"Astaghfirullahaladzim! Sampai kapan kamu berhenti menghinanya, Bu?" Ki Nanang tidak melanjutkan aktivitas memijatnya. Tubuh sedikit bungkuk itu membelakangi istrinya.Â
"Kenapa? Memang kenyataannya seperti itu, kan?"
"Ingat! Kamu sudah tua. Jika ajal menjemput dan tidak sempat meminta maaf sama menantumu itu. Aku pastikan kamu menyesal! Jangan lupa kalau dialah yang merawatmu. Siapa yang suka menyediakan obat untukmu, ha?"Â
"Siapa yang mencuci pakaian dan menyediakan makan untukmu. Apa kamu tidak ingat ketika kamu tinggal bersama anak-anak kita? Apa mereka ada yang peduli? Bahkan mereka secara diam-diam menelantarkan kita menjual rumah kita. Kapan kamu sadar, Bu?"
Cercaan Ki Nanang lagi-lagi membuat perempuan itu terdiam.Â
"Eling, Bu. Eling." Napas lelaki 90 tahun itu seakan terasa begitu sesak di dadanya.Â
"Kamu selalu membanding-bandingkan dengan menantu lain. Anak sendiri saja tidak mengurus kita. Kita ditelantarkan."Â
Ni Sariah terdiam. Dia memilih untuk pergi tidur daripada mendengarkan ceramah suaminya.Â
*
*
*