Mohon tunggu...
Ahmad Ramdani Official
Ahmad Ramdani Official Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

"Jadikan buah pikiranmu, adalah karya terhebatmu untuk Dunia!!"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Merajut Asa, Mimpimu...

6 Maret 2024   22:43 Diperbarui: 6 Maret 2024   23:06 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sebuah desa yang letaknya kira-kira berada didalam pedalaman hutan belantara, hiduplah seorang Pria Tua renta yang tinggal seorang diri tanpa siapapun Orang-orang yang hidup bersama dengannya. Entah itu seorang istri maupun Anak, ataupun keluarga besarnya yang lain. Tetangga masyarakat sekeliling, begitu berjauhan rumahnya satu sama lain, walapun masih dalam lingkup desa yang sama.

Letak Desa tersebut begitu jauh dari permukaan tanah pemukiman penduduk-penduduk warga yang ramai, namun hal itu tidak menjadi masalah bagi masyarakat sekeliling yang tinggal dalam desa di pedalaman.

Sang Kakek Tua hidupnya sebatang kara. Kesedihan yang pahit dan mendalam, bukan berarti tak pernah dirasa disebabkan kesendirian itu, namun sang Kakek hanya saja diam dan pasrah menerimanya. Kakek Tua tersebut bernama "Malanggi Haiwisastro." Orang-orang desa setempat yang mengenal beliau, biasa menyapa dengan sapaan "Kakek Malanggi."

Sewaktu usia muda, Ia kerap disapa sebagai "Malang." Nama itu bukan hanya membuat bingung teman-teman beserta Orang lain yang akrab mengenalnya dulu, Kakek Malang sendiripun juga merasakan bingung. Mengapa Ibu dan Bapak yang sudah lama pergi meninggalkannya itu, dahulu memberi Ia nama yang demikian.

Nama "Malanggi" dengan sapaan "Malang," tentu membuat dirinya merasakan kesedihan dalam perasaannya, seketika tatkala banyak Orang-orang memanggil. Akan tetapi, sosok Kakek Malanggi memiliki jiwa yang tegar layaknya seekor Kura-kura yang senantiasa lelah mengangkat tempurung dibalik tulang punggung-nya.

Jamak hewan-hewan di alam raya, mungkin ada saja yang menertawainya. Dan tawa mereka, diendapkan dalam bisu serta dibalut gimmik-gimmik wajah mereka. Begitu pula halnya apa yang dialami seorang Kakek Malanggi sepanjang hidupnya, hingga kini. Namun, hal itu mungkin hanya syahwat sangka semata. Tetapi sebaliknya pula, bisa saja hal itulah justru yang sebenarnya. Oleh karenanya, apapun yang terjadi, Kakek Malanggi tetap tegar nan bahagia menjalani hidup yang sebatang kara dan walau usia yang sudah renta.

Siapapun Makhluk hidup bernama Manusia, adalah lazim jikalau Ia harus menentukan arah hidupnya. Arah hidup, sebagaimana Alam Semesta yang berjalan dengan arah tujuan yang terarahkan secara pasti. Meskipun memang, arah tujuan perjalanan daripada Alam Semesta itu "diarahkan" atau "diperjalankan" oleh Dia "Sang Pencipta," sehingga Alam dapat mencapai titik arah tujuannya dengan pasti dan tanpa meleset atau menyimpang dari fitrahnya sedikitpun.

Tentu memang berbeda dengan Manusia, yang tercipta dengan fitrah kebebasan hidupnya untuk memilih mau diapakan, untuk apa, dan dibawa kemana. Siapapun Manusia, bebas untuk menentukannya sendiri. Motivasi inilah yang dahulu kala, disampaikan melalui didikan yang cukup kejam dan amat tegas, keras, bagaikan tanpa belas kasih sayang oleh Bapak dan Ibu Kakek Malanggi dulu.

Sedari kecil, Kakek Malanggi tak pernah henti dididik tegas. Tidak ada hari tanpa amarah, teriakan, pukulan rotan ataupun sapu, yang kian melayang pada tubuhnya dahulu dari Bapak, bahkan Ibu sekalipun. Siapapun generasi tercinta kehidupan Manusia yang terlahir di masa kini, sudah barang tentu pasti tidak ada yang sanggup menahan bahkan menghadapinya.

Bahkan jikalau ada Orang-Tua yang melakukan tindakan penegasan yang begitu berlebihan di masa kini teruntuk Anaknya tersebut, pastilah dipandang buruk atau negatif; yaitu berupa tindakan kejam nan jahat. Kemudian dari pihak sang Orang-Tua, sudah dapat dipastikan berakhir didalam "Bui" atau "Penjara." Fenomena didikan masa kini, memanglah berbanding terbalik dengan apa yang Kek Malang alami berpuluh-puluh tahun yang lampau itu.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun