"Kamu jangan lupa, Pak. Tidak hanya anak yang bisa durhaka pada orang tuanya. Orang tua pun bisa dikategorikan durhaka terhadap anak-anaknya!" geram Ni Sariah. Tangannya yang keriput memegang kipas dari robekan kardus mie instan.Â
Keduanya duduk di samping rumah sambil menganyam bambu. Puasa pertama dilalui dengan suka duka tanpa dikelilingi anak-anak mereka.Â
"Dari mana kamu tahu kalau kita ini orang tua yang durhaka?" tanya Ki Nanang. Dia menghentikan gerakan tangannya.Â
"Seharusnya kita sebagai orang tua masih bertanggung jawab untuk menasehati anak-anak kita. Jika memang mereka durhaka atau bersikap kurang ajar. Bukan menjauh seperti ini. Ini sudah termasuk durhaka terhadap anak-anak kita."Â
Ki Nanang menggelengkan kepalanya sambil berdecak.Â
"Kamu kalau mau ditelantarkan lagi, ya pergi sana. Nanti aku bilang sama Muslih untuk mengantarkan kamu ke sana."
Istrinya diam sesaat.Â
"Ah, tidak usah. Lebih baik kita di sini saja. Fokus ibadah mumpung dekat dengan masjid. Di bulan Ramdhan seperti ini ada baiknya kita meningkatkan kualitas ibadah. Mumpung masih diberi umur."
"Bapak sama Ibu masih kuat, puasanya?" tanya Larasati sambil membawa sayuran yang akan dimasak untuk berbuka puasa.Â
Keduanya menoleh ke arah perempuan bertubuh gempal itu.
"Kuatlah! Kan, nggak ngapa-ngapain. Cuma tidur," sahut ibu mertuanya ketus.