Setelah shalat Tarawih, Larasati melipat semua baju anggota keluarganya. Merapikan lemari dan menata pakaian. Tidak sengaja perempuan itu melihat bungkusan plastik berwarna hitam.Â
"Apa ini, Bu?" tanyanya penasaran.Â
"Buka saja nanti juga tau," jawabnya memberi perintah.Â
Larasati pun membuka plastik hitam yang terikat. Setelah itu dia membuka plastik hitam tersebut.Â
"Kain kafan," kata sang menantu.Â
"Buat bekal. Itu tabungan kami. Kain kafan, kapas, kapur barus, minyak wangi-wangian dan serbuk cendana. Kelak, kalau kami tiada tidak merepotkanmu," terang lelaki 90 tahun itu. Yang sebentar lagi usianya menginjak 91 tahun.Â
Ketiganya terdiam. Hanya terdengar suara jangkrik dan nyanyian katak di pinggir londang. Lubang galian bekas ekskavator berbentuk persegi. Lumayan dalam. Biasanya warga Kalimantan menemukan londang di lokasi-lokasi tertentu. Contohnya di tambang emas ilegal. Di sebuah lokasi yang didominasi pasir.
"Bapak mah, ngomong sembarangan," kata Larasati. Dia menepis perasaan yang membuatnya takut kehilangan ayah mertuanya.Â
"Bukan sembarangan, tapi memang benar adanya. Kami sudah tua. Uzur. Hanya itulah harta satu-satunya yang akan kami pakai dan dibawa mati. Kami sudah tua. Umur tidak tahu sampai dimana."
Larasati gegas mengikat plastik itu lagi. Kedua matanya sudah tidak sanggup menahan buliran air mata.Â
Perempuan 30 tahun itu takut kehilangan mertuanya. Terlebih kehilangan ayah mertuanya. Hanya Ki Nanang yang menerimanya dengan baik. Seakan dia dan Ki Nanang tidak bisa terpisahkan. Obrolan dan aktivitas pun tidak luput dengan berdua. Kadang ayah mertuanya suka membantu Larasati di dapur. Meskipun hanya sekedar menemani.Â