Kalimantan, 24 September 2006.Â
Tidak terasa memasuki bulan Ramadan. Beberapa bulan lamanya telah berlalu. Anak-anak Ki Nanang dan Ni Sariah tidak ada satupun yang mencari keberadaan mereka.Â
Begitu sebaliknya. Kedua insan lanjut usia, memilih abai. Tidak menanyakan ataupun memperdulikan anak-anak mereka. Mencari ataupun tidak, Ki Nanang dan istrinya sudah hidup bahagia bersama Muslih dan keluarga kecilnya.Â
Mereka dikelilingi tiga cucu dari pernikahan Muslih dan Larasati. Dua sudah bersekolah dan yang paling kecil berusia satu tahun.Â
Meskipun mereka abai, tetapi di dalam hati kecil Ni Sariah, dia merindukan anak-anaknya juga cucu-cucunya. Padahal jarak tidaklah terlalu jauh. Namun, Entah mengapa anak-anak dan menantu mereka tidak mencari keduanya. Sampai tiba di bulan Ramadan.
"Pak ... aku kepingin pulang menengok mereka," pinta istrinya.Â
Ki Nanang melirik istrinya sekilas. Kemudian dia memilih mengabaikan rengekkan istrinya.Â
"Untuk apa? Supaya ditelantarkan, lagi?"Â
Ni Sariah menarik napasnya. Perempuan berkulit gelap itu tampak kesal. Suaminya selalu bersikeras menolak pulang mengunjungi anak-anaknya. Lelaki tua 90 tahun itu lebih suka tinggal bersama Muslih dan menantunya. Dia tidak ingin diusir ataupun ditelantarkan lagi.
"Anak durhaka seperti mereka tidak perlu didekati. Yang ada kita sebagai orang tua sakit hati dibuatnya. Mereka lupa dengan apa yang aku ajarkan. Melupakan dalil yang pernah kusampaikan. Jangan pernah sekali-kali mereka durhaka kepada orang tua, tapi nyatanya nasihat itu mereka abaikan. Mereka lupa di dalam Alquran surah al-Isra' ayat 23 dan surah al-Ahqaf ayat 15. Mereka melupakan itu, Bu! Melupakan ayat yang melarang anak durhaka kepada kedua orang tuanya." Kedua mata Ki Nanang berkaca-kaca.Â
Sebagai seorang ibu, istrinya pun menolak keras bahwa menganggap anak-anaknya durhaka terhadap dirinya dan suaminya. Ni Sariah berpikir, jika mereka hanya kurangnya komunikasi.Â