Mohon tunggu...
Ahmad Ramdani Official
Ahmad Ramdani Official Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

"Jadikan buah pikiranmu, adalah karya terhebatmu untuk Dunia!!"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Merajut Asa, Mimpimu...

6 Maret 2024   22:43 Diperbarui: 6 Maret 2024   23:06 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : IStock

Di sebuah desa yang letaknya kira-kira berada didalam pedalaman hutan belantara, hiduplah seorang Pria Tua renta yang tinggal seorang diri tanpa siapapun Orang-orang yang hidup bersama dengannya. Entah itu seorang istri maupun Anak, ataupun keluarga besarnya yang lain. Tetangga masyarakat sekeliling, begitu berjauhan rumahnya satu sama lain, walapun masih dalam lingkup desa yang sama.

Letak Desa tersebut begitu jauh dari permukaan tanah pemukiman penduduk-penduduk warga yang ramai, namun hal itu tidak menjadi masalah bagi masyarakat sekeliling yang tinggal dalam desa di pedalaman.

Sang Kakek Tua hidupnya sebatang kara. Kesedihan yang pahit dan mendalam, bukan berarti tak pernah dirasa disebabkan kesendirian itu, namun sang Kakek hanya saja diam dan pasrah menerimanya. Kakek Tua tersebut bernama "Malanggi Haiwisastro." Orang-orang desa setempat yang mengenal beliau, biasa menyapa dengan sapaan "Kakek Malanggi."

Sewaktu usia muda, Ia kerap disapa sebagai "Malang." Nama itu bukan hanya membuat bingung teman-teman beserta Orang lain yang akrab mengenalnya dulu, Kakek Malang sendiripun juga merasakan bingung. Mengapa Ibu dan Bapak yang sudah lama pergi meninggalkannya itu, dahulu memberi Ia nama yang demikian.

Nama "Malanggi" dengan sapaan "Malang," tentu membuat dirinya merasakan kesedihan dalam perasaannya, seketika tatkala banyak Orang-orang memanggil. Akan tetapi, sosok Kakek Malanggi memiliki jiwa yang tegar layaknya seekor Kura-kura yang senantiasa lelah mengangkat tempurung dibalik tulang punggung-nya.

Jamak hewan-hewan di alam raya, mungkin ada saja yang menertawainya. Dan tawa mereka, diendapkan dalam bisu serta dibalut gimmik-gimmik wajah mereka. Begitu pula halnya apa yang dialami seorang Kakek Malanggi sepanjang hidupnya, hingga kini. Namun, hal itu mungkin hanya syahwat sangka semata. Tetapi sebaliknya pula, bisa saja hal itulah justru yang sebenarnya. Oleh karenanya, apapun yang terjadi, Kakek Malanggi tetap tegar nan bahagia menjalani hidup yang sebatang kara dan walau usia yang sudah renta.

Siapapun Makhluk hidup bernama Manusia, adalah lazim jikalau Ia harus menentukan arah hidupnya. Arah hidup, sebagaimana Alam Semesta yang berjalan dengan arah tujuan yang terarahkan secara pasti. Meskipun memang, arah tujuan perjalanan daripada Alam Semesta itu "diarahkan" atau "diperjalankan" oleh Dia "Sang Pencipta," sehingga Alam dapat mencapai titik arah tujuannya dengan pasti dan tanpa meleset atau menyimpang dari fitrahnya sedikitpun.

Tentu memang berbeda dengan Manusia, yang tercipta dengan fitrah kebebasan hidupnya untuk memilih mau diapakan, untuk apa, dan dibawa kemana. Siapapun Manusia, bebas untuk menentukannya sendiri. Motivasi inilah yang dahulu kala, disampaikan melalui didikan yang cukup kejam dan amat tegas, keras, bagaikan tanpa belas kasih sayang oleh Bapak dan Ibu Kakek Malanggi dulu.

Sedari kecil, Kakek Malanggi tak pernah henti dididik tegas. Tidak ada hari tanpa amarah, teriakan, pukulan rotan ataupun sapu, yang kian melayang pada tubuhnya dahulu dari Bapak, bahkan Ibu sekalipun. Siapapun generasi tercinta kehidupan Manusia yang terlahir di masa kini, sudah barang tentu pasti tidak ada yang sanggup menahan bahkan menghadapinya.

Bahkan jikalau ada Orang-Tua yang melakukan tindakan penegasan yang begitu berlebihan di masa kini teruntuk Anaknya tersebut, pastilah dipandang buruk atau negatif; yaitu berupa tindakan kejam nan jahat. Kemudian dari pihak sang Orang-Tua, sudah dapat dipastikan berakhir didalam "Bui" atau "Penjara." Fenomena didikan masa kini, memanglah berbanding terbalik dengan apa yang Kek Malang alami berpuluh-puluh tahun yang lampau itu.

Bahkan lebih kejam lagi. Kala usia Kakek Malanggi adalah 19 tahun, atau dengan kata lain, tatkala usianya yang masih remaja, hari kelulusan terhadap siswa/siswi tingkat sekolah menengah atas pun tiba.

Sekolah tersebut merupakan salah satu Sekolah kuno peninggalan penjajahan Belanda atas Negeri kita dulu. Adapun sekolah SMA tempat Kakek Malanggi belajar ketika usia remaja, merupakan salah satu sekolah yang didirikan oleh Kaum Penjajah sebagai sikapnya yang dulu senantiasa dilayangkan kritik.

Kritik tersebut tidak lain dan tidak bukan, adalah dilakukan secara bertubi-tubi oleh salah seorang pemuda Belanda dalam kalangan mereka sendiri yang bernama "Van De-Venter."  Dan oleh karena seorang pemuda bernama Van De-Venter itulah di kemudian hari, sekolah-sekolah formalitas bagi Kaum Pribumi yakni bangsa Tanah Air kita tercinta ini, kemudian didirikan sebagai bentuk sikap "Etis" Kaum koloni Penjajah.

Sekolah tingkat Menengah Atas yang kakek Malanggi turut belajar didalamnya ini, akhirnya tibalah hari kelulusan bagi para siswa/siswinya yang telah belajar sampai dengan akhir semester. Ironisnya, semua teman-teman dapat lulus, kecuali Kakek Malanggi sendiri. Hanyalah Kakek Malanggi seorang yang tak lulus sekolah.

Semua Orang-Tua akan berpikir bahwa jikalau hal ini terjadi, itu disebabkan kebodohan, rasa malas, dan bisa juga karena sikap bolos sekolah oleh sang Anak didik sendiri yang tidak tekun untuk belajar. Tetapi ketidak-lulusan Kakek Malanggi dari sekolah kala mudanya dulu, sebenarnya bukanlah perihal kenakalan-kenalan itu. Namun, dalam pikir Bapak dan Ibu, rupa-rupanya justru memanglah demikian.

Setelah pagi hingga sore hari dalam hal ber-kegiatan acara kelulusan di sekolah; Bapak, Ibu, dan Malanggi muda pulang kerumah untuk beristirahat. Kendaraan transportasi berupa sepeda motor ataupun mobil, dahulu memang sudah ada. Akan tetapi, hanya kepada kelas kalangan masyarakat bangsawan sahajalah, keduanya dapat empunya.

Alat transportasi berupa "Kuda Delman" itulah justru dahulu kala, menjadi sarana-prasarana khalayak ramai bepergian kemana-mana. Dan dengan menggunakan delmanlah---Bapak, Ibu, beserta Malanggi muda dulu pulang kerumah. Jalan-jalan terlewati dalam kondisi yang dipenuhi kerikil, serta sekeliling desa yang dipenuhi hamparan luas sawah-sawah. Sayangnya, ketika penyerbuan agresi militer belanda I, desa itu pun punah dan bertahun-tahun kemudian menjelma menjadi hutan belantara itu.

Bila kita cermati, fenomena kehidupan yang ada di Desa pada masa lampau, memang dapat disimpulkan bahwa "Kebahagiaan Manusia, selalu bisa diraih walaupun itu hanya dengan kesederhanaan." Perjalanan dari sekolah menuju rumah, adalah setengah jam kurang lebih lamanya. Kurun waktu yang tidak singkat itu, disebabkan jarak tempuh yang lumayan lama pula yaitu 4,5 KM perjalanan dengan hanya memakai delman.

Memang apabila dipikirkan secara seksama, jarak waktu perjalanan yang beberapa kilo itu seharusnya tidaklah memakan waktu lama. Tetapi mengingat jalan-jalan pelosok bagaikan tidak terurus, mau tak mau, rasa suntuk dikarenakan lama perjalanan dari sekolah menuju rumah, haruslah rela dirasa. Tentu saja, memanglah harus sabar, sebab perhatian terkait Desa tidak mampu untuk ditindak-lanjut karena kondisi yang mencekam.

Ketiganya akhirnya tiba dirumah, dan seketika turun serta membayar perihal ongkos jasa delman, raut wajah Bapak dan Ibu kemudian berubah drastis menjadi bermuram durja. Dan itu adalah pasangan raut wajah yang mengisyaratkan amarah yang menggebu-gebu dan berapi-api. Pak kusir beserta kendaraan delmannya pun pergi, meninggalkan keluarga kecil tersebut.

Tak lama kemudian, Bapak meraih tangan kanan sang Anak, ialah Kakek Malanggi muda. Bapak meraih tangan Anaknya, dan bergegas diajak masuk kedalam rumah.

"Sini Kamu, cepat..!" geram Bapak.

Pintu rumah diketuk. Sang Anak bungsu atau Adik perempuan Malanggi muda satu-satunya yaitu Shinta, lantas segera membuka. Ibu, juga merasakan amarah yang berapi-api, oleh karena itu sudah jelas Ia takkan mencoba untuk melerai keadaan ini. Malahan, Ibu mendukung tindakan Bapak yang hendak menghukum Malanggi Anaknya ini.

Bapak, Ibu, dan Malanggi tiba didalam rumah. Suasana  rumah pun menjadi suasana yang begitu mencekam dan menakutkan. Shinta adiknya, sudah barang tentu tahu bahwa akan ada penghakiman bagi Kakaknya oleh Bapak dengan Ibu. Dan sebagai seorang Adik yang begitu sayang dengan sang kakak, Ia lantas tidak tega melihat hal ini. Sontak, Shinta pun berlari menuju belakang rumah untuk bersembunyi dan menyendiri.

Bapak mengambil pukulan, yang biasa Ia pakai untuk memukuli hewan kerbaunya ketika diperbantukan untuk membajak sawah yang terletak berada di belakang rumah.

Setelah pemukul yang bentuknya bagaikan cambuk itu berada dalam genggaman tangannya, dengan nada serta wajah geramnya, Bapak lalu bertanya. "Kamu selama ini fokus sekolah atau enggak?"

Malanggi muda yang dilanda ketakutan, kemudian menjawab secara terbata-bata. "A.. A.. Aku, selama ini fokus bersekolah kok Pak."

"Fokus kamu bilang?" Balas Bapak.

"Bapak sama Ibu sudah melihat nilai-nilai mata pelajaran di sekolahmu ya! Jangan bohong kamu. Nilai seluruh mata pelajaran di rapot, semuanya jelek! Dan lebih parah lagi, disitu tertera bahwa Kamu sering bolos!"

"Itu fitnah dari Bapak dan Ibu Guru Pak. Selama ini Aku selalu rajin bersekolah. Bukannya Bapak dengan Ibu selalu melihat Aku berangkat kan?" sahut Malanggi.

"Wahh,wahh." Bapak menanggapi pernyataan Kakek Malanggi muda seraya bertepuk tangan.

"Hebat kamu ya, sudah punya kemampuan bersandiwara. Menganggap penilaian dari Guru-guru di sekolah melakukan fitnah. Lalu menganggap Bapak dan Ibumu ini lalai?"

"Bukan begitu maksudku Pak."

"Diam..!!" Bapak membentak.

Tak lama setelah bentakan Bapak kepada Malanggi muda Anaknya, Ibu yang tadi diam membisu serta memperhatikan keduanya, lantas turut memuncak amarahnya dan melampiaskan semua amarah itu kepada Malanggi.

"Lang, dengar..!! Bapak sama Ibu mungkin setiap hari memerintah dan melihat Kamu berjalan ke sekolah. Tapi siapa yang tahu kalau misalnya Kamu justru memilih untuk bolos terus pergi nongkrong gak jelas sama temen-temen Kamu?!" ucap Ibu.

"Siapa yang tahu kalau selanjutnya kalian sepakat diam satu sama lain dan gak melapor ke Bapak dan Ibu, hah?!"

Berakhirlah sudah sikap berupaya pembelaan atas diri sendiri. Kakek Malanggi pun akhirnya hanya bisa terdiam. Di satu sisi, dikarenakan memang percuma saja. Buat apa lagi membela diri, kalau sikap itu tidak membuahkan hasil sama sekali, disebabkan Bapak dengan Ibu sudah tak mau mempercayai dirinya.

"Jadi benar, selama ini kamu bolos?" Setelah itu, Bapak bertanya kembali. "Jangan diam saja kamu, jawab Bapak..!!"

Entahlah, sepertinya amarah Bapak dan Ibu sudah tak dapat dibendung dan ditolerir. Pembelaan dengan puluhan kata-kata pun sudah takkan mampu meyakinkan keduanya untuk kemudian percaya. Malanggi muda, hanya bisa berdiam diri saja. Namun, karena pertanyaan amarah dari Bapak dan Ibu barusan harus dijawab, Malanggi menjawab hanya dengan kepala mengangguk.

"Dasar Anak kurang ajar..!! Tak tahu malu dan diuntung..!!" gerutu Bapak. "Dasar Anak biadab..!!"

Tak dapat dipungkiri, pukulan yang bentuknya bagai cambuk dalam genggaman tangan Bapak, akhirnya melayang pada tubuh Malanggi muda. Terasa sakit, namun Ia hanya dapat menahannya dan diam membisu tanpa kata-kata. Dalam pikir Bapak dan Ibu, setan mungkin telah merasuki diri sang Anak sehingga menjadi malas. Sedangkan fakta yang terjadi, sesungguhnya tidaklah demikian.

                                                                             ****

Kakek Malanggi tengah terduduk santai sembari menghirup secangkir kopinya dan sebatang rokok. Beberapa menit ketika melamun karena teringat kemudian membayangkan masa lalunya tersebut, sontak Iapun tersadar. Ia tidak sama sekali menangis haru mengingat masa lalu dirinya itu. Tidak seperti biasanya Orang-orang kalau sedang mengingat masa lalu, Ia meneteskan air mata.

Sebaliknya, masa lalu yang pahit lantas semakin membuatnya seberapa tersadar bahwa berbicara kehidupan, sesungguhnya adalah dimensi perubahan. Siapapun Manusia, tentu saja harus memiliki hasrat kemauan untuk berubah. Yang ingatannya, sama seperti yang diajarkan oleh  Bapak dan Ibu dahulu kala.

Siang hari, pada akhirnya kian semakin menunjukkan panasnya yang terik. Oleh karena itu, kakek Malanggi kemudian bergegas pulang kerumah menggunakan sepeda onthel miliknya seusai memancing ikan di sungai, yang letaknya sedikit jauh dari rumah dan berada didalam pedalaman hutan rimbun nan damai. Adapun Ikan-ikan yang dipancing, selanjutnya akan dijual nanti di pasar pada malam hari.

Kakek Malanggi pernah melakukan kerjasama dengan beberapa Orang, tentu dalam rangka menjual ikan hasil tangkapannya. Tetapi pada akhirnya, Orang-orang itupun pergi dan tak pernah kembali. Disebabkan, menjual Ikan di pasar tidaklah banyak memberikan hasil atau upah yang cukup bagi kebutuhan sehari-hari mereka dan keluarganya, Orang-orang yang pernah bekerjasama Kakek Malanggi.

Tidak ada hari tanpa mencari uang dengan cara menjual ikan, sebagai mata pencaharian. Sebab bila Ikan tidak ditangkap dan dijual, niscaya mulutpun tidak bisa mengunyah makanan yang masuk kedalam perut menjadi tenaga, karena sesuatu yang hendak dimakan itu tidak didapatkan secara percuma dan gratis. Haruslah dicari kemudian dibeli dengan menggunakan alat tukar ialah uang. Dan tentu saja untuk mendapatkan uang, upaya menjual ikan itulah jerih payah yang senantiasa dilakoni sang Kakek.

"Ikanku.. Oh.. Ikanku. Terimakasih ya, kamu tidak pernah terbesit keinginan untuk lolos ketika Aku mencoba untuk menangkapmu.. He he he." Ucap Kakek Malanggi dengan begitu riangnya.

Ikan-ikanpun telah selesai ditangkap dengan cara dijala, kemudian Kakek Malanggi bergegas pulang kerumah agar dibersihkan. Setibanya dirumah, Ia langsung membersihkan ikan-ikan hasil tangkapannya. Dan setelah ikan-ikan dibersihkan, dirinya kemudian segera mempersiapkan peralatan perlengkapan untuk nanti malam berjualan ikan.

Ketika peralatan sudah siap yaitu berupa lampu, terpal kecil, beserta bak-bak pengisi ikan-ikannya, Kakek Malanggi lantas beristirahat tidur siang sejenak untuk beberapa jam terlebih-dahulu. Dan saat-saat dimana Ia mulai beranjak pergi usaha ke pasar yaitu di waktu sore hari, dirinya pun terbangun. Di belakang rumah, kebetulan terdapat sungai kecil yang mengalir begitu indah nan tenang.

Airnya jernih, dan begitu sangat menyejukkan tubuh disaat Ia membasuh diri didalamnya. Disitulah Kakek Malanggi membasuh diri, sebelum akhirnya Ia beranjak berjualan Ikan di pasar pada malam hari. Sepeda onthelnya telah siap, kemudian barang-barang berupa ikan telah dinaikkan di boncengan belakang sepeda.

"Baiklah. Ayo, kita segera berangkat." Ucapnya.

Begitu senang dan senantiasa bahagia selalu Kakek Malanggi yang pahit hidupnya dari dahulu kala hingga saat ini, didalam mengarungi serta tanpa henti dilakukan, yaitu pengalaman-pengalaman yang kian datang menghampiri. Suara gunjingan tak sedap, sudah pasti ada. Bahkan lebih daripada itu. Kemiskinan yang tidak pernah hilang dari hidupnya, membuat Kek Malang lalu tidak disukai oleh satupun wanita. Hal Itulah mengapa, walau usianya yang sudah kian renta, Ia masih saja melajang.

Melajang dan melajang, sehingga sepanjang hidupnya, Kakek Malanggi tidak pernah tahu seperti apa rasanya dicintai, dikasihi, serta disayangi oleh seorang Wanita. Kendati demikian, sesungguhnya Ia pun tidaklah pernah peduli sama sekali. Cinta itu membahagiakan semua Manusia. Seorang Malanggi tua, begitu yakinnya Ia terhadap filosofi tersebut.

Dan Kakek Malanggi, menyandar salah satu dimensi keimanannya terhadap cinta yang begitu membahagiakan itu, dalam kehidupannya pada Dunia. Dan setiap detik dirinya bernafas kemudian bergerak dalam kehidupan diatas Dunia ini, itulah cinta yang senantiasa terpancarkan dari Yang Ilahi padanya. Begitulah pikir seorang Kakek Malanggi. Cinta memang tidak harus disandarkan dari subjek Manusia kepada objek Manusia yang dicinta.

Cintapun dapat pula dirasa, dari Kasih Sayang Yang Ilahi dalam penghayatan dan batin Manusia yang meyakiniNya. Cinta kasih tersebut, juga dapat dirasa dari Kehidupan faktual yang ada dalam Dunia. Dan siapapun Makhluk yang diciptakan serta menjadi hidup olehNya, lalu diberikan dimensi akal pikiran. Melalui akal pikiran itulah kemudian, manakala Manusia mau memfungsikan, dirinya dapat merasakan cinta yang tulus dalam Tuhan dan keberadaanNya, kemudian menjadikan dirinya "Sesuatu Yang Memukau."

Maka, itulah Kakek Malanggi yang sedari muda selalu memfungsikan akalnya. Ia tahu, bahwa ketika Ia belajar di sekolahnya dahulu, yang mendidik adalah mereka-mereka para guru-guru yang merupakan utusan Kaum koloni Penjajah. Dengan demikian, jelas pulalah jika yang diajarkan itupun merupakan ajaran-ajaran daripada paham-paham kurikulum pelajaran yang dibuat dan di suarakan oleh Orang-orang belanda itu.

Dalam perjalanan dari rumah menuju pasar malam tempat dimana Ia nanti mengais rezeki, Kakek Malanggi sejenak memikirkan kembali masa-masa lalunya. Masa-masa tatkala sekolah menengah atas, sewaktu usia remajanya dahulu.

"Pancasila sebagai landasan Negara yang tiga tahun lalu dirumuskan oleh Bapak Presiden Sukarno, Saya pikir asas-asasnya memang begitu menakjubkan konsepnya antara satu sila dan sila lainnya." Pak guru, tengah memberikan pelajaran bagi para murid-murid.

"Bapak Presiden kita, telah begitu luar biasanya menyusun rumusan Undang-undang tersebut. Maka, bagaimana caranya agar pancasila dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari kita? Saya pikir, seharusnya Kita ada upaya melakukan semacam aliansi terhadap asing. Sebab bagaimanapun juga, Negara kita masih ada dalam ikatan terselubung terhadap PBB. Dan kalau Kita telah melakukan upaya tersebut, Pancasila tentu bisa kita rasakan kehadirannya dalam konstitusi."

Tidak lama setelah paparan Pak Guru, Kakek Malanggi kemudian dengan tegas dan tanpa menaati aturan dalam suatu forum pendidikan, lantas segera membantah. "Mohon maaf Pak Guru kalau Saya memotong paparan Bapak. Menurut Saya justru tidaklah demikian."

"Apa maksud Kamu tidaklah demikian itu Malang?" tanya Pak Guru.

"Menurut Saya, kita semua tentu harus paham bahwa awal mula agar kita selaku bangsa Indonesia dapat menerapkan Pancasila, pertama-tama tentu adalah dengan memahami terlebih-dahulu makna daripada kelima sila yang ada. Saya yakin siapapun individu Kita, yang dengan kemampuan nalarnya bisa memahami pancasila, maka dia akan mampu menerapkannya pada kehidupannya sehari-hari, dalam hal berbangsa dan bernegara tanpa perlu aliansi dengan asing." Malanggi muda, memaparkan argumen tandingan.

Pak guru yang mendengar klaim atau argumen dari Malanggi, kemudian meresponnya dengan tawa. "Ha.. ha.. ha.."

Seketika tawa yang dilakukan oleh Pak guru terhadap respon Malanggi barusan, tak lama setelahnya teman-teman dalam satu kelasnya pun turut tertawa terbahak-bahak.

Disaat tawa ejekan memenuhi sudut ruangan kelas, salah seorang teman sekolahnya menghina Malanggi dengan berkata. "Eh kamu yang hidupnya selalu malang. Tahu apa sih tentang Nasionalisme hah? IQ jongkok ajah mau ngajarin burung yang pandai terbang. Ha.. ha.. ha.."

Tidak ada satupun teman yang peduli terhadap ejekan dari Bapak guru dan mayoritas teman sekolah. Kakek Malanggi lantas hanya terdiam saja dan memberikan terhadap mereka-mereka para pengejek, berupa senyum manisnya. Seolah-olah, ejekan berupa tawa'an itu adalah kebodohan yang sengaja mereka semua perlihatkan. Maka setelah itu, Malanggi muda pun turut tertawa terbahak-bahak.

Pak guru yang melihat Malanggi tertawa dan justru tidak merasa sedih, Iapun lantas berhenti untuk tertawa. Pak guru sudah tahu, bahwa upaya mendoktrin Anak-anak Remaja lewat jalur pendidikan formalitas yang memang mereka para penjajah sediakan itu, akan gagal kalau ada diantaranya yang ternyata unggul dan begitu paham serta menanamkan prinsip-prinsip Nasionalisme Negeri.

Kelas pun berakhir, dan murid-murid sekolah bubar menuju pulang kerumah. Semua teman-teman dijemput oleh Orang-Tuanya masing-masing, walaupun adapula yang memilih pulang sendirian kerumah dengan berjalan kaki ataupun menaiki delman kalau ada yang punya perkara ongkos. Salah satu diantara mereka para siswa yang pulang sendiri tanpa dijemput oleh Bapak dan Ibu, adalah Malanggi muda.

Ongkos ke sekolah tidak ada. Bapak dan Ibu, tak pernah sudi untuk memberi secara percuma-cuma. Dan  untuk mendapatkan uang jajan atau ongkos pulang-pergi dari sekolah kerumah, Malanggi muda harus lebih dulu bekerja membantu Bapak dikebun. Kalau tidak ada pekerjaan dan Bapak sedang tidak membutuhkan bantuannya, perihal uang jajan dan ongkos tidak diberi. Maka, Ia harus bekerja dengan orang lain yang memang membutuhkan tenaga.

Pelita yang terpendam didalam lumpur, ia tidak akan sedikitpun berganti eksistensinya. Namanya mungkin dapatlah berubah. Akan tetapi, loyalitasnya tetap. Pelita tetaplah pelita, dan tidak akan pernah berubah sedikitpun walau tempatnya berada kian tak mendukung. Hal yang demikian, samalah saja dengan Kakek Malanggi sedari Ia muda. Dikarenakan otak yang cerdas dan berakal, Ia berpikir. Dan Ia unggul.

Tetapi sayang seribu sayang, keadaan Negeri ini kacau balau dalam hal analisis-menganalisis. Mereka yang hebat nan berpotensi disebabkan akalnya yang cemerlang, haruslah rela dipaksa menyingkir dari peradaban yang gelap dalam Negeri ini. Sebab manakala kecerdasan yang berujung kebenaran tersebut diperlihatkan serta dijadikan landasan konsep hidup, maka hancurlah upaya neo-kolonialis yang tujuannya adalah hendak menghancurkan.

Malanggi muda, adalah remaja yang cerdas kepalanya macam Einstein dan Edison dulu. Namun, dikarenakan fenomena itu tengah merajalela dalam Negeri yang gelap pikir disebabkan doktrin, Ia tak dianggap oleh sekelilingnya, bahkan dijatuhkan serta dicemari hujatan, cacian, serta fitnah. Bapak guru setelah memberikan mata pelajaran, kemudian berunding bersama-sama guru-guru yang satu sama lain, adalah Orang-orang Belanda yang tersisa didalam Negeri.

"Kita harus mencari cara agar bagaimana Kita bisa menyingkirkan Anak Remaja yang bernama Malanggi ini." Ucap Harry, guru yang mengajar dikelas Malanggi muda tadi.

"Ya, kamu betul. Ternyata Anak ini begitu condong terhadap Nasionalisme-nya Sukarno." Tanggap seorang guru yang lain.

"Saya punya ide." Elisa, seorang guru yang berkumpul diantara mereka, memberikan ide liciknya.

"Apa itu?" tanya Harry.

"Tidak lama lagi, adalah hari kelulusan akhir semester pelajaran bagi semua Siswa. Rapot untuk Anak yang bernama Malanggi ini, alangkah baiknya kalau kita jelekkan saja." Usul Elisa.

"Nah, itu betul sekali. Saya setuju." Jawab Guru yang lain. Hendric namanya.

"Baiklah kalau begitu. Harry, Anda tetap fokus mengajar dengan kurikulum yang kita telah sepakati. Biarlah Malanggi mengkritikmu. Doktrin akan tetap terus berjalan bagi mereka yang bodoh. Dan ketika waktunya tiba, Ia tak perlu kita luluskan." Ucap Wilhelm selaku Kepala Sekolah.

"Baiklah Pak kalau begitu. Bu Elisa, terimakasih atas usulan dari Anda." Tanggap Pak Harry.

"Sama-sama Pak. All the best."

Rapat diantara mereka para Guru-guru pun berakhir. Mereka semuanya telah sepakat untuk menjegal generasi unggulan didikan mereka sendiri yang kian hari, kian semangat belajar dalam mengarungi luasnya lautan ilmu yang condongnya adalah untuk mempertahankan Negeri. Kakek Malanggi muda yang statusnya adalah siswa, tentulah tak akan mengetahui akan hal ini. Terlebih lagi Bapak dan Ibu.

Tak terasa menggowes sepeda dari rumah menuju pasar malam yang suasananya sudah sekian padatn seraya mengkhayalkan masa lalu, akhirnya Kakek Malanggi sampai juga. Ikan-ikan yang tadi dibawa didalam 3 buah bak ukuran sedang, segera dia letakkan diatas sebuah terpal yang ukurannya tak begitu panjang untuk dijual. Lampu penerang yang tadi Ia bawa, turut pula dipasang agar apa yang dijualnya yaitu Ikan, bisa terlihat jelas bagi Orang-orang pengunjung.

Walaupun berjualan tempatnya ada berbayar, tetapi itu tidaklah menjadi masalah. Berbayar pun sesungguhnya tidaklah berapa. Perihal uang kebersihan dan listrik yang berbayar bagi penyedia (pengurus) pasar, tentu harus dipikirkan pula tenaga dan jerih payah mereka yang telah berupaya  menyediakan. Dan tak lama kemudian, malam hari akhirnya tiba. Pukul 19:00 wib, pengunjung ramai berdatangan.

Ditengah kerumunan para pengunjung, seorang wanita yang tengah mengandung Anak dengan ditandai perutnya yang membesar, menghampiri Kakek Malanggi untuk membeli Ikan. Wanita itu, bukanlah seorang pengunjung yang aristokrat. Melainkan, Ia adalah seorang pengamen yang bernyanyi menggunakan sebuah salon kecil layaknya ber-karaoke, mengais rezeki dengan menjual suara pada keramaian pasar malam tersebut.

Tidak ada kawan yang bersamaan dengan sang Wanita. Biasanya wanita hamil, Ia harus berada dirumah bersama pasangan sehidup-sematinya. Namun, berbeda dengan wanita yang mengamen ini. Kalau dilihat, secara usia Ia masih cukup muda. Dan ketika Ia sudah selesai bernyanyi dan kiranya sudah mendapat hasil yang mencukupi, sang wanita gigih ini pun menghampiri Kakek Malanggi untuk membeli ikan dan menanyai perkara harganya. "Kek, berapa harga ikannya?"

Kakek Malanggi sedari tadi sudah melihatnya berjuang mengais rezeki dengan menjual suaranya yang merdu, layaknya penyanyi kelas atas. Sang kakek tidak menyangka bahwa Ia akan datang menghampiri untuk membeli Ikan. Tanpa berlama-lama, Kakek Malang pun menjawabnya dan berkata disertai senyum. "Mbak maunya beli berapa kilo?"

"Dua kilo Kek." Jawab wanita itu. "Berapa harganya ya Kek?"

Kakek Malanggi langsung memasuki ikan-ikannya tanpa ditimbang terlebih-dahulu seperti halnya para pengunjung. Tak tahu, berapa banyak dan berat sudah ikan yang dimasukkan Kakek Malanggi kedalam kantongan plastik. Wanita itu pun hanya melihat saja tanpa berkata-kata. Melihat Kakek Malanggi yang memasuki banyak ikan-ikan teruntuk dirinya, keringat keluar dan hatinya ketakutan nan gugup melihat uang dalam kantongan, hasilnya tadi menyanyi.

Hal itu disebabkan kalau-kalau nanti uang yang Ia punya terlampau banyak hanya untuk membeli ikan saja, tanpa dapat membeli hal yang lain-lain lagi. Kemudian Kakek Malanggi selesai memasukkan ikan-ikannya, dan langsung memberi secara percuma-cuma wanita gigih tersebut.

"Ini ikannya ya, semoga mbak suka. Dan saya berdoa semoga jagoan yang sedang dikandung, kelak terlahir sebagai sosok yang unggul dan berguna bagi masa depan." Ucap Kek Malang.

"Terimakasih Kek, atas do'anya. Kalau begitu totalnya jadi berapa Kek?"

"Tidak usah mbak, tidak apa-apa, ambil saja. Saya ikhlas memberi." Jawab Kek Malang.

"Loh, tapi Kek?" Sang pembeli bertanya.

"Mbak, Saya ikhlas memberi. Semoga ikan ini menjadi berkah ya untuk Mbak, dan Anak yang sedang dikandung." Pesan Kek Malang.

"Tetap semangat ya didalam kita mengarungi manis dan pahitnya hidup ini. Percayalah Mbak bahwa kelak suatu saat, manakala kita pantang menyerah dan mengeluh, dan juga dengan hati yang ikhlas, niscaya Kita akan mendapatkan hari yang cerah kita masing-masing."

"Terimakasih banyak sekali-lagi Kek. Do'a yang sama juga ya untuk Kakek. Semoga bertambah rezeki dan senantiasa sehat selalu Kek." Jawab Mbak pembeli.

"Aamiin. Terimakasih Mbak."

"Sama-sama Kek." Mbak pembeli menanggap kemudian bergegas pulang. "Kalau begitu Saya pamit dulu ya Kek. Sampai jumpa kembali."

Tidak semua mereka yang ada didasar samudera, hidupnya lantas sedemikian tercekik dalam keadaannya. Seorang wanita yang tengah mengandung Anaknya dan mencari rezeki dengan cara mengamen dikeramaian pasar itu, justru tidaklah pernah merasakan sulit. Karena Ia sadar, Manusia harus berjuang agar berupaya mengubah hidupnya. Akan tetapi, hidup ini masih ada Yang Maha Kuasa selaku Sang pengendali. Dimana suatu saat nanti kita harus yakin, segala sesuatu pasti ada hasilnya.

Motivasi yang sama pun, juga sudah sekian lama bersemayam dalam kepala Kakek Malang. Cinta, perjuangan dan pengorbanan yang sudah puluhan tahun menghampiri dan senantiasa mengiringi hidupnya, seperti halnya semua orang, pastilah takkan pernah Ia lupa. Tetapi memang sudah hal yang lama Ia pikir pula, yaitu, siapa yang akan mengetahui kalau tidak ada bentuk pengabadian.

Para pengunjung lama-kelamaan satu per satu pergi kemudian ciptakan sunyi pasar malam. Itu merupakan satu isyarat, bahwa sudah tiba waktu para pengais rezeki untuk beranjak pulang kerumah agar beristirahat. Kakek Malanggi selanjutnya membereskan ikan-ikan, dan maklumlah karena Ia hanya ber-sepeda onthel, Kakek Malanggi tiba dirumah tatkala malam sudah sedemikian larut.

Tidak ada penerangan dilampu jalan, setelah sesudah Ia menggoweskan sepedanya masuk kejalan setapak menuju rumahnya yang berada di pedalaman hutan. Kakek malanggi tiba, dan segera menyalakan lampu rumahnya yang berupa bilik bambu kecil. Ikan-ikan yang tidaklah berapa sisanya yang belum habis dijual, selanjutnya disimpan ditempat yang selayaknya, yaitu di sebuah wadah berbentuk kotak dan terbuat dari bambu.

Disitulah Kakek Malanggi meletakkan sisa-sisa Ikan, kemudian ditaruh beberapa es balok guna menjadikan Ikan-ikan itu tetap segar nan awet agar dapat dijualnya besok di pasar pagi hari, walaupun pasar di pagi hari letaknya justru lebih jauh dibanding jarak dari rumahnya menuju pasar malam. Ya, demi supaya perut bisa makan dan uang tabungan tidak lalai ditambah sebagai persiapan di hari tua, tak apalah jarak jauh ditempuh dengan hanya menggunakan sepeda onthel miliknya.

Tugas itupun akhirnya selesai, dan kakek malanggi mulai beristirahat. Namun, entah mengapa Ia kembali terpikirkan apa yang tadi terjadi di pasar malam, sesaat setelah Ia berbaik hati memberi Ikan-ikan jualannya kepada seorang Perempuan gigih dalam berjuang menjalani hidupnya mencari rezeki. Walau perempuan itu tengah mengandung seorang Anak.

Pikiran itupun berkenaan dengan suatu kisah. Dan kisah itu, adalah apa yang selama ini Kakek Malanggi alami dalam hidupnya, dan apa yang Ia amati serta saksikan di sekelilingnya. Setiap manusia, entah Ia miskin atau terlebih lagi mereka-mereka yang kaya raya disebabkan hidup berkelimpahan, sudah pasti bahkan mutlak dirinya mempunyai kisah-kisah dalam kehidupan masing-masing.

Kakek Malanggi tengah memikirkan hal itu, kemudian Ia bertanya kepada diri sendiri :

"Kalau memang banyak kisah-kisah yang selalu kita alami dan kita rasakan didalam kehidupan, pertanyannya, apakah suatu saat Anak-anak generasi kita akan mengetahui kisah kita, sebagai acuan perjuangan hidup mereka kedepan?"

"Kemudian bagaimana caranya, agar supaya Anak-cucu kita kelak dapat mengetahui kisah-kisah manis dan pahitnya hidup kita sekarang?"

Bilik bambu rumah Kakek Malanggi, jendelanya tiba-tiba terbuka lebar oleh karena hembusan angin malam yang seketika menghantam. Maklum karena jendela yang sudah carut-marut dan lapuk dimakan waktu serta rayap. Ia belum sempat lagi memperbaiki, bukan karena usia yang sudah renta atau perkara uang, melainkan waktu yang cukup habis karena mencari rezeki dan sumber yang hendak dijual.

Kakek Malanggi kemudian terbangun dari keadaannya yang hampir tertidur, lalu menghampiri jendela untuk menutup kembali. Tetapi, niat itu sontak Ia urungkan tatkala Kek Malang melayangkan kedua matanya keatas langit di angkasa yang bercampur bintang-bintang.

"Sungguh, indah sekali bintang-bintang, sehingga membuat ratusan pujangga mengambil isyarat daripada mereka." Tutur Kek malang.

"Wahai Engkau Yang Maha Kuasa. KeagunganMu seakan abadi dalam bumi alam raya ini, meskipun langit dan bumi kian berlalu. Aku selalu bertanya-tanya, tak pernah ada memang kehidupan yang abadi. Kehidupan selalu silih-berganti seperti siang dan malam, yang merupakan suatu ketetapan dariMu. Namun, aku merasa bingung. Apakah kehidupan yang akan berlalu, dapat dikenang bagi kehidupan yang akan datang?"

Setelah ucapnya seraya menatap langit itu, Kakek Malanggi menutup pintu jendela rumahnya tersebut dengan perlahan. Ya, perlahan-lahan sebab jendelanya yang telah rapuh. Ketika jendela telah tertutup, kebetulan Ia melihat sebuah pena yang terletak dibawah kolong meja makannya. Letak meja makan itu ada di ruang tamu. Ruang tamu yang sekaligus merupakan tempatnya tertidur, menyiapkan barang dagangan ialah Ikan-ikan, serta bersantai menikmati waktu dan juga ketika makan itu sendiri.

Pendeknya, rumah yang hanya berupa gubuk bambu kecil semata, berfungsi untuk apapun. Dan rumah itupun Ia buat dulu seorang diri, dengan perlengkapan apa adanya. Kakek Malanggi langsung menghampiri pena yang dilihatnya, kemudian mengambilnya. Ternyata itu bukanlah pena yang bertinta hitam, melainkan hanyalah sebuah pensil kecil yang Ia pakai dulu sewaktu membangun rumahnya sebagai penanda ukur-mengukur terhadap batas-batas.

Tak disangka-sangka, pensil itu kini telah banyak diselimuti oleh debu-debu, disebabkan Kakek Malanggi tak pernah lagi memperhatikan bahkan mempedulikannya. Usia sang pensil, adalah sama sudah dengan usia dimana awal mula Ia pakai membangun rumah tujuh tahun yang lalu.

"Seperti itulah sikap Manusia." Gurau Kek Malang.

"Sesuatu yang Ia cinta dan kasihi, hanya ketika Ia dibutuhkan saja diawal. Setelah hal yang dicinta dan dikasihi itu tiada lagi berguna baginya, Ia pun  disingkirkan dan dilupakan. Maafkan dan ampunilah Aku yang mengabaikanmu. Mulai sekarang, Aku akan menyimpanmu, menjagamu, dan akan kukenang jasa-jasamu. Walau kini engkau telah rapuh serta tak layak pakai, tetapi dulu perjuanganmu telah membuahkan hasil lalu menggembirakan insan yang patut digembirakan."

Hanya sebuah pensil tua yang sudah lapuk karena bertahun-tahun sudah usianya, begitu besar tuai pujian Kakek Malanggi terhadapnya. Mengapakah Ia bersikap seperti itu? Apakah sebabnya Kakek Malang sudah menjadi gila? Tentu bukanlah demikian. Sikapnya tersebut mencerminkan ke-pongahan Manusia terhadap sesuatu, yang biasa kita anggap sepele. Hanya pensil. Padahal pensil sekalipun adalah benda yang Manusia cipta, guna membawa manfaat dalam hidupnya.

Oleh karenanya, perkara yang demikianlah maksud daripada Kakek Malanggi. Pensil itu kemudian disimpan didalam sebuah kotak kecil, dan kotak kecil tersebut dulu Ia fungsikan untuk menyimpan surat-surat dari sahabatnya. Namun, benda apapun di Dunia ini tentu tidak ada yang abadi. Surat-surat dari sahabat yang dulu memilih bergaul dengannya, sudah habis robek disebabkan terlampau lama.

Maka, kotak kecil yang dulu difungsikan oleh Kek Malang guna menyimpan surat, kini telah beralih-fungsi menjadi tempat menyimpan pensil antik yang baru saja Ia temukan itu.

"Kusimpan dirimu disini ya. jaga diri baik-baik, walau tak menutup kemungkinan rayap akan menghampirimu lalu melenyapkanmu." Ucapnya.

"Tidak ada filosofi keabadian, berlaku dalam kehidupan. Bukan hanya dirimu, Akupun kelak akan tiba pada ajalku. Dan disaat masa yang telah diaturNya itu tiba, percayalah, kebahagia'anlah kemudian yang kita akan rasakan selama-lamanya." 

Setelah meletakkan pensil tua didalam kotak kecil yang sama usianya dengan sang pensil, kemudian Kakek Malanggi simpan kotak kecil itu dalam lemari pakaiannya, pada bagian paling bawah agar aman dan tidak terganggu tatkala nanti Ia mengambil keperluan didalam lemari. Dan waktu kian berjalan, membuat malampun semakin larut. Akhirnya Kek Malang memilih untuk tertidur.

Pada pukul 03.00 wib---dengan ditandai dua jarum jam dinding rumahnya tertuju di waktu dini hari, Kakek Malanggi terbangun dari tidurnya yang lelap. Kebiasaan bangun pada waktu dini hari itu bukanlah suatu kebetulan atau hanya satu, dua, dan tiga kali saja Ia lakukan, melainkan sudah menjadi tabiat kebiasaan sejaknya kecil. Dahulu, bangun malam di waktu dini hari itu Ia habiskan untuk melaksakan sholat tahajjud.

Akan tetapi, entah mengapa saat ini kakek Malanggi justru tidaklah lagi melakukannya. Kebiasaan bangun malam di waktu dini hari itupun digantinya dengan aktifitas membaca buku, agar kepalanya yang berisi, semakin kian terisi. Namun, sekarang nampaknya sudah hampir berbeda kembali. Ketika Kakek Malanggi terbangun, hal selanjutnya yang Ia lakukan justru adalah merenung sejenak.

"Usiaku sudah lansia, dan hampir-hampir tiada berdaya. Oh Tuhan, berilah Aku semangat dan kesehatan untuk menjalani sisa-sisa hidupku yang tak lama lagi ini." Dalam renungnya, Kakek Malang berdoa.

Sang Kakek  melayangkan kedua matanya, pada seluruh bagian dalam permukaan rumahnya yang mungil dan serasih itu, seraya renungan dilakukan. Tak sengaja atau mungkin kali ini adalah hal yang bersifat kebetulan, Kakek Malanggi melihat kembali sebuah pena diatas meja buku-buku bacaannya. Tak lama kemudian, Kakek Malang terbangun lalu mengambilnya. Tadi, Ia menjumpai pensil tua miliknya dulu. Dan sekarang giliran pena yang Ia lihat, sebagai fungsi penanda poin-poin penting tatkala membaca buku.

Hanya sebatas itu kegunaan pena, Ia miliki selama ini. Kakek Malanggi pun kemudian berpikir, yaitu isyarat apakah hari ini yang melanda batinnya? Perasaannya seperti tidak biasa-biasa saja. Selanjutnya Ia melihat lagi, secarik kertas terselip diantara sela-sela buku-buku bacaan. Kakek Malanggi lalu mengambil kertas putih yang kosong tanpa bait-bait tulisan apapun itu, kemudian menarik kursi dari bawah mejanya yang tidak seberapa tinggi.

Kakek Malanggi terduduk, dan pikirannya berputar-putar bagai sedang mengejar bintang Ilmu pengetahuan atau inspirasi, untuk menemukan apa yang hendak dituangkan pada tulisan. Tak membutuhkan waktu yang lama, pena dalam genggam tangannya itupun kemudian merayap pada kertas putih yang kosong tersebut. Kakek Malanggi mulai menulis segala sesuatu yang Ia pikirkan, hingga tiba fajar pagi nanti.

Ayam-ayam jantan peliharaannya, berkokok dengan semangat yang turut berkobar-kobar sebagai isyarat tanda-tanda kedamaian. Dalam kurun waktu beberapa jam mulai dari dini hari tadi hingga fajar subuh, Ia telah menulis sebanyak empat lembar kertas yang Ia punya dirumah sebagai curahan pikirnya. Lelah, tentulah kini yang Ia rasakan. Kakek Malanggi tidak pernah menyangka, bahwa terlintas dalam benak pikir yang kemudian menggerakannya untuk menulis.

"Baiklah, Kita sambung nanti ya." Tutur Kek Malang.  

Ketika mentari fajar sudah mulai meninggi sebagai pertanda hari semakin terang benderang, Kakek Malanggi bersiap-siap kembali untuk berjualan di pasar pagi. Kemungkinan lamanya hanya satu atau dua jam saja, sampai saat dimana sepi pengunjung dan Orang-orang yang menjadi pengunjung tersebut, pulang kerumah mereka untuk menjalani kebahagiaan didalam hari-harinya.

Disaat waktu pulang dari berjualan telah tiba, Kakek Malanggi singgah sesa'at di sebuah toko buku, lalu membeli sebuah buku tulis yang tebal untuknya tatkala tiba dirumah nanti untuk  melanjutkan kepenulisan. Hidup, adalah sebuah dimensi perubahan. Bait ingatan singkat ini sudah tak lagi hanya sekedar ingatan atau motivasi semata-mata, melainkan telah mendarah-daging dalam kesadaran alam pikirnya.

Untungnya ikan-ikan sudah habis terjual, mengingat masih banyak tersisa sewaktu Ia berjualan di pasat malam kemarin. Setidaknya, dengan demikian Kek Malang tidak terlalu pusing memikirkan kerugian daripada dampak hal itu. Ketika sudah sampai dirumah, buku tulis yang dibelinya tadi langsung dirayapkan kembali corak-corak pena diatasnya, sebagai sambungan naskah yang Ia tulis semalam.

Kini, Kakek Malanggi mengubah tekad. Di usia yang sudah lansia itu, dan sebagai jawaban atas pertanyaannya kepada Tuhan serta ingatan terkait dimensi sebuah perubahan hidup, Kakek Malanggi fokus diri untuk menulis dan menjadi seorang Penulis. 

                                                                                     ****

Hari demi hari berlalu, bahkan tahunnya pun telah berganti. Sudah selama dua tahun waktu berjalan, sesungguhnya memang tidak terasa. Tetapi begitulah fakta yang telah terjadi. Sebanyak lima buah buku tulis tebal, bahkan kini adalah yang keenam Kakek Malanggi tuliskan buah-buah pikirannya. Enam buah buku tulis tebal, dengan enam topik bahasan naskah yang berbeda. Kakek Malanggi yang semakin kian menua, sudah barang tentu suatu keniscayaan jika perkara  kesehatan mulai menurun. Bahkan untuk mencari Ikan sebagai rutinitas sehari-harinya berjualan saja, Ia bahkan tak kuasa lagi.

Uang simpanan tabungan ketika dirinya masih diberi kesehatan prima dari Yang Maha Kuasa sehingga kuat dan tegar menjalani usaha menjual Ikan, semakin hari sudah semakin menipis. Tentu saja, diperuntukkan membeli keperluan berupa obat-obatan, makan, dan keperluan lain-lain. Obat-obatan pun sudah habis diminumnya setiap hari, agar parah penyakit tidaklah menjangkiti seluruh tubuh.

Oleh karena kebetulan hari ini sedang cerah, mumpung keadaan sedang merasa sedikit sehat wal afiat, kakek Malanggi kemudian pergi dengan sepedanya dalam rangka membeli keperluan meminum obat.

Sesampai di toko obat atau apotek istilahnya, Kakek Malanggi langsung membeli obat yang dibutuhkan. Entah secara kebetulan atau mungkin terencana pasti daripada kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa, di apotek tersebut ada dua orang yang mengklaim dirinya sebagai tim dari suatu komunitas penerbit buku. Dua orang itu datang untuk memberitahu bahwa naskah tulis sang karyawan apotek, tidak lolos seleksi daripada kriteria tulisan keinginan penerbit.

"Enggak mungkin. Masa iya Novel saya tidak bisa diterbitkan sih?" Selly, selaku karyawan apotek membentak tim penerbit buku. Ia tak terima, jika karyanya tidak bisa di-publish.

"Mohon Maaf sebelumnya Mbak. Sekali lagi Kami minta maaf. Mungkin kiranya Mbak dapat bekerjasama dengan penerbit buku yang lain agar dapat mem-publish naskah Mbak." Ucap Hartono, selaku salah satu tim penerbit.

"Tidak perlu!" Selly menjadi geram.

"Saya bisa menerbitkan naskah Novel saya sendiri, tanpa harus bekerjasama dengan penerbit manapun. Saya sudah tidak percaya lagi semua komunitas penerbitan. Semboyannya saja aktifkan literasi, tetapi dukungan atas semboyan itu kepada Orang-orang justru tidak pernah terjadi!"

Kakek Malanggi bingung, tatkala Ia memperhatikan Selly memarahi dua orang yang dianggap asing oleh Kek Malang tersebut. Ia tak tahu, masalah apa yang sebenarnya terjadi. Tentu, Ia pun tidak ingin mencari tahu dengan turut ikut campur. Namun, hal ini membuat perasaannya menjadi merasa miris. Karena di masa kini budaya saling kasih-mengasihi, sayang-menyayangi itu, lama-kelamaan telah terkikis bahkan sudah hampir lenyap.

Tak lama kemudian, akhirnya pesanan obat Kakek Malanggi itupun sampai kepadanya. Karyawan apotek lain-lah yang melayani.

"Permisi Kek, Ini obatnya. Totalnya menjadi Rp 75.000 ya, terimakasih." Sapa karyawan apotek.

"Oh iya, ini uangnya. Terimakasih kembali." sambut Kek Malang.

"Sama-sama Kek."

Setelah bentak yang diwujudkan dalam bentuk oceh omelan dari Selly selaku salah satu karyawan apotek kepada dua orang penerbit buku, mereka berdua akhirnya keluar dari apotek itu untuk pergi pulang. Raut wajah mereka terlihat murung, karena mendengar cacian yang terlontar kepada mereka. Seperti inilah perlakuan yang kadangkala kerap diterima oleh tim penerbit buku.

Kualifikasi-kualifikasi sebagai seleksi, adalah disebabkan tim penerbit yang bersangkutan tentu menginginkan sebuah naskah yang lebih fresh dan mengedukasi masyarakat pastinya. Akan tetapi, apa mau dikata jikalau kejadian ini sudah terjadi.

Kakek Malanggi yang masih melihat, kemudian bergegas menyapa. "Mas..! Mas..! Tunggu."

"Ya, ada yang bisa Kami bantu Kek?" jawab dua orang penerbit itu.

"Mohon maaf sebelumnya jikalau Saya lancang. Bukan maksud Saya untuk menginginkan hal itu. Namun Saya ingin bertanya, kira-kira tadi apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Kek Malang.

"Baik Kek. Jadi, kami dari komunitas tim penerbit buku Merdeka Literasi. Kami datang kesini hanya untuk mengkonfirmasi kepada Mbak Selly selaku karyawan apotek disini, bahwa karya tulis yang Ia kirimkan kepada Kami tidak layak terbit dikarenakan tidak sesuai dengan kriteria naskah yang kami inginkan." Papar Sarjono, yang merupakan rekan Hartono selaku tim penerbit.

"Komunitas penerbit buku?"

"Benar Kek. Kami berdua berasal dari tim komunitas penerbit buku." Jawab Sarjono kembali.

"Mohon maaf Mas, jika diperkenankan Saya ingin bertanya satu kali lagi." Kakek malanggi penasaran.

"Tidak apa-apa Kek, tidak masalah. Silahkan, kakek ingin bertanya apa?"

"Apa tugas komunitas penerbit buku?" tanya Kek Malang. "Saya sangat begitu penasaran dan ingin tahu."

Ketika pertanyaan kakek Malanggi diajukan, Hartono giliran menjawab :

"Jadi begini. Kami selaku tim penerbit buku, tengah mencari naskah-naskah tulisan yang dapat Kita publish dalam bentuk buku eksemplar. Dan buku yang kami publish, tentunya merupakan upaya penjualan buku yang Kami lakukan dengan bekerjasama kepada segenap toko-toko buku di Indonesia. Kemudian, ketika naskah tulisan buku sudah terjual, ada royalti yang akan Kami berikan kepada penulisnya."

Setelah papar Hartono, Sarjono pun menambahkan. "Tepat sekali. Dan oleh karenanya, marilah kita Masyarakat Indonesia ini khususnya, untuk senantiasa menanamkan budaya gemar menulis. Yah, walau tidak semua penerbit memilih naskah kepenulisan setiap penulis, namun setidaknya Kita punya karya berupa tulisan buku. Dan percayalah, tentu akan ada penerbit yang dapat  mem-publish buah pikiran tersebut." 

"Royalti itu apakah berupa uang?" Kakek Malanggi masih bertanya.

"Iya, benar Kek." Jawab Hartono.

Mendengar pemaparan-pemaparan Sarjono dan Hartono sebagai dua orang penerbit, Kakek Malanggi tersipu lalu menjadi diam. Dalam pikirnya, alangkah baik jikalau Ia menerbitkan dalam bentuk sebuah buku, tulisan-tulisan yang selama ini ditulisnya agar kalau-kalau potensi menghasilkan uang, meskipun belum pasti. Ide itu terlintas selain karena tenaga yang memang hampir habis, hal itu juga disebabkan usia dirinya yang sudah terlampau tua.

Di sisi lain, karena Ia berpikir bahwa daripada tulisan menganggur dan Orang-orang pada umumnya tidak mengetahui buah pikirannya, lebih baik dipublish lalu dibaca orang banyak. Dan yang paling penting adalah, royalti dalam bentuk sejumlah uang untuk simpanan masa-masa lansianya kini.

Sarjono dan Hartono lantas kebingungan, karena kakek Malanggi sontak terdiam tanpa kata-kata. Kedua bola matanya membesar dan tidak bergerak bahkan tak berkedip sedikitpun. Ya, Kakek Malanggi tengah berpikir terhadap hal-hal yang kiranya berpeluang tersebut. Apa yang berada dipikirkan Kakek Malanggi, ialah upaya memantapkan niat untuk mengambil peluang yang datang menghampirinya tersebut. Peluang untuk turut menjadi penulis, dan menerbitkan karya berupa sebuah buku yang merupakan gagasan-gagasannya sedari Ia muda.

Kakek Malanggi yang belum berhenti berpikir, lantas masih pula terdiam. Untuk menghilangkan kekhawatiran, Hartono kemudian mencoba menyadarkan, agar Ia dan Sarjono bisa kembali ke kantor.

"Kakek." Ucap Hartono, seraya menyentuh pundak Kek Malang.

"Astaga. Maaf, maaf." Kakek Malang tersadar.

"Ada apa kek? Mengapa terdiam?"

"Kakek baik-baik saja?" sambung Sarjono.

Segera, Kek Malang kemudian membalas pertanyaan dibalut sedikit kekhawatiran oleh keduanya, dengan berkata. "Ya, Saya baik-baik saja. Mohon maaf barusan langsung terdiam."

"Syukurlah Kek. Saya kira, Kakek kenapa-kenapa." Balas Hartono. "Kalau begitu, kami berdua pamit pergi dulu ya. Kakek pulangnya hati-hati dijalan. Semoga sehat selalu ya Kek."

"Tunggu Mas." Seketika, Kakek Malanggi memberhentikan langkah mereka berdua.

"Ya, ada apa lagi Kek?" Hartono menyahut Kek Malang.

"Saya berminat untuk menerbitkan buku. Mohon kiranya Saya bisa dibantu."

"Kakek bersungguh-sungguh mau menerbitkan suatu karya, berupa buku?" Hartono bertanya.

"Benar Mas. Saya bersungguh-sungguh." Jawab Kakek Malang.

Sarjono dan Hartono sebagai tim penerbit bernama Merdeka Literasi, kemudian kembali bersemangat kala tadi murung melanda. Rasa semangat itu bukan karena masih punya peluang mendapatkan perkara hasil, melainkan keduanya menanamkan suatu kekaguman dan kebanggaan tersendiri kepada kakek Malang, atas kemauan dan kegigihannya.

Maka dari itu, mereka berdua pun langsung menyodorkan "Teks" berupa MOU berisikan prasyarat terkait apa langkah-langkah untuk dapat menerbitkan buku.

"Saya begitu bangga dan Saya sangat salut. Kakek memang benar-benar luar biasa." Puji Sarjono.

"Jika demikian Kek. Berikut Saya beri kepada kakek, brosur untuk tahap awal yang merupakan syarat menerbitkan naskah bersama Kami ya Kek. Harap dibaca dan kalau setuju, silahkan Kakek tanda-tangani."

"Terimakasih banyak Mas. Saya akan segera menghubungi Mas Sarjono dan Hartono untuk mengirimkan naskah Saya, jika sudah Saya ketikkan didalam laptop."

"Sama-sama Kek. Kami juga mengucapkan terimakasih kembali, karena Kakek sudah memiliki tekad dalam berkarya, mengingat Kakek yang telah menginjak lansia." Jawab Hartono.

"Ngomong-ngomong Kek, perkenalkan nama Saya Hartono dan ini rekan Saya Sarjono. Kami tunggu kabar terbaik ya dari kakek. Terimakasih."

"Salam kenal, Mas Sarjono-Hartono. Saya akan segera memberi kabar."

"Baiklah Kek. Kalau begitu Kami izin pamit, selamat siang." Sarjono berpamitan, untuk kemudian bertugas kembali di kantor mereka.

"Selamat siang kek. Mari." Hartono turut pamit.

"Selamat siang kembali Mas. Mari, silahkan."

Tidak membutuhkan waktu yang lama. Setiba kembali Kakek Malanggi dirumah, dan oleh karena tubuh yang masih dirasa fit, Ia langsung membawa buku tulis berisikan naskah cerita pertamanya untuk diketik. Untung saja, dengan jarak yang tidak terlalu jauh tetapi tidak juga dekat dari rumah, terdapat sebuah warnet sederhana. Warnet sederhana dengan hanya memiliki empat buah PC, dan kondisi jaringan internet yang sebetulnya sulit. Namun, Anak-anak desa setempat tidak pernah libur mengunjungi.

Warnet pada umumnya, biasanya hanya kalangan Anak-anak sajalah yang bermain. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jikalau Kakek Malanggi menjadi pusat perhatian ketika masuk didalamnya. Akan tetapi selaku Orang yang sudah lansia, Kakek Malang tidak mengerti apa yang tengah mereka perhatikan darinya. Ia lantas tidak peduli, kemudian fokus dan fokus mengetik tulisan-tulisannya.

Setiap hari, disela-sela tubuh yang tatkala sehat dan sanggup beraktivitas walau hanya pelan-pelan, Kakek Malanggi rutin mengetik hasil tulisannya. Kini, dua minggu atau setengah bulan sudah lamanya waktu berjalan. Dalam kurun waktu dua minggu itu saja, dua naskah sudah selesai diketik, diperbaharui narasinya, untuk kemudian mantap diterbitkan. Dan untuk ketiga naskah yang lain, Ia bertekad menyusul. Sungguh, sebuah pencapaian yang luar biasa.  

Handphone jadul bermerk Nokia, hanya satu-satunya alat komunikasi yang sang Kakek punya. Dan dengan handphone tersebut, selanjutnya Ia segera menghubungi no hp pemberian Hartono dan Sarjono yang terdapat dalam brosur MOU penerbit Merdeka Literasi, yang dulu keduanya berikan.

"Halo selamat siang. Perkenalkan, nama saya Malanggi. Saya berkenan untuk menerbitkan buku dan bekerjasama bersama Merdeka Literasi."

"Selamat siang. Baik, silahkan kirimkan naskah Bapak Malanggi kepada email Kami ya Pak."

"Email? Mohon maaf, saya tidak tahu apa itu email? Saya tidak mengerti." Jawab kakek Malang lugu.

"Bapak tinggal dimana?" tanya tim penerbit.

"Saya tinggal di Desa SumbangSari." 

"Desa SumbangSari? Kebetulan, dua orang tim Kami sedang berada disana dalam rangka menjadi pemateri guna mengaktifkan semangat menulis warga desa. Saya akan menghubungi mereka untuk mengunjungi Bapak, apakah bisa?"

"Oh iya, baik. Terimakasih banyak. Mohon kiranya menghubungi Saya ke nomor ini agar memudahkan rekan penerbit menemui Saya." Usul Kek Malang.

"Baik Pak, terimakasih. Selamat siang."

Kakek Malanggi lalu menunggu sampai dua orang tim penerbit buku, datang untuk menemuinya. Namun disela saat menunggu, Rasa sakit mulai kembali terasa. Sakit dalam tubuhnya yang sudah lansia, kian hari kian semakin kambuh. Kadangkala setiap malam, kadang juga ketika pagi atau siang hari ketika Ia menulis atau menangkap ikan perlahan-lahan dengan cara memancingnya. Dulu, menangkap ikan adalah dengan dijala dan hasilnya banyak, untuk kemudian dijual di pasar.

Sekarang, Ia sudah tak kuasa lagi menjala. Dan untuk menangkap ikan, adalah dengan dipancing tadi. Tak lama kemudian, tiga jam setelah Kakek Malanggi menelepon tim penerbit, akhirnya datanglah dua orang tersebut dan tiba dirumah Kakek Malanggi. Siapa yang menyangka, bahwa rupanya yang datang adalah masih dua Orang yang sama, yaitu Hartono dan Sarjono rekannya.

Karena keduanya sudah mengenal Kakek Malanggi, Hartono dan Sarjono pun bertemu kangen layaknya reuni terlebih-dahulu, sekaligus melihat naskah ke-penulisan Kakek Malanggi untuk kelayakan penerbitan bukunya. Mengobrol dan sekaligus berbincang-bincang sesaat menikmati  waktu, adalah hal yang ketiganya kini lakukan saat ini. Dan ketika obrolan yang berjalan selama satu lebih setengah jam itu berjalan, Hartono dan Sarjono melaksanakan tugasnya.

Kakek Malanggi memberikan sebuah flashdisk kepada Hartono dan Sarjono, yang Ia beli dengan harga cukup murah dari penjaga warnet tempat Ia mengetik naskah file tulisannya. Mendapat flashdisk itupun bermula ketika dirinya bingung, dan tidak tahu bagaimana cara mengambil file tulisan yang Ia ketik itu. Akan tetapi, untung penjaga warnet tersebut memperhatikannya lalu memberikan solusi.

"Ini Mas, naskah Saya berada didalam sini. Mohon di cek, apakah layak terbit atau tidak." Ucap Kakek Malang, seraya memberi flashdisknya.

Dan selama setengah jam, Hartono bersama Sarjono melihat serta mensortir secara perlahan-lahan naskah tulisan Kakek Malanggi. Keduanya tidak menyangka, tiga naskah ke-penulisan sudah rampung Kakek Malanggi tulis hanya dalam waktu dua minggu saja. Pencapaian yang menakjubkan, padahal usianya sudah terlampau begitu lansia. 

"Luar biasa Kek. Naskah Kakek begitu menakjubkan. Penuh terhadap motivasi dan inspirasi dalam kehidupan ini." Sarjono, memberi pujian kepada Kek Malang.

"Kakek, ini Naskahnya sangat fresh dan tentu saja layak terbit. Apakah Kakek sudah siap bekerjasama terhadap penerbitan Kami?" tanya Hartono bersungguh-sungguh.

"Syukurlah kalau memang Mas Sarjono dan Hartono, menyetujui naskah Saya. Tentu saja Mas, Saya siap." Balas kek Malang, dengan perasaan sedikit haru.

"Jika memang Kakek sudah dengan hati serta niat yang mantap menerbitkan naskah Kakek, ini adalah beberapa MOU yang harus Kakek tanda-tangani. Silahkan Kek." Hartono menyodorkan lembaran kertas legalitas MOU sesungguhnya, kali ini sebagai syarat menerbitkan buku.

Kakek Malanggi membaca bait demi bait tulisan yang merupakan surat perjanjian antara penerbit dengan dirinya. Setelah membaca, tanda-tangan kontrak untuk bekerjasama pun akhirnya dimulai. Penerbit Merdeka Literasi dan Kakek Malanggi, sepakat bekerjasama.

Tidak membutuhkan waktu yang lama lagi, Hartono dan Sarjono kemudian segera pamit dari rumah Kek Malang, untuk lanjut bertugas dan menyalin naskahnya agar dapat diedit lalu dicetak untuk dipasarkan. Ketika malam mulai menghampiri hari, dan menghadirkan nuansa gelap serta rembulan, rasa sakit Kek Malang mulai kambuh kembali. Kakek Malanggi terbatuk-batuk begitu cukup parah.

Hanya obat yang Ia beli di apotek sajalah, yang mampu meredakan. Tentu saja, sang obat hanya berperan sebagai pereda, bukan untuk menyembuhkan agar tidak datang kembali penyakit yang dirasanya itu. Selanjutnya di kantor sementara mereka di Desa Sumbangsari, Sarjono dan Hartono juga langsung melaksanakan tugasnya mem-publish naskah tulisan kek Malang.

Kerjasama ini, membutuhkan waktu dan tenaga yang boleh dikatakan cukup menguras. Namun, hal itu tidaklah menjadi permasalahan kedua belah-pihak. Apapun yang terjadi, prinsip mereka, mengedukasi masyarakat untuk mencerdaskan kehidupan warga Negara dan Bangsa, adalah hal yang harus mereka lakukan. Hartono dan Sarjono, dengan fokus bahkan hingga larut malam mengerjakan tugas mereka untuk menerbitkan suatu karya.

Di sisi lain, Kakek Malanggi yang sedang sakit dirumahnya, kemudian menulis surat. Sebuah surat, yang merupakan pesan bagi siapapun yang membacanya. Surat tersebut Ia tuliskan, sesaat ketika naskah tulisan keenam-nya telah paripurna ditulis dalam bentuk tulisan tangan. Ditengah kondisi yang sedang terbatuk-batuk itu, Kakek Malanggi menulis pesan :

"Aku tak tahu, sudah berapa lama diriku berada didalam kehidupan di Dunia ini. Apakah lamanya hanya 75 tahun berdasarkan usiaku? Tidak, sesungguhnya bukanlah 75 tahun, tetapi baru kemarin rasanya Aku hidup. Dunia yang merupakan bagian dari Alam Semesta, telah berjalan cukup lama. Mereka silih berganti dipergilirkan sang pencipta, masa kekuasaannya. Namun, Aku baru mengetahui bahwa sebelum mereka dipergilirkan, mereka sebelumnya telah berhasil memperlihatkan symphoni serta harmoni kehidupan. Mereka memperlihatkan kedamaian hidup yang sesungguhnya, yang Manusia tidak mampu ciptakan didalam alam sosialnya."

"Sesungguhnya Aku telah berupaya dengan se-maksimal mungkin, untuk menciptakan suasana yang alam telah perlihatkan padaku ini. Tetapi apalah dayaku yang hanya Manusia biasa, yang tidak memiliki kuasa apapun jika tanpa kasih, berkat, rahmat, serta ridho dariNya. Aku tidak punya kuasa untuk mengatakan, apakah Aku telah sempurna didalam menjalani hidupku ini atau tidak. Satu hal yang dapat kukatakan. Aku mencintai dan menyayangi siapapun yang pernah kukenal, dan yang pernah bersamaku didalam suka dan duka hidup ini, walau banyak diantara mereka sudah pergi dan berlalu."

"Aku menyayangi mereka-mereka yang telah berlalu itu, seperti halnya tanah yang memberi hidup tumbuh-tumbuhan diatasnya. Rerumputan, benalu, semak belukar, tanaman berduri, dan tidak terkecuali tanaman-tanaman yang bermanfaat bagi keberlangsungan hidup. Tanah, dan air yang terkandung didalamnya, selalu dan tanpa ada kata berhenti guna menghidupkan tanaman-tanaman. Itulah cintaku, untuk siapapun yang pernah mengenal bahkan sudi bersamaku kemanapun Aku pergi lalu berada. Dan, atas dasar cinta kasihku inilah. Jika Tuhan kelak mengizinkan, semoga sisa-sisa waktuku akan menjadi bermanfaat. Menjadi bermanfaat, untuk siapapun insan yang kelak merasakannya. Sekian untuk Suratku."

Keesokan hari, apa yang kian ditunggu dan terbayang dalam mimpi, akhirnya tergenapi sudah. Yang Maha Kuasa tidak pernah ingkar janji terhadap perkataan demi perkataan yang difirmankan terhadap ciptaanNya, ialah Manusia sebagai salah satu Makhluk. Firman tersebut mengatakan, bahwa "Tuhan hanya akan merubah nasib seseorang, manakala individu Orang tersebut  memiliki tekad dan kemampuan untuk merubah nasibnya sendiri." Motivasi inilah yang juga terbayang-bayang dalam benak pikirnya. Benak pikir Kakek Malanggi, sehingga menjadi prinsip didalam membuatnya senantiasa semangat menjalani hidup.

Kakek Malanggi masih terbaring sakit diatas kasur lantai mungilnya. Disamping kanan, Ia telah menyiapkan sendiri kebutuhan Obat-obatan, air hangat, dan sepiring nasi berlaukkan Ikan tatkala lapar, lalu minum obat. Tidak ada yang mengurus, sebab Ia tidak berkeluarga dan Adik perempuan satu-satunya pun telah menikah kemudian merantau jauh. Lalu ditengah-tengah lelapnya Ia tertidur, tim penerbit Merdeka Literasi akhirnya menelepon untuk memberi kabar.

"Halo?" sapa Kakek Malanggi.

"Halo, selamat pagi. Selamat ya Pak, naskah Anda sudah berhasil Kami terbitkan. Dan untuk royalti buku yang terjual nanti, kami akan berikan kepada Bapak dengan cara Weselpos ya. Terimakasih."

"Selamat pagi kembali. Mohon maaf sebelumnya, bukan maksud Saya bersikap lancang. Tetapi jika diperkenankan, bisakah Mas Sarjono dan Hartono saja yang mengantarkan langsung kerumah Saya?"

"Baik Pak. Kalau begitu tidak masalah, jika memang rekan Kami yaitu Sarjono dan Hartono bersedia. Saya akan mencoba berbicara."

"Terimakasih banyak ya Mbak." Tutup Kakek Malang.

"Terimakasih Pak. Sama-sama."

Telepon pun diakhiri, terkait perbincangan keduanya. Kakek Malanggi mencoba bangun, selanjutnya kembali menuliskan surat yang nanti akan diberikannya kepada Sarjono dan Hartono, tatkala mereka tiba nanti. Surat yang hendak ditulisnya kali ini, bukanlah surat yang merupakan motivasi atau lain-lain. Melainkan, ini adalah surat terakhirnya.

Kondisi tubuh yang hampir seluruhnya dijangkit penyakit, sudah tidak mampu lagi dicoba untuk  dihilangkan. Semua itu memang merupakan fitrah alam kepada siapapun Manusia, kala lansia telah datang menghampiri. Terlebih lagi Ia yang tidak pernah sekalipun dibawa kerumah sakit. Sebab rumah sakit sangat-sangat terlampau jauh dari Desa, dan perkara ongkos juga tak mendukung.

Tidak ada yang abadi. Titik. Yang abadi, hanyalah suatu ilusi dan fantasi pikiran-pikiran Manusia. Ilusi dan fantasi itupun sesungguhnya juga tidaklah abadi, karena Ia melekat dalam pikiran manusia, sementara Manusia itu sendiri kelak akan mati. Walaupun tak pernah ada Makhluk hidup atau benda apapun yang abadi diatas Dunia ini, setidaknya cinta suci dan cinta sejati Makhluk hidup yang memiliki rasa dalam lubuk jiwanya, sampai kapanpun tidak akan pernah berlalu pada Alam kehidupan.

Cinta suci takkan berlalu manakala Ia tulus menghiasi kehidupan itu sendiri. Mentari dan rembulan, adalah salah satu contoh yang tak pernah henti menyiratkan daripada ketulusan akan cinta tersebut. 

Dua minggu sudah kemudian, waktu berjalan merangkai mimpi dan hari-hari. Kakek Malanggi yang sering sakit-sakitan itu, sudah tak sanggup beraktifitas untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya. Sedangkan sebelum-sebelumnya, Ia masih bisa aktifitas walau hanya dengan tenaga yang minim dan perlahan-lahan. Tetapi sekarang, rutinitas itu adalah mustahil dapat dilakukan, karena kesehatan cenderung menurun. Kakek Malanggi sudah tak bisa berpikir lagi untuk mengetahui, bagaimana perkembangan hasil daripada penjualan naskah tulisannya. Ia memang tak lagi peduli. Untuk saat ini, hanya perkara kesehatan-lah yang bisa Ia pikirkan.

                                                                                  ****   

Alhasil, tulisan-tulisan yang telah menjadi buku lalu dijual dipasaran miliknya, ternyata cukup laris terjual dan bahkan banyak mendapatkan respon positif---pujian-pujian daripada hasil karyanya. Sarjono dan Hartono selaku tim penerbit pun segera mendatangi rumah Kek Malang, untuk memberitahukan terkait kabar gembira ini. Serta tak lupa, hak royalti untuknya.

Setiba dirumah Kek Malang, Sarjono dan Hartono pun berhasil menemui kakek Malanggi yang semakin menua. Dan betapa terkejutnya mereka, tatkala melihat kondisi sang Kakek. Ternyata, Kakek Malanggi kini hanya bisa berbaring sakit tak berdaya.

"Kek, ini Saya Sarjono dan teman Saya Hartono. Buku sastra luar biasa yang memuat banyak unsur fiosofis milik Kakek, Alhamdulillah laris terjual Kek dan menjadi best-seller Kami tahun ini." Ucap Sarjono, disertai rasa riang gembiranya.

Hartono lalu memberi kepada Kakek Malanggi hak royalty kepadanya, dan Ia berkata. "Terimakasih, atas segala yang sudah kakek kontribusikan kepada Kami. Maafkanlah Kami, jika kiranya ada suatu kelalaian atau kesalahan dari Kami."

Dengan kondisi terbatuk-batuk karena rasa sakit yang menjangkiti, Kek Malang menjawab :

"Berikan saja dua puluh persen dari uang itu untukku. Selebihnya, Saya minta tolong kepada Mas Sarjono dan Hartono untuk memberikan sisanya kepada seluruh warga desa ini. Mungkin, hanya itu yang dapat Saya lakukan. Setidaknya, Saya bisa sedikit membantu mereka para warga Desa tempat dimana Saya diami selama puluhan tahun ini. Saya memang belum benar-benar sempurna didalam menjalani Kehidupan Saya yang singkat. Apalah daya diri Saya yang tak berarti, miskin, dan juga mungkin membuat susah banyak Orang. Saya hidup sebatang kara seperti yang sudah Mas berdua saksikan sekarang, semua itu karena Saya yang tidak bisa berbuat lebih terhadap sesama serta sekeliling Saya. Maafkanlah, jika memang Saya pun ada salah dengan Mas Sarjono dan Hartono. Saya hanyalah Orang-Tua dan Manusia biasa serta tidak memiliki kelebihan apapun. Tentu, harapan Saya sebesar-besarnya terhadap Mas Sarjono dan Hartono, agar kiranya dapat membantu. Saya sangat senang jika Mas berdua mau untuk melakukannya."

Suara yang diungkapkan, bukanlah suara keluh kesah atau jerit yang terpendam dari sang Kakek. Suara itu, merupakan isyarat yang melambangkan betapa tulusnya cinta kasih Orang-orang biasa. Sekilas, mereka memang tidaklah istimewa. Tidak ada yang peduli dengan cinta mereka. Namun, mereka sebagai Orang-orang yang hidupnya dihiasi cinta tersebut, selalu berupaya untuk memperlihatkan indah sang cinta.

Mereka memperlihatkan, bukan bermaksud untuk menebar harapan busuk. Sebuah perbuatan yang menginginkan sesuatu dibalik itu. Melainkan, yang mereka ingin perlihatkan tentang cinta dan kasih sayang tulus, adalah bagaimana segenggam air dapat membasuh lalu menghidupan segala yang hidup dan memiliki rasa.

Air tak pernah berharap apapun, bagi siapapun yang dihidupinya. Ia sudah dengan fitrah hydrogen dan oxygen dikandungnya itu, berupaya menghidupkan sesuatu yang tumbuh. Demikian halnya Kakek Malanggi. Nafas Manusia selalu terbatas dan terikat pada massa yang telah ditetapkan. Namun, hanya satu hal dari cinta kasih Manusia yang terpendam ketulusan dalam hatinya. Dan satu hal itu adalah, semoga kita dapat memberikan cinta itu. Hanya satu, yaitu cinta. Cinta bukanlah kenistaan, melainkan menjaga dari kejamnya rasa.

Mendengar perkataan Kakek Malanggi barusan, Sarjono dan Hartono bersedih haru. Tidak ada yang menyangka, bahwa begitu tulusnya sosok Kakek Malang. Mereka berdua pun akhirnya menyanggupi permintaan Kakek Malanggi barusan, yaitu mendistribusi sebagian besar royalty ke-penulisannya kepada seluruh warga Desa, tempat dimana Kakek Malanggi tinggal. Entah dengan cara apapun nanti, setidaknya Sarjono dan Hartono sanggup untuk melakukannya.

Air mata terjatuh, walau hanya setetes dari mata Hartono, tidak terkecuali Sarjono rekannya. Dalam kondisi itu, Hartono menjawab. "Baiklah Kek. Kalau memang demikian yang Kakek mau, Saya siap lakukan."

"Kami bersedia Kek." Sambung Sarjono setelahnya.

"Terimakasih banyak ya Mas. Saya berjanji, akan melakukan lebih baik lagi kedepannya jikalau usia masih panjang." Ucap Kek Malang yang lemah.

"Sama-sama Kek. Terimakasih kembali, karena sudah bekerjasama. Kami senang." Balas Sarjono.

"Kek, kalau Kakek tidak keberatan. Izinkan Saya dan Sarjono merawat Kakek sembari kami bertugas ya, mumpung kami masih berada disini. Saya akan koordinasikan dengan ketua Kami." Usul Hartono.

"Iya, benar Kek. Saya siap untuk merawat Kakek." Sambung Sarjono.

"Tapi?!"

"Kakek. Kakek tidak merasa keberatan kan? Tapi apa?"

"Saya pasti begitu sangat merepotkan Mas Hartono dan Sarjono. Saya adalah Orang-Tua yang selalu sakit-sakitan. Jika Mas berdua merawat Saya, tidak akan ada waktu untuk Mas bekerja nanti." Jawab Kek Malang, terengah-engah.

"Kalau Saya harus kehilangan pekerjaan disebabkan merawat Kakek, maka biarlah hal itu terjadi. Saya tetap fokus untuk merawat dan menjaga mutiaraNya yang tersisa ini, yaitu diri Kakek."

Apabila banyak Manusia yang pergi jauh meninggalkan segala yang Ia miliki, maka sesungguhnya Manusia itu memilih jalan dan keputusan yang benar. Manusia mempunyai pikiran, dan melalui pikiran itulah merekapun tahu, bahwa segala yang dimiliki itu merupakan tandingan daripada sesuatu yang benar, yang Manusia tersebut yakini dan Imani. Hartono telah melihat pada diri Kek Malang, bahwa dialah salah satu Mutiara sang Tuhan. Meskipun memutuskan untuk merawatnya, dia bahkan rela kalau-kalau menerima suatu pemecatan.

Keputusan Hartono, begitupula halnya dengan Sarjono. Keduanya adalah satu-kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, layaknya langit dan Bumi serta siang dan malam. Begitu senang nan kagum Kakek Malanggi terhadap mereka berdua. Seumur-umur, baru kali ini dia merasa seperti apa hidup dilayani, dan sentuhan kasih dari Orang lain.

"Jika itu sudah menjadi keinginan dan kehendak Mas berdua, saya bisa apa?" kek Malang pasrah.

"Terimakasih banyak Kek. Terimakasih." Tutup Hartono.

****

Pengorbanan waktu yang dilakukan oleh komunitas tim penerbit buku bernama "Merdeka Literasi," telah berhasil memperlihat dan memberikan contoh akan semangat yang tak pernah pudar, hanya dalam rangka mengobar api semangat masyarakat desa untuk berlomba-lomba berkarya dalam hal literasi.

Walau telah melakoni kerjasama terhadap beberapa penulis, penerbit itu bahkan hamper tidak pernah satupun mendapatkan karya penjualan best-sellernya. Namun, kehadiran seorang Kakek Malanggi Hadiwisastro pada akhirnya mendapakan respon positif daripada Orang-orang khalayak ramai pada karya tulisnya, sehingga menjadi best-seller serta menguntungkan bagi sang penerbit itu sendiri.

Dan tepat di hari ulang-tahun yang ke-76, sang Kakek menghembuskan nafas terakhir di rumah gubuk bamboo kediamannya sendiri. Rasa sakit yang memang sudah sedemikian parah, sudah tak lagi diderita oleh kek Malang, dan meninggalkan pencapaian terhadap apa yang Ia cita-citakan. Kakek Malanggi kemudian dimakamkan oleh Hartono dan Sarjono serta warga desa setempat, pada pemakaman umum yang terletak disitu. Di Desa Sumbangsari tersebut.

"Pulanglah dengan perasaan dan batin yang tenang Kek. Jasa-jasa dan karya-karyamu, akan selalu terkenang serta dikenang oleh Kami untuk selama-lamanya." Tutur Hartono, menangis disamping makam Kakek Malanggi sesa'at setelah jenazah disemayamkan.

"Sesuai wasiat yang engkau amanahi pada Kami, yaitu uang royalty dari karya-karyamu agar dibagikan kepada warga Desa, akan Kami lakukan. Kami berjanji Kek, Kami akan menggenapi pesanmu." Sambung Sarjono, yang juga dalam keadaan sedang tersedu-sedu.

Para warga Desa yang hadir dan juga seorang Kyai setempat yang mendo'akan almarhum Kakek Malanggi, lama-kelamaan pulang meninggalkan area pemakaman menuju rumah masing-masing. Selanjutnya, komplek pemakaman Desapun setelah itu menjadi sunyi. Namun, Sarjono dan Hartono masih kerap bersedih dengan isak tangis yang menjadi-jadi disamping kubur sang Kakek.    

Selama satu bulan penuh Hartono dan Sarjono merawat Kek Malang dengan giat serta rutin, tak ada lengah barang sesa'atpun. Dan selama itu pula, keduanya telah menganggap kakek Malang adalah layaknya seorang Ayah bagi mereka sendiri. Rasa kasih-sayang itupun perlahan-lahan tumbuh antara ketiganya, dan waktu mengobati pilu yang pernah ada dalam setiap langkah mereka.

Bahkan meskipun Hartono dan Sarjono telah menghadirkan seorang Dokter terbaik dari kota demi hanya mengobati dan merawat kek Malang, takdir dari Yang Maha Agung tidak akan pernah dapat menghentikan ketetapanNya. Karena memang, takdir dan ketetapan itu sendiri adalah berasal dariNya. Kita sebagai Manusia yang diciptakan seperti-halnya Makhluk-makhluk ciptaan lainnya, semua telah memiliki ruang dan waktu tersendiri. 

Ruang dan waktu, terikat oleh suatu hukum ajal. Dan hukum ajal itu, masing-masing bergilir dan dipergilirkan masanya oleh Yang Maha Agung, sekaligus sang khalik sendiri. Barang siapa Makhluk hidup entah itu tumbuhan, hewan, tidak terkecuali Manusia itu telah tiba pada ajal, Orang lain atau bahkan Individu Manusia tersebut, tidak akan mempunyai kuasa apapun untuk menghenti atau mempercepatnya.

Itulah yang pula dialami oleh Kakek Malanggi. Walau sudah mendapatkan perawatan terbaik yang pernah Ia rasa ketika bersama Hartono dan Sarjono, sang malaikat maut telah tiba lalu menjemputnya menuju tempat terindah nan terbaik, yang selama ini selalu sabar Ia menunggu kedatangannya.

Sarjono dan Hartono, merasakan suatu kehilangan terbesar didalam hidup mereka. Hal itulah yang menjadi alasan mereka berdua mengalami duka teramat dalam. Namun, tangis duka ratapan yang keduanya rasa tersebut, manakala tidak mampu dikendalikan, niscaya dapat berdampak buruk dan menghambat tindakan perubahan yang diinginkan untuk terjadi.

Duka yang dibiarkan larut dalam-dalam pada lubuk jiwa, pada akhirnya justru hanya menciptakan pahitnya kesedihan serta abadi dalam derita. Hari telah menjadi senja, dan sebentar lagi akan tiba gelap malam. Isak tangis yang pilu itu, bahkan telah hampir habis kelopak mata keduanya.

Dan dengan jiwa yang memaksakan diri untuk tetap tegar itulah, Hartono dan Sarjono beranjak pulang meninggalkan komplek pemakaman umum Desa, yang terdapat kubur sang Kakek Malang dengan sejuta mimpi di kepala. Kini hanya ada satu tekad impian, yaitu mewujudkan keinginan sang Kakek guna mensejahterakan para warga Desa Sumbangsari, dengan pendidikan dan infrastruktur pembangunan yang begitu memadai.

Dunia ini hanyalah bentuk amanah Tuhan terhadap para ciptaanNya. Siapakah yang dapat mengurus, mengelola, dan menciptakan kesetimbangan nan keharmonisan antar sesama, manakala Dunia hanya dibiarkan dalam kegelapan pikir serta kemelaratan? Ketika hari berlalu dan hidup harus berakhir didalam ikatan ruang dan waktu, lalu apa yang selanjutnya dapat kita wariskan untuk diteruskan?

Tak ada yang lain, yang dapat membuat Kita terjebak didalam rasa kemalasan. Rasa itu hanya dapat menciptakan kesia-sia'an diri. Hidup kita menjadi tidak ada artinya sama sekali, manakala tak ada sesuatu yang kita dapat kerjakan selama hidup tersebut.

Maka, dengan kesempurnaan daya pikir yang telah matang didalam kepala, mari kita mulai bergerak bersama untuk suatu karya, sehingga kemudian kita kelak dapat menyumbang daripada arti kedamaian pada kehidupan di Dunia. Kehidupan Kakek Malang, hanya berjalan apa adanya tatkala usia muda bahkan hingga sampai di usia lansianya.

Setiap hari yang berjalan, hanya habis terbuang sia-sia dengan rutinitas sehari-hari mencari lalu menjual Ikan. Kendati demikian, Ia pantang menyerah. Dengan rasa beserta kemauan dan perjuangan yang tidak pernah pudar walau telah berusia sangat lansia, mimpi dan cita-citanya pun dapat terkabulkan.

Hanya saja, Kakek Malanggi memang mengalami keterlambatan dalam menggali potensi yang Ia miliki itu. Baru ketika Usia lansia, Ia berhasil menggapi mimpi. Akan tetapi, meskipun sang kakek tak menikmati buah kesuksesan disebabkan hukum ajal satu ummat telah tiba teruntuk dirinya, semua Masyarakat Desa dan tidak terkecuali para Generasi-generasi muda yang terlahir, pada akhirnya dapat merasakan, menikmati, bahkan setelah itu akan selalu menjaga apa yang menjadi pemberian almarhum Kakek Malang.

Pemberian sang Kakek tersebut, Hartono dan Sarjono alokasikan kepada berbagai pembangunan infrastruktur serta pembaharuan fasilitas pendidikan di Desa, guna memudahkan akses para warga Desa setempat. Pembangunan nan merata bagi Desa dilakukan, agar para warga dapat merasakan kenyamanan dan kemudahan didalam berbagai macam aktifitasnya sehari-hari. Dan para Generasi pun dapat menimba Ilmu pengetahuan yang setara, dengan mereka para Generasi di kota-kota.

Hanya dalam waktu 1 tahun kemudian, akhirnya Desa Sumbangsari telah berhasil disulap menjadi Desa yang asri, indah, dan bahkan tertata rapih terhadap segala lininya. Surga kecil ini telah berhasil tercipta, semata-mata karena sumbangsih daripada kakek Malanggi melalui karya-karya miliknya yang terbaik. Kemudian tak lupa pula, ketekunan, kegigihan, dan juga keikhlasan dua orang partner sejatinya yaitu Hartono dan Sarjono, yang sudah membantu merealisasikan.

Hartono beserta Sarjono kemudian berziarah pada kubur kek Malang, dengan bentuk makam sang Kakek yang telah dirias dan dipercantik layaknya makam para Tokoh-tokoh besar Dunia, untuk memanjatkan do'a dan segala puji syukur padaNya. Memanjatkan do'a, atas setiap kesuksesan dan juga atas setiap detik nafas berhembus pemberian Yang Maha Agung, sebagai sujud syukur kepadaNya.

Harapan serta do'apun kian terpanjatkan pula terhadap kakek Malang, dengan segudang prestasi dan jasa-jasa besarnya. Bagaimanapun juga, setiap langkah kedamaian tidaklah luput daripada perjuangannya. Itulah sejatinya cinta yang berarti, dan menjadi landasan dalam Dunia bahagia.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun