Mohon tunggu...
Ahmad Ramdani Official
Ahmad Ramdani Official Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

"Jadikan buah pikiranmu, adalah karya terhebatmu untuk Dunia!!"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Merajut Asa, Mimpimu...

6 Maret 2024   22:43 Diperbarui: 6 Maret 2024   23:06 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kalau memang banyak kisah-kisah yang selalu kita alami dan kita rasakan didalam kehidupan, pertanyannya, apakah suatu saat Anak-anak generasi kita akan mengetahui kisah kita, sebagai acuan perjuangan hidup mereka kedepan?"

"Kemudian bagaimana caranya, agar supaya Anak-cucu kita kelak dapat mengetahui kisah-kisah manis dan pahitnya hidup kita sekarang?"

Bilik bambu rumah Kakek Malanggi, jendelanya tiba-tiba terbuka lebar oleh karena hembusan angin malam yang seketika menghantam. Maklum karena jendela yang sudah carut-marut dan lapuk dimakan waktu serta rayap. Ia belum sempat lagi memperbaiki, bukan karena usia yang sudah renta atau perkara uang, melainkan waktu yang cukup habis karena mencari rezeki dan sumber yang hendak dijual.

Kakek Malanggi kemudian terbangun dari keadaannya yang hampir tertidur, lalu menghampiri jendela untuk menutup kembali. Tetapi, niat itu sontak Ia urungkan tatkala Kek Malang melayangkan kedua matanya keatas langit di angkasa yang bercampur bintang-bintang.

"Sungguh, indah sekali bintang-bintang, sehingga membuat ratusan pujangga mengambil isyarat daripada mereka." Tutur Kek malang.

"Wahai Engkau Yang Maha Kuasa. KeagunganMu seakan abadi dalam bumi alam raya ini, meskipun langit dan bumi kian berlalu. Aku selalu bertanya-tanya, tak pernah ada memang kehidupan yang abadi. Kehidupan selalu silih-berganti seperti siang dan malam, yang merupakan suatu ketetapan dariMu. Namun, aku merasa bingung. Apakah kehidupan yang akan berlalu, dapat dikenang bagi kehidupan yang akan datang?"

Setelah ucapnya seraya menatap langit itu, Kakek Malanggi menutup pintu jendela rumahnya tersebut dengan perlahan. Ya, perlahan-lahan sebab jendelanya yang telah rapuh. Ketika jendela telah tertutup, kebetulan Ia melihat sebuah pena yang terletak dibawah kolong meja makannya. Letak meja makan itu ada di ruang tamu. Ruang tamu yang sekaligus merupakan tempatnya tertidur, menyiapkan barang dagangan ialah Ikan-ikan, serta bersantai menikmati waktu dan juga ketika makan itu sendiri.

Pendeknya, rumah yang hanya berupa gubuk bambu kecil semata, berfungsi untuk apapun. Dan rumah itupun Ia buat dulu seorang diri, dengan perlengkapan apa adanya. Kakek Malanggi langsung menghampiri pena yang dilihatnya, kemudian mengambilnya. Ternyata itu bukanlah pena yang bertinta hitam, melainkan hanyalah sebuah pensil kecil yang Ia pakai dulu sewaktu membangun rumahnya sebagai penanda ukur-mengukur terhadap batas-batas.

Tak disangka-sangka, pensil itu kini telah banyak diselimuti oleh debu-debu, disebabkan Kakek Malanggi tak pernah lagi memperhatikan bahkan mempedulikannya. Usia sang pensil, adalah sama sudah dengan usia dimana awal mula Ia pakai membangun rumah tujuh tahun yang lalu.

"Seperti itulah sikap Manusia." Gurau Kek Malang.

"Sesuatu yang Ia cinta dan kasihi, hanya ketika Ia dibutuhkan saja diawal. Setelah hal yang dicinta dan dikasihi itu tiada lagi berguna baginya, Ia pun  disingkirkan dan dilupakan. Maafkan dan ampunilah Aku yang mengabaikanmu. Mulai sekarang, Aku akan menyimpanmu, menjagamu, dan akan kukenang jasa-jasamu. Walau kini engkau telah rapuh serta tak layak pakai, tetapi dulu perjuanganmu telah membuahkan hasil lalu menggembirakan insan yang patut digembirakan."

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun