Ni Sariah mendadak kelu.
"Anak batu! Anak durhaka! Pergi kalian dari sini. Jangan pernah menginjakkan kaki ke sini lagi!" Tidak disangka Ki Nanang mengusir Sri dan suaminya.Â
"Ada apa, Pak? Didatangi malah ngusir! Apa nggak tau datang ke sini butuh berjam-jam?!" Sri tak kalah sengitnya. Perempuan bertubuh kurus dan berkulit sawo matang itu membentak keras kedua orang tuanya.
"Kami tidak butuh kedatangan kalian. Kalau kami mati jangan sedikitpun kalian menyentuh jasad renta ini!" Ki Nanang melotot hingga matanya berair.Â
Sri Dwi Ratna, dia bingung kenapa ayahnya mendadak marah. Biasanya kedatangannya ditunggu-tunggu kedua orang tuanya.Â
"Ada apa, Pak?" tanya sang menantu.Â
"Nggak usah pura-pura lugu! Rumahku kalian jual. Kalian sengaja membiarkan kami di sini. Apa kalian buta? Apa kalian tidak punya hati, ha?!" Diambil sebilah parang yang terselip di dinding anyaman bambu.Â
"Pergi dari sini!"
"Pak jangan seperti itu---,"
Ki Nanang mengamuk hingga membuat Sri dan suaminya lari terbirit-birit meninggalkan gubuk.Â
Parang terjatuh ke lantai papan. Kedua lutut Ki Nanang bergetar dan lemas. Dia pun akhirnya tersungkur. Lelaki renta itu menangis sejadi-jadinya.Â