Mohon tunggu...
Tar Tibun
Tar Tibun Mohon Tunggu... Guru - Penulis Pemula

Sedang menjalani kehidupan terbawah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Satu Hati Sampai Mati

8 Agustus 2023   07:09 Diperbarui: 8 Agustus 2023   07:16 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suaminya mendelik. 

"Ngomong apa kamu. Yang ada menyesal telah mendidik anak menjadi anak batu dan durhaka!" sahut Ki Nanang. 

Keduanya duduk di tengah ruang bercahayakan remang-remang lampu minyak tanah yang berpijar. Menikmati alunan desau angin malam. Dan mendengarkan binatang malam yang pandai bernyanyi. 

Di samping lelaki tua itu secangkir kopi panas rasanya pahit tanpa gula. Sedangkan sang istri tidak henti mengusap air mata yang mengalir ke pipinya. Rambut putih bergelung. Kebaya lusuh melekat di tubuh kurusnya. 

"Sekarang bagaimana dengan nasibku, Pak? Sebentar lagi obat sesak napasku habis." Dadanya bergemuruh rasa sakit semakin berjumpa pada gumpalan daging yang berdegup kencang. 

"Pasrah. Tunggu keajaiban. Paling tidak menunggu Sri, si anak batu itu datang. Atau kita mati sama-sama di sini." 

Ni Sariah menoleh menatap lekat wajah suaminya. Dia tahu betapa kecewanya sang suami terhadap putri kedua mereka. Perempuan itu bisa merasakan betapa sakitnya hati suaminya. 

"Bagaimana kalau kita ke rumah Wulan saja, Pak?" usul Ni Sariah. Kedua matanya yang sendu berubah berbinar-binar. Ibarat bintang bersinar di tengah kegelapan malam. 

"Enggak! Aku tidak setuju. Wulan dan Sri sama saja. Wulan banyak anaknya. Selain anak cucu dan menantu menjadi tanggungannya. Lebih baik, kita di sini saja kalau memang usia kita tidak panjang. Mati di sini pun tidak mengapa."

Ni Sariah tertunduk lesu seakan napasnya melemah. Bulir-bulir bening menetes lagi pada pipinya yang kurus dan kusam. 

Wulan. Putri pertama mereka yang dikaruniai tujuh orang anak. Enam anak sudah menikah tersisa satu yang belum. Anak dan menantu bergantung dengan hidupnya. Dia bersuami. Suaminya hanya bekerja sebagai buruh bangunan. Untuk mencukupi semua kehidupan anak maupun menantu. Kehidupan yang paceklik membuat mereka hidup serba kekurangan. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun