Mohon tunggu...
Ahmad Ramdani Official
Ahmad Ramdani Official Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

"Jadikan buah pikiranmu, adalah karya terhebatmu untuk Dunia!!"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Merajut Asa, Mimpimu...

6 Maret 2024   22:43 Diperbarui: 6 Maret 2024   23:06 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seketika tawa yang dilakukan oleh Pak guru terhadap respon Malanggi barusan, tak lama setelahnya teman-teman dalam satu kelasnya pun turut tertawa terbahak-bahak.

Disaat tawa ejekan memenuhi sudut ruangan kelas, salah seorang teman sekolahnya menghina Malanggi dengan berkata. "Eh kamu yang hidupnya selalu malang. Tahu apa sih tentang Nasionalisme hah? IQ jongkok ajah mau ngajarin burung yang pandai terbang. Ha.. ha.. ha.."

Tidak ada satupun teman yang peduli terhadap ejekan dari Bapak guru dan mayoritas teman sekolah. Kakek Malanggi lantas hanya terdiam saja dan memberikan terhadap mereka-mereka para pengejek, berupa senyum manisnya. Seolah-olah, ejekan berupa tawa'an itu adalah kebodohan yang sengaja mereka semua perlihatkan. Maka setelah itu, Malanggi muda pun turut tertawa terbahak-bahak.

Pak guru yang melihat Malanggi tertawa dan justru tidak merasa sedih, Iapun lantas berhenti untuk tertawa. Pak guru sudah tahu, bahwa upaya mendoktrin Anak-anak Remaja lewat jalur pendidikan formalitas yang memang mereka para penjajah sediakan itu, akan gagal kalau ada diantaranya yang ternyata unggul dan begitu paham serta menanamkan prinsip-prinsip Nasionalisme Negeri.

Kelas pun berakhir, dan murid-murid sekolah bubar menuju pulang kerumah. Semua teman-teman dijemput oleh Orang-Tuanya masing-masing, walaupun adapula yang memilih pulang sendirian kerumah dengan berjalan kaki ataupun menaiki delman kalau ada yang punya perkara ongkos. Salah satu diantara mereka para siswa yang pulang sendiri tanpa dijemput oleh Bapak dan Ibu, adalah Malanggi muda.

Ongkos ke sekolah tidak ada. Bapak dan Ibu, tak pernah sudi untuk memberi secara percuma-cuma. Dan  untuk mendapatkan uang jajan atau ongkos pulang-pergi dari sekolah kerumah, Malanggi muda harus lebih dulu bekerja membantu Bapak dikebun. Kalau tidak ada pekerjaan dan Bapak sedang tidak membutuhkan bantuannya, perihal uang jajan dan ongkos tidak diberi. Maka, Ia harus bekerja dengan orang lain yang memang membutuhkan tenaga.

Pelita yang terpendam didalam lumpur, ia tidak akan sedikitpun berganti eksistensinya. Namanya mungkin dapatlah berubah. Akan tetapi, loyalitasnya tetap. Pelita tetaplah pelita, dan tidak akan pernah berubah sedikitpun walau tempatnya berada kian tak mendukung. Hal yang demikian, samalah saja dengan Kakek Malanggi sedari Ia muda. Dikarenakan otak yang cerdas dan berakal, Ia berpikir. Dan Ia unggul.

Tetapi sayang seribu sayang, keadaan Negeri ini kacau balau dalam hal analisis-menganalisis. Mereka yang hebat nan berpotensi disebabkan akalnya yang cemerlang, haruslah rela dipaksa menyingkir dari peradaban yang gelap dalam Negeri ini. Sebab manakala kecerdasan yang berujung kebenaran tersebut diperlihatkan serta dijadikan landasan konsep hidup, maka hancurlah upaya neo-kolonialis yang tujuannya adalah hendak menghancurkan.

Malanggi muda, adalah remaja yang cerdas kepalanya macam Einstein dan Edison dulu. Namun, dikarenakan fenomena itu tengah merajalela dalam Negeri yang gelap pikir disebabkan doktrin, Ia tak dianggap oleh sekelilingnya, bahkan dijatuhkan serta dicemari hujatan, cacian, serta fitnah. Bapak guru setelah memberikan mata pelajaran, kemudian berunding bersama-sama guru-guru yang satu sama lain, adalah Orang-orang Belanda yang tersisa didalam Negeri.

"Kita harus mencari cara agar bagaimana Kita bisa menyingkirkan Anak Remaja yang bernama Malanggi ini." Ucap Harry, guru yang mengajar dikelas Malanggi muda tadi.

"Ya, kamu betul. Ternyata Anak ini begitu condong terhadap Nasionalisme-nya Sukarno." Tanggap seorang guru yang lain.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun