Namun, sayangnya. Hari ini tidak ada buah terong yang bisa dipetik karena masih kecil-kecil. Ki Nanang hanya mencari kayu bakar untuk memenuhi dapur milik menantunya itu.Â
Sebentar lagi lebaran. Bahkan nanti malam pun sudah mulai takbiran. Ki Nanang termenung sejenak. Melemparkan pandangannya pada rumput di setiap sudut maupun di dekat tanaman sayurnya.Â
"Andai anak-anakku berkumpul," gumamnya. Seketika bulir bening membuat pandangannya menjadi mengembun. Dadanya yang kurus terasa sangat sesak manakala menahan kerinduan, tapi dirinya merasa kecewa terhadap anak-anaknya. Tidak ada yang peduli selain Muslih dan istrinya. Sampai saat ini. Mungkin saja jika dia mati tidak ada yang tahu.
Air mata mengalir ke pipinya yang tirus. Ah, lebih tepatnya kempot karena sudah tidak memiliki gigi. "Kempot peyot!" ejek istrinya jika sedang bergurau.
Rambutnya berwarna putih, alis dan janggut pun berwarna sama. Tubuhnya sedikit bungkuk, tapi tenaganya masih lumayan kuat sampai-sampai dia rela mencari kayu bakar.
Tidak terasa azan Zuhur berkumandang.Â
"Pak! Balik!" seru Larasati.Â
Menantu perempuan itu sangat perhatian terhadapnya. Terlambat pulang dia akan menyusul dan mencarinya.
"Iya, Nduk. Ni bapak mau pulang," sahutnya. Gegas parang yang dibungkus tempatnya, dia ikatkan ke pinggangnya. Sambil berusaha menggendong gulungan kayu yang diikat menjadi satu.Â
"Biar Laras yang bawa, Pak," pinta perempuan yang memakai daster. Gulungan kayu itu diletakkan di atas kepalanya. Kemudian tangan satu memegangi kayu tersebut.Â
Keduanya berjalan beriringan. Sesekali, Ki Nanang berhenti mengambil napas.Â