Erick yang melihat undangan tersebut memberikannya kepada Ilham. "Tuan Ilham, ini ada undangan dari PT. Cassiavera mengundang kita untuk acara resepsi anaknya di Indonesia!" ujar Erick seraya menyerahkan undangan merah jingga kepada Ilham.
"Hm, kau urus segala sesuatunya, aku akan menghadirinya, dan sekaligus aku akan melayat orangtuaku dikampung halaman!" jawab Ilham tanpa membuka undangan tersebut.
"Oh right? Memang Tuan Ilham masih punya orangtua?" Erick pun terkejut. Setahunya Ilham ditemukan Tuannya disebuah pulau tak berpenghuni hidup sebatangkara.
"Masih ada! Tapi sekarang aku sudah tidak tahu lagi, apakah beliau masih ada atau tidak, karena sudah lebih lima tahun aku menghilang dan dianggap mati oleh semua orang!" lirih Ilham menarik nafas panjang, dan matanya menerawang jauh kekampung halamannya.
"Wah, aku ingin ikut bersama Tuan ke Indonesia!" ujar Erick semangat.
"Tentu, engkau merupakan sahabat setiaku saat ini, aku tidak tahu musuh kita yang tersembunyi di seluruh negara. Dan untuk identitasku, cukup kalian saja yang tahu!" jawab Ilham seraya mengambil sebatang rokok dan menyulutnya.
Pernikahan Diana akan dilangsungkan tiga hari lagi, bertempat di Hotel Grand Kerinci. Seluruh kamar hotel sudah di boking, ruangan aula sudah ditata sedemikian rupa. Para panitia sudah standby dan melakukan gladi.
Seorang pemuda berambut pendek, jecket lusuh, celana jeans yang lusuh dan bersepatu turun dari sebuah angkot di Desa Siulak Gedang. Sebuah tas ransel tergantung dipundaknya. Dengan perasaan lesu, dia menatap suasana kampung yang sudah lima tahun ia tinggalkan. Orang-orang yang lalu lalang menatapnya dengan perasaan campur aduk.
"Ilham..?" teriak seorang wanita paruh baya dengan tergesa-gesa menghampirinya. Wanita tersebut diikuti oleh beberapa ibu-ibu yang sedang duduk diwarung.
"Mak Ita?" Ilham menyambut saudari ibunya yang bernama Mak Ita tersebut. Mereka langsung berpelukkan dan menangis.
"Ilham... kami mengira kau telah tiada nak...hiks.." suara Mak Ita terisak di bahu Ilham.