Sesampai di toko obat atau apotek istilahnya, Kakek Malanggi langsung membeli obat yang dibutuhkan. Entah secara kebetulan atau mungkin terencana pasti daripada kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa, di apotek tersebut ada dua orang yang mengklaim dirinya sebagai tim dari suatu komunitas penerbit buku. Dua orang itu datang untuk memberitahu bahwa naskah tulis sang karyawan apotek, tidak lolos seleksi daripada kriteria tulisan keinginan penerbit.
"Enggak mungkin. Masa iya Novel saya tidak bisa diterbitkan sih?" Selly, selaku karyawan apotek membentak tim penerbit buku. Ia tak terima, jika karyanya tidak bisa di-publish.
"Mohon Maaf sebelumnya Mbak. Sekali lagi Kami minta maaf. Mungkin kiranya Mbak dapat bekerjasama dengan penerbit buku yang lain agar dapat mem-publish naskah Mbak." Ucap Hartono, selaku salah satu tim penerbit.
"Tidak perlu!" Selly menjadi geram.
"Saya bisa menerbitkan naskah Novel saya sendiri, tanpa harus bekerjasama dengan penerbit manapun. Saya sudah tidak percaya lagi semua komunitas penerbitan. Semboyannya saja aktifkan literasi, tetapi dukungan atas semboyan itu kepada Orang-orang justru tidak pernah terjadi!"
Kakek Malanggi bingung, tatkala Ia memperhatikan Selly memarahi dua orang yang dianggap asing oleh Kek Malang tersebut. Ia tak tahu, masalah apa yang sebenarnya terjadi. Tentu, Ia pun tidak ingin mencari tahu dengan turut ikut campur. Namun, hal ini membuat perasaannya menjadi merasa miris. Karena di masa kini budaya saling kasih-mengasihi, sayang-menyayangi itu, lama-kelamaan telah terkikis bahkan sudah hampir lenyap.
Tak lama kemudian, akhirnya pesanan obat Kakek Malanggi itupun sampai kepadanya. Karyawan apotek lain-lah yang melayani.
"Permisi Kek, Ini obatnya. Totalnya menjadi Rp 75.000 ya, terimakasih." Sapa karyawan apotek.
"Oh iya, ini uangnya. Terimakasih kembali." sambut Kek Malang.
"Sama-sama Kek."
Setelah bentak yang diwujudkan dalam bentuk oceh omelan dari Selly selaku salah satu karyawan apotek kepada dua orang penerbit buku, mereka berdua akhirnya keluar dari apotek itu untuk pergi pulang. Raut wajah mereka terlihat murung, karena mendengar cacian yang terlontar kepada mereka. Seperti inilah perlakuan yang kadangkala kerap diterima oleh tim penerbit buku.