertanya adalah anak-anak 92 dan 93, maka aku menjadi kurang gairah. Belum saatnya aku menjadi seorang ideolog, walau aku butuh teman-teman. Di samping, aku tidak punya uang untuk mendaftar.

Aku memutuskan untuk pulang, walau merasa bersalah karena mengecewakan Mujtahid, Firdaus, Mangku, dan lain-lainnya. Masalah utamanya, aku tidak melihat keseriusan dari senior-senior HMI, antara lain anak-anak yang kukenal di UI. Rasa memiliki mereka sangat kurang dan aku bukan seorang ice-breaker pada semua tempat. Menurutku, HMI sudah mandul dan mungkin tidak diperlukan lagi kehadirannya. Kesalahanku, keluar sebelum waktunya, sebelum tahu apa isi HMI.

Satu hal yang kucatat, banyak lembaga yang butuh kaum reformis. Apakah aku telah menyia-nyiakan kesempatan? Entahlah. Mungkin seperti IMAMI UI. Tapi, aku sudah mengambil keputusan.

***

Ada satu catatan tentang humanisme, dari makalah Mbak melly (Magdalia) dalam seminar "Menuju Sejarah Wilayah", 13-15 Desember 1993:

"Seiring dengan perkembangan agama, berkembang pula pemikiran humanisme sekuler yang pada hakekatnya berasal dari Yunani Klasik. Gerakan ini muncul di koloni-koloni Inggris pada pertengahan abad ke-18 dalam bentuk gerakan pencerahan yang berpusat di Perancis. Humanisme yang mengutamakan akal budi dan ilmu pengetahuan mencapai puncaknya dalam pikiran rakyat Amerika selama dekade sesudah Revolusi Amerika (Ralph H Gabriel, Nilai-Nilai Amerika: Pemikiran dan Perubahan. Gama University Press, Yogyakarta, 1991).

Aku akan menghubungi Mbak Melly untuk meminjam buku-bukunya. 

Jum'at, 27 Mei 1994

Apakah aku telah larut dalam dendam, pada sekelilingku? Kehidupan yang perih, tanpa harga diri, menyiksa batin dan mentalku? Aku seharusnya bangkit dari tidur panjangku, untuk berkreasi, untuk hidup, untuk eksis. Tidak, aku harus menyingkirkan dendam. Tuan Is tidak bersalah, kakak-kakakku tidak bersalah, lingkunganku benar. Sumber kesalahan adalah diriku. Tapi, aku tak mesti mati karena salah.

Diskusi historiografi Islam kurang menarik. Hanya Bondan yang menyampaikan secara tuntas, namun kering. Elsye menanggapi dengan baik. Saran dari Mbak Wardiningsih: catatan sistem kartu.

Lalu, diskusi dengan Firdaus tentang HMI. Aku terpengaruh untuk ikut kaderisasi, karena sudah dibayari oleh Teguh dan kemungkinan kuliah di S2.

Mengambil pakaian ke kos, namun tidak jadi ikut karena ketemu Subuh dan Bagus sehabis shalat Jumat. Menghadap Pak Umar (tidak ada) dan kita diskusi tentang berbagai hal di Balsem, sampai 15.30. Aku mencueki Zul cs, karena sempat membaca Denny JA. Materi kampanye Zul kebanyakan diambil dari buku tersebut, dan dia selalu mengulang-ulang. Kamal, Isa, Agus juga ada. Kamal cerita soal pertengkaran sehabis penghitungan suara hari Sabtu. Tapi Taufik berada pada pihak yang kalah.

Kukira, persahabatanku dengan Bagus dan Subuh memasuki tahap yang lebih maju dari sebelumnya. Keakraban kita berjalan melalui diskusi. Bagus punya pemikiran yang baik, walau cenderung melegitimasikan kekuasaan sekarang dan mengagumi Soeharto. Subuh agak childish dan tidak bisa serius dalam diskusi.

Pulangnya mengetik makalah untuk besok, sampai malam, lalu menulis surat buat Ince. Suatu nostalgia lama dan perubahan kepribadian. Pemikirannya juga bagus dalam menanggapi suratku. Sahabat-sahabat lama sudah kembali, dan akankah abadi?

Banyak ide-ide penulisan muncul di benakku, dan ini konstruktif. Aku sudah jadi penulis dan pemikir, mungkin.

Sabtu, 28 Mei 1994

Menerima surat Jana dari Lampung. Aku kagum pada isi surat Janna yang mengkritik keras isi suratku tentang "kebijaksanaan". Ada dialektika dan Janna punya pemikiran yang baik dan sistematis, serta punya rasa ingin tahu yang besar.

Rapat di SM FSUI, dipimpin Kamal. Sekadar persiapan untuk LPK. Anak Suara Mahasiswa UI mau ke Cisarua, untuk pelantikan. Sedangkan Zul dan Agus agak sakit, karena lelah.

Makalahku mengundang polemik di KSM UI, karena aku menyatakan bahwa pragmatisme adalah sintesa kegagalan kelompok studi dan parlemen jalanan di era 1980-an. Pragmatisme sendiri belum menjadi ideologi, tapi baru sekadar sikap dan tindakan mayoritas mahasiswa era 1990an. Kata Rudi, tulisanku bisa dikirim ke surat kabar. Aku menemukan kepercayaan diri dengan diskusi. Sangat positif. Pulang bareng Agus yang nanya hubunganku dengan Ema. Dia mendorongku untuk memilih Ema, ketimbang Dewi.

"Mereka adalah sahabatku," kataku.

Mudah-mudahan aku tidak terjebak dengan skandal wanita, ketika jadi orang penting nantinya. Amin! Wanita termasuk penghambat karier Aries, namun sebaliknya pemacu semangatnya untuk meraih cita-cita. Kontroversial.

Menonton film Hakim bin Dinar. Sangat bagus dan mengusik nilai-nilai imanku. Ya ALLAH, beri aku ampunmu.

O,ya, paginya juga menerima surat dari Syamsul (Universitas Sriwijaya) soal piagam SNAM. Obsesiku untuk membikin jaringan di seluruh Indonesia akan tercapai, asalkan aku konsisten. Makanya aku masuk Komisi Hubungan Luar SMUI, walau kurang disukai oleh Ikhsan.

"Elu akan disubordinasi oleh Zul," katanya. Juga, pertentangan pendapat soal Ketua Komisi Penalaran. Belum ketemu pemecahannya. Besok ke Bogor.

Minggu, 29 Mei 1994

Aku menilai, dilarangnya peserta luar negeri untuk menghadiri Konferensi tentang Timor Timur di Universitas Manila tanggal 31 Mei -- 4 Juni (semula sampai 20 Juni, tapi dipersingkat) sebagai bukti makin kuatnya posisi Indonesia di mata dunia, terutama di Asia Tenggara. Protes Indonesia atas konferensi tersebut, karena dinilai tidak menyelesaikan masalah dan sebagai provokasi politik belaka, ternyata ditanggapi Presiden Fidel Ramos dengan serius.

Kupikir pembatasan-pembatasan yang dilakukan oleh pemerintah Philipina, termasuk mencekal kedatangan pemenang hadiah Nobel Perdamaian asal Irlandia tahun 1976 Mairead Maquire dan batalnya kedatangan istri Presiden Perancis dan istri Presiden Portugal, menunjukkan lemahnya bargaining position Philipina dan implikasi dari adanya kebutuhan atau ketergantungan politik tertentu kepada Indonesia.

Apakah ini suatu kemenangan bagi Indonesia? Belum tentu, karena dengan adanya kasus ini, akan menimbulkan suatu sikap kehati-hatian atau kewaspadaan atau bahkan penjarakan hubungan dengan Indonesia yang dinilai "berani" menekan Philipina. Kesalahan utama Fidel Ramos adalah terlalu cepat mengambil keputusan, tanpa ada negosiasi terlebih dahulu dengan Indonesia dan panitia penyelenggara. Di sisi lain, kedudukan Indonesia makin strategis di dunia, serta sangat potensial sebagai pemimpin dunia.

***

Pukul 07.00 sudah di stasiun kereta UI, menuju Bogor. Walau kurang tidur, momentum ini sangat konstruktif bagi peningkatan rasa kekompakan, kekeluargaan dan saling pengertian di antara anggota KSM UI. Hanya 14 orang yang ikut: aku, Alex, Indra, Kun, Yuli, Ikhsan, Memed, Titis, Ayu, Eva, Ida, Maya, Yayuk, Lina dan Rifky. Sayang, Rudi tidak datang, karena kuharap bisa memberikan kontribusi atau kritikan atas makalahku kemaren.

Ada lima hal yang dibicarakan, setidaknya:

Keanggotaan: aktif dan partisipatif (usulku).

Kepengurusan: tidak terpaku pada struktur.

Orientasi program (prioritas "ciri khas" KSM).

Sikap terhadap SMUI: oposan atau pressure groups.

Pengembangan KSM UI: kepanitiaan terbuka, sosialisasi program, peningkatan kemampuan anggota, dll.

Suasana yang terbangun melalui pertemuan di Kebun Raya Bogor melepaskan suasana formal Pusgiwa. Kita lebih santai dan terbuka dalam berargumen atau mengajukan usul perubahan. Banyak masukan baru dan yang penting: KSM telah mengondisikan anggotanya untuk bersikap kritis dan demokratis dengan kemampuan ilmiah-analitis. Jika konsolidasi dan kekompakan tetap terjamin, aku yakin KSM akan lebih disegani oleh mahasiswa UI dan masyarakat, ketimbang SMUI. Ini memungkinkan.

Dan aku sudah menuntaskan satu persoalan, yaitu tetap ada di KSM dan masuk SMUI. Alasanku untuk aktif di SMUI adalah agar apa yang sudah kubangun selama 1,5 tahun di SMUI (sejak Diskusi Mahasiswa tentang Tinggal Landas) tidak runtuh, terutama hubunganku dengan aktifis-aktifis mahasiswa di UI dan diluar UI. Ini penting, untuk aktualisasi dan eksistensi diri, di samping kemampuan organisatoris dan kesempatan-kesempatan eksklusif yang jarang ditemui, jika aku jadi mahasiswa biasa.

Sedangkan kemampuan penalaran (logika) akan kuasah di KSM UI dan formalitas keilmuan (sejarah) akan kutempa di SKS. Aku yakin, bisa membagi waktu. Apalagi, aku tidak maksimal dalam 1 tahun yang lalu. Krisis keuangan akan kucoba atasi dengan mengirim tulisan-tulisan ke surat kabar.

Senin, 30 Mei 1994

Semalam kondangan Wati dan Dedy dan terpaksa minta duit pada Tuan Ismet Rp. 2.000,- Aku benar-benar tidak enak hati.

Dicegat Subuh di FISIP dan makan di balsem. Subuh sudah mengalami fase yang sangat penting dalam dirinya, yaitu fase religius. Terhadap suatu persoalan atau suatu kehidupan yang dilihatnya, dikembalikan dengan doa kepada Allah SWT. Satu obsesinya adalah membantu rakyat yang cacat dan telantar. Tujuan hidup yang mulia. Sedangkan aku, mempunyai obsesi untuk mendirikan perpustakaan bagi masyarakat. Kesadaran masyarakat harus ditumbuhkan melalui bahan bacaan.

Bicara soal SMUI. Ternyata Subuh serius dengan isian pilihannya pada formulir, yakni Sekum SMUI. Maksudnya untuk mengkritik kebijakan dan putusan Zul yang menyalahi mekanisme, konvensi dan prosedur. Reaksi Zul? "Merah mukanya!" katanya.

Menerima surat dari Yanti, siswi SMAN Padang Panjang, soal kiat-kiat menghadapi UMPTN. Aku menyayangkan keterlambatannya mengirim surat padaku. Tapi lebih baik terlambat, daripada tidak sama sekali.

Ketemu Ema di Perpus dan hanya bicara soal salam Gatot. Dia mau ujian, dan kelihatan sibuk dengan dirinya.

Diskusi Seminar Wanita tidak efektif dan kurang terarah. Perdebatannya berlangsung monoton, hingga membosankan. Hanya Amir, aku, Musa dan Elsye yang aktif. Amat melelahkan, dari pukul 11.00 s/d 15.00. Pulangnya ke (Toko Buku) Graffiti, membeli pulpen (yang dipakai untuk menulis buku harian) ini, buku tentang negosiasi karangan Samfrits le Poole, kertas HVS. Duitnya kuperoleh dari Subuh, Rp. 100.000,- Separo akan kugunakan untuk bayar utang pada Tuanku Kuniang di kampung.

***

Lingkungan kosku benar-benar neraka. Aku memang sudah bulat untuk pindah. Sampai pukul 02.00 dinihari menulis soal "Humaniora sebagai Alternatif Pendidikan Generasi Muda". 

Selasa, 31 Mei 1994

Agak ngantuk, kuyu dan gelisah, gara-gara kurang tidur semalam. Tapi aku puas atas diriku. Aku akan kirim ke Suara Pembaharuan, Terbit, Pelita atau Republika. Belum pasti.

Diskusi dengan Mas Anto (Susanto Zuhdi) lebih terarah. Intinya, makalahku soal "Pembantaian Cina di Pariaman" dikritik Sitho sebagai "terlalu didramatisir" atau kata Mas Anto "Sebagai Putra Daerah". Nyatanya, masih sulit mengambil sikap. Bukan materi bahan yang disorot, tetapi lebih ke pribadi. Banyak masukan juga, antara lain identifikasi data. Kuliah dari pukul 09.00 (aku terlambat), break makan dan fotokopi dan diteruskan sampai 14.00.

Ada Dewi mencariku, tapi tak ketemu. Pulangnya diskusi dengan Teguh. Dia independen dan bangga akan dirinya.

Tidur sore dan malamnya ngetik, serta ke rumah Ida diajak Rival. Hanya ada ibunya dan May, kakaknya. Ngobrol akrab. Asumsiku tidak sejelek semula tentang keluarga Ida. May sangat bersahabat. Dia hobi ngumpulin perangko bekas dan aku menjanjikan memberikan perangkoku dari surat-surat yang datang.

Pulangnya kuhitung: mencapai 40 lembar. Lumayan. Rata-rata menerima 15 surat pertahun: dari Titin, keluarga, Zulfahmi, Zulkarnaen, Pak Bustamam, Bobby, Janna, Denok, Ince, Yanti, Syamsul, Nilawati, dan Ichwan Mustafa (IKIP Malang). Alangkah sedikitnya. Sebagai seorang yang suka bersahabat dan berkomunikasi, seharusnya aku lebih sering berkorespondensi, termasuk dengan orang-orang asing dan teman-teman dari seluruh Indonesia. Akan kulakukan untuk tahun-tahun mendatang.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun