Mohon tunggu...
Novia Respati
Novia Respati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wirausaha

Senang menulis dan memasak 😊

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Gadis Barista (Bagian 11 - Selesai)

2 Januari 2024   08:46 Diperbarui: 2 Januari 2024   09:02 403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Bagian 11

Sudah pukul setengah sembilan malam, aku menguap saat mataku sedang menatap jam dinding dalam kamarku. Aku mengambil posisi tidur. Tanpa butuh waktu lama, mataku langsung terpejam sepenuhnya. Pasti papa dan mama akan mencari keberadaanku. Biarlah.. mungkin mereka pikir aku telah hilang di bawa penculik ke planet lain saat menjemur jas hujan di samping. Namun mereka akan menemukan jawabannya jika mencari ke dalam kamarku.

Syukurlah aku telah dapat beraktivitas normal kembali hari ini. Memang jenuh, rasanya sangat ingin pergi berlibur untuk waktu yang cukup lama. Namun aku belum mendapat kesempatan itu. Maklum aku hanya karyawan biasa yang tidak bisa pergi liburan seenaknya saja kapan ku mau. Pagi ini aku berangkat ke kedai tanpa ditemani gerimis ataupun hujan. Hanya ada kubangan-kubangan air yang tampak terlihat di depan mata. Aku harus berjalan sangat hati-hati, cermat memilih mana yang harus ku pijak. Kalau tidak, sepatuku bisa kecemplung dalam kubangan.

Masih seperti biasa, aku menumpang bus kota pagi ini. Aku sudah duduk di kursi paling belakang, deret ke empat dari depan. Kali ini aku tidak duduk di samping jendela, melainkan di kursi yang sebelahnya. Aku masih memikirkan Henry. Dia sudah pernah menyatakan cintanya kepadaku, namun aku sedikit ragu sekarang. Apa mungkin dia telah sepenuhnya melupakan perasaan cinta pada Mba Lidya? Mungkinkah dia hanya menjadikanku sebagai pelarian dari rasa sakit hatinya? Yang selama ini masih kerap menghantui pikirannya.

Huh, aku sadar aku menyayangi Henry. Atau bahkan.. Mungkin aku telah jatuh cinta padanya. Tapi aku tetap tidak bisa menerima dirinya. Aku senang ketika melihat dirinya, apalagi saat dia ada di dekatku. Aku juga senang ketika dapat bertukar pesan dengannya. Diam-diam aku mencari dan merindukannya kala aku tidak dapat mendengar kabarnya. Mungkin selama berteman dekat dengannya, aku sering bersikap seolah tidak mempedulikannya. Tapi isi hatiku yang sebenarnya, hanya diriku sendiri dan Tuhan lah yang mengetahuinya dengan pasti.

Memikirkan Henry sepanjang perjalan pagi ini, tidak terasa sudah waktunya aku harus turun dari bus. Aku turun perlahan dan segera menyebrangi dua jalur di depanku. Mumpung kedua arah sedang sepi, aku buru-buru lari menyeberang. Tampak Pak Otong sedang duduk di dalam pos satpam sambil menatap ke arah luar. Dia tersenyum ramah mengangguk kepadaku. Aku pun melakukan hal yang sama. Lalu terus berjalan ke arah samping kedai.

Masih sepi, ku coba membuka pintu samping. Krek.. Ternyata masih dikunci. Ku putuskan untuk menunggu berdiri saja tanpa menghubungi siapapun. Beberapa menit aku menunggu, tampak Mutia dan Eka datang dari arah parkiran depan kedai. Melihat keberadaanku, mereka pun bertanya perihal kondisi kesehatanku saat ini.

"Amel.. Sudah sehat kan?" tanya Eka sembari menyentuh punggung atas sebelah kiriku. Dan Mutia sedang membuka kunci pintu samping, dia hanya tertawa kecil padaku.

"Sudah Ka.. Semoga aku ngga sakit-sakit lagi lah.."

"Haha, iya Amin.." timpal Mutia yang baru berhasil membuka kunci pintu kemudian membukakannya agak lebar untuk kami masuk ke dalam.

"Mut, celemek aku di.......?"

"Di dalem loker aku, sebentar ya. Waktu itu kan loker kamu dikunci, pas kamu pulang celemeknya aku simpen di loker aku."

Aku menunggu Mutia membuka loker miliknya, lalu tidak lama celemek hijau milikku telah berada di tanganku. Aku lekas memakainya kemudian bergegas bersama Mutia dan Eka mempersiapkan pembukaan kedai hari ini.

"Kamu ke dokter Mel kemarin?" tanya Mutia sambil menata ulang susunan kue dan roti pada etalase di hadapannya. Sedang aku berdiri di samping kanannya, membuka satu per satu toples bubuk kopi giling yang sudah hampir habis.

"Ngga Mut. Malem itu aku minum obatnya mamaku, besok paginya sudah enakan. Jadi aku pikir ngga perlu ke dokter."

"Hmm.. Libur jadi ngga kemana- mana dong kemarin?"

"Iya di rumah aja. Ngga bisa tidur siang juga sih, cuma nonton aja jadinya."

"Hmm.. yang penting istirahatnya cukup lumayan kan?"

"Iya, mungkin kemarin sakit kepala karena kurang tidur juga. Oh iya, kemarin Mba Lidya dateng?"

"Dateng, sudah hampir jam empatan gitu. Pas dia sampe, eh hujan."

"Oh disini hujan juga ya kemarin? Di rumahku juga hujan sebentar."

Persiapan kami telah selesai sekarang, Eka segera menuju ke pintu depan dan membalikkan papan open closed itu ke posisi open. Kami telah siap melayani para pelanggan kami.

Empat puluh menit setelah kedai dibuka, kami kedatangan pelanggan pertama. Seorang wanita berkerudung hitam yang tampaknya berusia sebaya dengan mamaku, beliau memakai setelan blazer kotak-kotak hijau dengan rok panjang. Berhubung aku sangat senang karena sudah sehat kembali, untuk pelanggan pertama kami ini aku melukiskan latte art berbentuk hati di atas secangkir kopi moka yang dipesannya. Beliau tersenyum ramah ketika aku menyerahkan cangkir itu padanya.

Ku lihat beliau sempat memandangi bentuknya, namun dia hanya tersenyum simpul seraya mengucap terima kasih padaku.

Baru saja wanita itu berlalu dari hadapanku, hadirlah sosok Henry dari balik pintu depan. Dia tersenyum-senyum sambil berjalan, hendak menghampiriku.

"Senyam-senyum.. Lagi seneng?"

"Seneng dong lihat kamu sehat, bisa bikin kopi lagi."

"Kamu tahu ngga Mas? Kamu sempet-sempetnya kesini jam segini sudah ibarat asistennya Mba Lidya."

"Kok gitu?" tanya Henry heran sembari mengerutkan dahinya.

"Ya kamu tuh ngecek hari ini aku masuk atau ngga." aku menjawab pertanyaannya dengan wajah sedikit cemberut. Sedangkan dia malah tertawa menanggapiku.

"Aku mau kopi dingin. Pake gelas plastik aja."

"Moka?"

"Latte. Kopi latte. Kesukaan kamu." nada bicaranya memang sangat mengesalkan, tapi terkadang aku juga merindukan tingkahnya itu.

Tanpa berlama-lama lagi, aku menyiapkan pesanannya. Setelah membayar kopinya pada Eka, dia kembali ke hadapanku.

"Punya Saya sudah Mba?" tanyanya meledekku.

"Ini Pak, Silahkan.. Jangan datang lagi ya!" aku balas meledeknya.

Dia pun tertawa seperti orang bodoh, mengucapkan terima kasih kemudian berbalik pergi begitu saja dengan segelas plastik es kopi latte di tangannya. Masih dengan tas selempang hitam yang menyangklok di pundaknya.

Pelanggan kami mulai berdatangan silih berganti, keluar masuk kedai. Ada yang minum disini ada pula yang memesan untuk dibawa pergi lagi. Hingga kedatangan Dion pada pukul sembilan lewat lima belas menit, dia pun bergegas dengan cekatan membantuku menyiapkan semua pesanan yang telah masuk. Kami mulai berbagi tugas. Sekali-sekali posisi kami tidak sengaja tertukar, kadang aku yang berdiri di depan Dion tapi kadang pula Dion yang berdiri di depanku. Hal itu karena kami sangat sibuk sana-sini mengambil peralatan untuk meracik kopi yang kami buat.

Meskipun begitu, baik aku maupun Dion, kami sama-sama menjaga kebersihan meja kerja kami. Agar tetap pantas untuk dipandang siapapun, terutama pelanggan kami. Tampak Mutia dan Eka yang juga sangat sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Sekitar pukul sebelas lebih dua puluh menit pekerjaan kami mulai lengang. Aku sedang menyelesaikan satu pesanan lagi di tanganku.

Mba Lidya yang baru datang dari arah luar, langsung melangkah menuju mejaku. Dia memberi kabar kepadaku dan Dion bahwa akan diadakan kontes keterampilan antar barista se-Jakarta Selatan. Namun dari satu kedai kopi hanya boleh mengikutsertakan satu orang peserta sebagai wakilnya. Tanpa mendiskusikannya terlebih dulu dengan kami, dia mengatakan telah menunjuk aku sebagai wakil dari "kedai kopi Rindu."

Tentu aku sangat terkejut mendengarnya. Apalagi waktu pelaksanaannya cukup mepet. Yaitu hari Sabtu di minggu ini, sedangkan sekarang sudah hari Selasa. Dion malah memberiku tepuk tangan kecil seraya tersenyum mengatakan selamat untukku. Mba Lidya memang berhak menunjuk siapapun sebagai wakilnya dari kedai ini, tapi kalau seperti ini aku jadi merasa tidak enak pada Dion dan juga Faris. Apalagi sekarang Faris masih cuti dan kemungkinan baru besok dia akan bekerja kembali.

"Pasti kamu bisa kok Mel, Saya percaya sama kamu. Semangat ya!" Mba Lidya pun berlalu dari hadapan kami menuju ruang kerjanya.

Kompetisi Sabtu nanti hanya berlangsung satu hari, dimulai pukul delapan pagi hingga selesai dan bertempat di salah satu aula gedung daerah Kemang, Jakarta Selatan. Dari informasi yang Mba Lidya ketahui, nantinya akan ada delapan puluh orang peserta yang akan dibagi menjadi empat sesi, dimana masing-masing sesi terdiri dari dua puluh orang peserta kontes yang diujikan atau dilombakan.

Mba Lidya juga berpendapat bahwa aku tidak perlu menyiapkan latihan khusus. Sehari-hari pekerjaanku memanglah meracik kopi. Dia menyarankan agar setiap harinya menjelang kontes dilaksanakan, aku dapat melatih lebih baik lagi teknik-teknik meracik kopi serta memperluwes kemampuan latte art ku. Sehingga rasa kopi dan tampilannya sama-sama sempurna.

Aku jadi cemas sendiri memikirkan hal ini sendirian. Ah.. Sudahlah, aku mau makan siang dulu sekarang. Aku sengaja tidak membawa bekal dari rumah untuk makan siang hari ini. Aku segera melancarkan niatku untuk makan di kedai sate Padang yang kemarin sempat tertunda karena aku jatuh sakit. Aku pun bergerak cepat pergi meninggalkan kedai.

Sesampai di kedai sate Padang, tampaknya suasana disana cukup ramai pengunjung. Namun, aku tidak jadi merasa khawatir karena ternyata masih tersedia beberapa kursi kosong untukku. Lantas aku buru-buru memesan dan langsung mengambil posisi duduk di kursi yang menghadap keluar kedai.

Tidak perlu menunggu lama, seporsi sate Padang lengkap dengan potongan lontong nasi telah mendarat di atas mejaku beserta segelas es teh manis. Wah.. Lengkap sudah menu makan siangku hari ini. Aku sangat siap menyantapnya. Hmm.. Luar biasa.. Aku sangat suka bumbu pedas gurihnya berpadu dengan irisan bawang goreng. Rasanya terasa lebih nikmat karena aku sudah cukup lama tidak memakannya.

Ketika sate Padang ku sudah hampir habis, lelaki itu datang lagi. Haduh.. Sepertinya si Henry ini selalu bisa mengendus keberadaanku. Dia meninggalkan seorang teman di luar sana yang tadi berjalan beriringan dengannya. Lantas ku lihat temannya itu melanjutkan langkahnya ke depan, sedang Henry mendekati Ibu penjual sate untuk memesan.

"Sendirian Neng?" Saya duduk sini ya?" seraya tangannya menyentuh kursi plastik di depan meja makanku.

"Hmm.. Silahkan.., tadi kamu mau kemana sama temen kamu?"

"Mau makan lah Mel.."

"Makan disini? Atau kamu kesini karena dari luar lihat ada aku?"

"Hahaha GR kamu Mel.." seraya tangannya meraih sepiring porsi sate Padang yang baru saja diantar oleh si Ibu penjual sate.

"Hmm.. Oke." aku menjawabnya santai sambil menyedot es teh manis ku yang tinggal sepertiga gelas.

"Jangan pergi dulu Mel, temenin aku makan. Ngga lama kok."

"Hmm.. Iya.. Ya sudah jangan kebanyakan ngomong."

Begini jadinya kalau aku tidak membawa bekal makan siang dari rumah. Niat makan sendiri, sekarang malah harus menemani Henry. Aku tidak mungkin pergi begitu saja, sedangkan tadi dia datang kesini karena pasti telah melihatku sendirian disini. Jujur saja, aku tidak mau terlalu sering berlama-lama di dekatnya karena aku tidak mau perasaanku padanya semakin dalam. Sebisa mungkin aku selalu ingin menghindarinya, namun terkadang itu sangat sulit dilakukan. Henry begitu sering muncul tiba-tiba di hadapanku.

"Sudah makannya?" tanyaku padanya ketika melihat isi piring satenya telah tandas.

"Hmm.. Enak Mel.." Henry menyahut, hendak menenggak segelas es teh manisnya.

Aku memandangi wajahnya ketika dia sedang minum. Aku teringat kala dulu Faris pernah mengomentari wajahnya yang tampan. Namun aku menepis anggapan itu. Sekarang kedua mataku dapat dengan jelas melihat detil wajah itu. Mungkin aku telah terlalu lama terdiam menatapnya tanpa bersuara, hingga dia mengagetkanku.

"Mel ! Sudah.. Kok bengong?"

"Oh sudah habis ya minum kamu?" aku tersentak dan mengalihkan pandanganku ke arah gelas Henry.

"Balik sekarang? Aku traktir Mel.."

"Eh serius?"

"Iya, yuk.."

Aku hanya dapat mengucapkan terima kasih pada Henry. Setelahnya, Henry menemaniku berjalan menuju pintu samping kedai. Kami tidak banyak mengobrol lagi, kami hanya menikmati bersama tiupan angin yang lembut sepoi-sepoi menyibak rambut kami. Henry hanya mengantarku sampai di depan pintu samping kedai. Aku melihatnya berbalik badan dan melambaikan tangannya padaku. Entah sampai kapan aku bisa melihat senyum itu di wajahnya.

Siang ini kedai kami belum terlalu ramai oleh pelanggan, meski tadi pagi memang tampak cukup ramai. Namun volume kedatangan pelanggan memang selalu berfluktuasi, tidak hanya hari demi hari namun juga dari jam ke jam berikutnya. Dion sedang istirahat makan siang sekarang, Mutia juga. Tapi sepertinya mereka makan di tempat yang berlainan. Hari ini aku tidak pulang pukul empat sore, tapi aku harus lembur hingga tiga jam ke depan. Begitu pun Dion, yang akan tetap disini setelah aku pulang nanti. Sebabnya tentu karena Faris masih cuti. Tetapi besok hari Rabu, Faris akan kembali aktif bekerja.

Aku dan Eka membahas soal kontes barista nanti, dia malah mengerjaiku dengan memintaku membuatkannya secangkir kapucino hangat. Sambil senyam-senyum dia mengatakan padaku, "Mel, lagi sepi nih.. Tolong dong buatin aku kapucino anget, serius.. Bikinin latte art ya, gambar rosetta."

"Hahaha.. Boleh, boleh.. Bayar ngga nih?" tanyaku bercanda padanya sambil mengambil ancang-ancang untuk memenuhi pesanannya.

"Bayar lah. Nanti Mba Lidya rugi. Hahaha.."

Secangkir kapucino hangat telah tersaji sesuai permintaan Eka di atas mejaku.

Aku memanggil Eka untuk mendekat padaku. "Eka, ini sudah jadi pesanannya.." dia segera melangkah cepat ke samping ku.

"Wih.. Cantiknya. Sayang nih diminum. Nanti hilang gambarnya."

Aku tertawa mendengar ucapannya, lantas dia membopong cangkir itu ikut bersamanya ke meja kasir. Ku lihat dia meletakkannya di meja bagian bawah, samping keyboard. Mungkin dia sedang tanggung menyelesaikan laporannya, ku lihat dia meminumnya setelah beberapa menit kemudian.

"Mantab Mel..", dia mengacungkan jempolnya seraya menolehkan sebagian tubuhnya ke arahku.

"Sip.. Syukulah. Bayar lho, jangan lupa. Hahaha.."

Beberapa jam hari ini telah berlalu dengan singkat. Kini aku berada dalam perjalanan pulang ke rumah. Apa kalian pikir aku sedang menumpang bus kota? Tidak, Henry mengantarku pulang saat ini. Dia tahu kalau Faris masih cuti, sehingga dia berpikir kalau aku pasti akan lembur hari ini. Dia menungguku pulang selama dua jam. Sebelum akhirnya dia mencegatku di pintu samping kedai, dia bilang dia menungguku sambil bermain game komputer di kantornya.

Aku heran kenapa dia bisa seyakin itu kalau aku lembur. Dia sama sekali tidak memastikannya padaku dulu. Hmm.. Aku yakin, pasti ada yang membocorkan informasi padanya.

"Oh iya Mas, hari Sabtu ini aku mau ikut kompetisi barista se-Jaksel."

"Serius Mel? Dimana? Kamu daftar sendiri?"

"Di Kemang, dari jam delapan pagi. Pengumumannya hari itu juga, bakalan sampe malem tuh. Mba Lidya yang daftarin."

"Agak mendadak juga ya?"

"Hmm.. Mba Lidya baru dapet infonya hari Senin terus buru-buru daftarin aku."

"Hebat lho kamu bisa ditunjuk. Bisanya pilihan dia tuh......" Henry menggantungkan kalimat yang diucapkannya. Aku yakin dia baru sadar kalau dia hampir keceplosan ingin berkomentar layaknya orang yang sangat memahami sifat Mba Lidya.

"Kenapa pilihan dia? Kok diem?"

"Ngga, Mel. Ngga apa-apa. Sayang ya hari Sabtu pagi aku ngga bisa anter kamu, padahal aku pingin lihat. Pulang kerja deh jam dua belas aku susul kamu ya kesana."

Henry malah mengalihkan pembicaraan dan menutup begitu saja kalimatnya yang masih menggantung tadi. Malam ini jalanan dari kedai menuju rumahku tidak terlalu macet. Kepadatan kendaraan dapat dengan cepat terurai. Henry dapat leluasa memacukan roda motornya, tidak selalu berjalan di sebelah kiri. Akhirnya kami telah sampai di depan pagar rumahku. Dia langsung pamit untuk pulang setelah menurunkanku. Namun dia masih menunggu sampai kedua matanya melihatku benar-benar masuk ke dalam rumah.

Aku melambaikan tangan padanya ketika aku sampai di ujung teras. Dengan lambaian tangan yang berbeda aku juga memberinya kode untuk segera pergi. Sudah cukup malam, dan dia masih harus menempuh perjalanan pulang ke rumahnya. Aku harap dia masih punya waktu bersantai sebentar di rumahnya sebelum beristirahat dan tidur.

Sejak Mba Lidya memberikan kabar perihal kontes antar barista, waktu malah terasa semakin cepat berlalu. Siang ini ketika aku baru tiba di kedai dan menuju area barista, Faris menyambutku dengan tawanya diiringi tepuk tangan kecil mengucapkan selamat kepadaku.

"Wih.. Selamat ya Mel wakilin kita-kita nih. Mas Henry diajak ngga?"

"Apa sih Ris? Selamat.. belum menang sudah kasih ucapan selamat. Henry ikut nanti jagain sendal."

"Haha haha.."

"Ih Faris.. Tadinya kan gue yang mau nyambut lo sebagai penganten baru. Kok jadi lo yang nyambut gue sih? Keduluan deh.." wajahku cemberut sendiri, seraya memperbaiki posisi celemekku yang kurang nyaman dikenakan.

"Ren, Mutia mana?" tanyaku pada Rena.

"Makan, belum balik." jawab Rena tersenyum ramah padaku.

Tadi pagi aku telah mengabari Pak Iwan untuk menjemputku pulang malam ini. Semoga hari ini tidak hujan seperti kemarin. Supaya kubangan-kubangan di luar sana dapat kering dulu airnya sebelum terisi lagi oleh air hujan.

Aku sigap mengambil alih pekerjaan Faris karena dia harus beristirahat makan siang. Setelah kepergian Faris, aku melayani beberapa pelanggan yang baru datang. Namun satu diantaranya ialah pelanggan yang sebelumnya tampak telah memesan sebelum aku sampai di kedai. Dia seorang gadis muda yang datang dari arah meja tamu di dekat jendela sana.

"Mba, caramel macchiato ya, satu. Pake es." si gadis itu tersenyum sangat ramah padaku hingga pandangan matanya tertelan menutup.

"Oke Kak. Roti atau donat mau?"

"Ngga Mba, itu aja." dia pun menggeleng dengan pasti.

"Oke, silahkan ke kasir dulu Kak. Nanti kembali lagi kesini."

Satu gelas es caramel macchiato telah tersaji di hadapanku. Tepat sekali ketika gadis berambut bob berponi itu kembali ke hadapanku. Aku pun menyerahkan gelas itu kepadanya.

"Ini Kak minumannya, silahkan.."

Dengan volume suara yang pelan, dia mengucapkan terima kasih padaku seraya menerima pesananya dari kedua tanganku. Aku mengamatinya melangkah menuju meja tamu. Tampak ada dua orang gadis lagi di meja tamu yang dihampirinya. Hmm.. Lucu sekali anak gadis itu. Baby face. Berapa ya usianya kira-kira? Mungkin dia mahasiswa tingkat pertama.

Faris telah tiba disini, kami bekerja sama melayani sekelompok Bapak serta Ibu-ibu yang sebagian darinya mengenakan seragam yang sama. Tampaknya mereka berasal dari dua perusahaan berbeda, mungkin mereka akan membahas suatu kerjasama disini sambil menikmati secangkir kopi. Kami pun segera melayani pesanan mereka dengan sebaik-baiknya.

Huh, akhirnya waktuku untuk makan sore telah tiba. Setelah melayani pesanan sekelompok Bapak Ibu tadi, cukup banyak pelanggan yang menyambangi kedai hingga sore ini. Hari ini aku membawa bekal nasi goreng udang buatan mama. Hmm.. Masih sangat tercium harumnya ketika aku membuka kotak makanku. Aku siap menyantapnya sekarang.

Di luar sudah gelap, matahari telah pulang sejak tadi ke rumahnya. Sampai detik ini aku belum mendengar kabar Henry atau melihat batang hidungnya. Tumben dia tidak menghantui hidupku hari ini. Mungkin seharian ini dia sangat sibuk dengan pekerjaannya di kantor.

Seusai bekal makan soreku habis dan santai sebentar di ruang belakang, aku kembali siap untuk bekerja. Namun pelanggan sudah mulai berkurang, tidak seramai tadi sebelum aku pergi makan. Kami bisa sedikit bersantai dan mengelapi peralatan-peralatan kerja di sekitar kami. Sesekali kami berempat bercanda dan tertawa dengan suara lirih. Di meja tamu masih ada sekitar lima orang yang sedang menikmati kopi dan snacknya.

Kini sudah pukul sepuluh malam kurang sepuluh menit, seperti biasanya jika hendak closing, aku pindah posisi ke meja kasir. Semua laporan kerja kami ada di dalam komputer itu. Kasir yang sedang bertugas hari itu biasanya membantu penutupan operasional kedai ketika aku sedang menggunakan tempatnya. Syukurlah sampai malam ini, hujan tidak turun lagi. Tampak Pak Iwan telah tiba dan sedang menungguku di area parkir depan kedai. Sepertinya beliau sedang fokus ke layar ponselnya dan tetap duduk di atas motor.

Usai sudah tugasku hari ini. Aku dapat pulang dengan tenang sekarang. Namun aku belum sepenuhnya merasa tenang sebelum hari kontes itu dilaksanakan. Aku, Faris, Mutia dan Rena kompak keluar bersama dari pintu depan kedai, setelah memastikan pintu samping telah terkunci dengan sangat baik. Malam ini, kami berempat sama-sama menatap langit. Kami mencari bintang. Keempat pasang mata kami sedang mencari kedamaian di atas sana. Namun hanya sedikit saja bintang yang tampak oleh kami, dimana yang lainnya? Apa sebagian dari mereka bersembunyi di balik awan?!

Satu hari telah berlalu, ini adalah hari terakhirku sebelum kontes antar barista se-Jakarta Selatan dilaksanakan. Aku kebagian shift pagi hari Jumat ini. Sejak kemarin mama dan papa selalu menyemangatiku agar aku tidak hilang kepercayaan diri mendekati waktu kontes. Kata-kata penyemangat dan ekspresi wajah keduanya selalu terngiang dan terbayang olehku ketika rasa cemas tiba-tiba menyerangku. Di tengah lamunanku memikirkan hari esok, ponselku berdering dan bergetar. Namun aku hanya menyetelnya dengan volume kecil ketika sedang stand by di meja barista.

"Ada yang getar-getar nih..'' Mutia sedang berdiri di sampingku, tubuhnya sangat dekat dengan mejaku.

"Apaan yang getar? Gempa?" tanya Dion padanya sambil tertawa dari arah meja kasir.

"Mel, handphone kamu tuh getar." Mutia memberitahuku ketika menyadarinya. Sedang aku belum menyadarinya sejak tadi. Hmm.. Kenapa terkadang aku ini bodoh ya?! Padahal ponsel itu ku letakkan di atas lemari kecil yang berada di bawah meja kerjaku. Untung panggilan itu belum diakhiri, aku buru-buru menjawabnya. Oh, tumben sekali Mba Lidya menelponku ke ponsel.

"Halo Mba.. Maaf lama angkatnya."

"Iya Mel, lagi banyak customer ya?"

"Oh ngga juga Mba, ada apa?"

"Mel, kamu sudah siap kan buat besok? Maaf ya Saya ngga bisa dateng. Hari Minggu Saya mau pulang ke Pontianak. Jadi besok mau kumpul dulu di rumah."

Aku terkejut mendengarnya, aku pun bergerak ke dekat pintu masuk kedai, menjauh dari teman-teman yang lain.

"Pulang ke Pontianak Mba?"

"Iya Mel, pulang kampung. Nanti anak-anak Saya hubungin semua kok. Tapi kalau bisa kamu jangan bilang dulu ya sama yang lain."

"Terus kedai gimana Mba? Memangnya Mba Lidya ngga balik lagi kesini?"

"Kedai nanti tetap Saya kontrol lewat kalian. Kira-kira seminggu dua kali mama Saya cek kesitu. Saya minta maaf ya Mel, kalau mungkin selama ini ada kata atau sikap Saya yang menyinggung kamu. Makasih banyak kamu mau kerja buat Saya."

"Ya ampun Mba, harusnya Saya yang berterima kasih banget sudah dikasih banyak kesempatan sama Mba Lidya."

"Iya Mel, sama-sama. Segini dulu ya, besok-besok kita sambung lagi. Oke Mel?"

Mba Lidya telah menutup telponnya. Kenapa mendadak hatiku diselimuti rasa hampa setelah mendengarnya mengucapkan salam perpisahan. Kenapa dia mengucapkan itu seolah tidak akan pernah bertemu lagi denganku? Berarti, dia akan pergi dengan membawa seluruh rasa sakit, penyesalan serta sisa cintanya pada Henry. Aku dapat merasakan getaran itu pada suaranya. Bahkan dia tidak menjawab ketika aku bertanya apa dia tidak akan kembali lagi kesini.

Aku terlalu lama berbicara dengan Mba Lidya di telpon. Aku bergegas kembali ke area kerjaku. Bagus lah, teman-teman tidak ada yang kepo menanyaiku. Mereka tidak ingin tahu apa urusanku tadi di telpon. Aku rasa mereka juga tidak tahu kalau itu adalah telpon dari Mba Lidya. Meski pikiranku sedang kacau, aku harus kembali membantu Dion menghandle pesanan pelanggan.

Pukul empat sore, aku berdiri di depan lokerku. Mengeluarkan tas dan jaket, bersiap untuk pulang. Tidak lupa, hari ini jadwal ku membawa pulang celemek hijau milikku untuk dicuci di rumah. Ponselku kembali berdering. Kali ini dari Henry.

"Mel, tungguin aku ya. Aku anter kamu pulang. Ngga sampe jam lima kok, aku susul kamu di kedai."

"Oh ya sudah. Aku tunggu di ruang belakang ya. Nanti kamu ke pintu samping kedai aja."

Aku menjatuhkan tubuh di lantai dekat pintu samping. Menyandarkan seluruh punggungku pada dinding. Aku menghela nafas, masih terngiang segala ucapan Mba Lidya di telpon tadi. Aku tidak tahu bagaimana caranya aku dapat kembali memfokuskan pikiranku pada kontes besok pagi.

"Mel, ayo..!!!" Henry datang dan melongo ke dalam ruangan tempatku duduk.

Aku cukup terkejut karena pikiranku masih belum stabil sepenuhnya. Lantas aku segera bangkit dari posisiku sebelumnya dan melangkah kepada Henry dengan membopong tas yang tadi sedang ku pangku. Aku hanya terdiam selama berjalan beriringan dengannya menuju area parkir samping ruko. Hingga ketika kami naik ke atas motor, Henry baru mengomentari sikapku itu.

"Mel, kok diem aja? Tumben ngga bawel?"

"Ngga apa-apa Mas, aku lagi lelah aja.."

"Hmm.. Semangat dong! Besok pagi lho kontesnya."

Aku tidak menjawab ucapan Henry. Tapi, aku rasa aku harus segera menyampaikan pada Henry tentang hal yang tadi dikatakan oleh Mba Lidya di telpon.

"Mas, hari ini Mba Lidya ngga dateng ke kedai. Tapi dia telpon aku.."

"Terus?"

"Dia bilang besok dia ngga bisa dateng ke acara kontes barista karena.........."

"Kenapa Mel? Karena kenapa?"

"Besok hari terakhirnya di Jakarta."

"Maksudnya terakhir gimana?"

"Mba Lidya mau balik ke Pontianak. Hari Minggu."

Henry mendadak terdiam, aku tidak tahu dia telah mendengar jawabanku atau tidak. Tapi aku yakin dia telah mendengarnya dengan jelas, karena setelah aku mengatakannya, dia tidak menanggapinya lagi dengan kalimat ataupun pertanyaan. Kami saling terdiam hingga kami telah sampai di depan pagar rumahku.

"Aku langsung ya Mel. Semangat dong! Kamu pasti bisa. Besok siang aku susul."

"Iya, kabarin aja ya. Makasih sudah anter aku pulang."

"Sama-sama Amel.."

"Hati-hati ya di jalan."

"Iya, sudah sana kamu masuk! Aku tungguin."

Aku membuka pintu pagar sedikit, cukup seukuran tubuhku saja. Lalu melangkah terus ke dalam pekarangan rumah, serta melambaikan tangan pada Henry dari ujung teras. Aku melihatnya pergi meninggalkan rumahku. Aku tidak tahu kenapa dia mendadak jadi terdiam ketika aku mengatakan tentang kepergian Mba Lidya. Aku rasa, aku perlu mengirim pesan pada Henry sekarang juga.

"Mas, aku harap kamu bisa jujur sama perasaan kamu sendiri. Entah kenapa aku merasa kalau kamu juga masih sayang sama Mba Lidya. Kasih dia kesempatan. Penyesalannya selama ini sudah cukup membayar kesalahannya sama kamu. Jangan sampe kamu nyesel kalau ngga bisa ketemu dia lagi selamanya."

Aku tahu Henry masih dalam perjalanan pulang. Aku harap dia akan membalas pesanku nanti.

Aku dikejutkan oleh suara nyaring si Love bird. Sontak aku menghentikan langkah dan mendongak memandang ke arahnya. Dan terdengar suara pintu terbuka dari dalam.

"Bagus kan Mel? Mama taruh si Bella disitu. Tadi pagi papa baru sempat bikin gantungan kandangnya." Mama menunjuk ke arah si Love bird di atas kepalaku.

"Hah? Siapa namanya? Bella?"

"Iya, Mama kasih nama dia Bella."

"Hahaha kocak." aku pun berlalu meninggalkan mama sendirian di teras. Aku bergegas menuju kamar untuk segera mandi dan beristirahat. Setelah mandi aku lantas mengecek ponselku.

"Makasih ya Mel, kamu sudah perhatian sama aku. Aku akan pikirin baik-baik omongan kamu tadi."

Huh, akhirnya dia mau menanggapi ucapanku. Semoga aku tidak salah langkah karena sudah seharusnya aku membiarkan orang yang ku sayangi bahagia bersama wanita yang dicintainya. Aku harap Henry dapat benar-benar meluangkan waktu untuk memikirkan perasaannya sendiri dan perasaan Mba Lidya.

Bagian 12

Telah tiba waktunya kontes antar barista se-Jakarta Selatan dilaksanakan. Aku sudah berada di lokasi sekarang dan telah mendapat nomor antrian sembilan untuk registrasi ulang peserta kontes. Barusan aku juga telah memberitahukan lokasi persisnya pada Henry, agar siang nanti dia bisa langsung datang kesini. Saat ini aku hanya datang seorang diri, tadinya papa dan mama ingin mengantarkanku sekaligus menyaksikan kontes ini dari tribun penonton. Tapi jelas aku menolak mereka untuk ikut denganku, aku kan bukan anak kecil lagi. Akhirnya aku minta tolong diantarkan saja oleh Pak Iwan.

Oh iya hari ini aku mengenakan kemeja lengan panjang berwarna dasar merah dengan aksen kotak-kotak kecil berwarna putih, yang ku gulung lengannya hingga batas siku. Kemeja ini sangat nyaman ku kenakan dan sedap dipandang karena jatuhnya pas di tubuhku. Tidak kebesaran atau kekecilan. Untuk bawahnya, aku mengenakan jeans skinny warna biru tua yang model bagian bawahnya tampak seperti digulung, jatuh tepat di atas mati kaki. Sedang rambut hitam model bob sebahu ini, ku biarkan terselip di belakang kedua telingaku.

"Amel, pasti sudah di Kemang ya? Semangat ya!"

Aku membaca pesan dari Mba Lidya sambil membayangkan wajahnya yang sedang tersenyum lebar kepadaku.

"Saya sudah di lokasi Mba. Makasih atas semangatnya yaa.."

Baiklah, sekarang sudah waktunya aku fokus pada kontes ini. Tepat pukul delapan pagi, antrian untuk registrasi ulang peserta kontes dibuka. Giliranku maju menghampiri meja salah satu panitia. Karena aku mendapat nomor antrian ke sembilan, maka namaku masuk pada kontes sesi pertama dan akan mulai berkompetisi setelah kegiatan registrasi ulang peserta kontes resmi ditutup. Aku kembali menuju ke kursi tunggu peserta kontes setelah mendapat tanda registrasi ulang. Sambil menunggu waktu dimulainya kompetisi, aku duduk membuka ponsel dan membaca kembali artikel-artikel yang membahas tentang kopi.

Sesekali aku mendongak ke arah beberapa kelompok orang yang berdiri di tiap sisi-sisi ruang aula. Jarak antar kelompok itu rata-rata tidak jauh. Aku rasa, mereka calon penonton ataupun pendukung dari peserta kontes antar barista ini. Ketika memandang ke arah kiriku, aku sempat tidak yakin dengan apa yang ku lihat. Aku memastikannya sekali lagi, membuka mataku lebar-lebar. Lelaki bertubuh gemuk dengan kaus oblong hitam itu melambaikan tangan dan tersenyum padaku. Diikuti gerakan keempat orang di sampingnya yang juga melambaikan tangan mereka padaku.

Sekarang aku sudah yakin kalau yang berada disana adalah Dion, Faris, Mutia, Eka dan Rena. Dengan ekspresi setengah terkejut, aku membalas lambaian tangan mereka semua. Ponselku bergetar, tanda pesan masuk. Aku kembali menundukkan kepala membaca pesan yang baru saja ku terima. Ternyata Mutia yang mengirim pesan dari seberang sana.

"Nanti kita-kita nonton di kursi penonton ya Mel. Kita disuruh tutup kedai hari ini sama Mba Lidya, dia pasti tahu kalau sebetulnya kita-kita pingin lihat kamu disini."

"Wah.. Makasih yaa semuanya sudah mau repot-repot kesini."

Aku jadi merasa tidak enak pada Mba Lidya, dia mau merelakan satu hari ini menutup kedainya. Padahal ini kan hari Sabtu, biasanya kedai akan sangat ramai oleh para pelanggan.

Pukul sembilan lewat tiga puluh menit, dua puluh orang peserta kontes di sesi pertama dipersilahkan masuk ke dalam ruang kompetisi. Tampak para calon penonton juga telah mengisi tribun penonton sedikit demi sedikit. Aku berdiri di baris kedua dari depan dan baris kedua juga dari sebelah kiri jika dipandang oleh tim juri yang berjajar di hadapan kami.

Kedua puluh peserta kontes telah mengenakan celemek yang berwarna merah marun. Di hadapan kami masing-masing kini terdapat sebuah meja persegi yang di atasnya terdapat sebuah mangkuk berisi bubuk kopi hitam hasil gilingan, sebotol susu cair, shaker, dua buah cangkir kosong, milk jug, termos berisi air panas serta sebuah aeropress. Setelah kami mendapat pengarahan dari salah seorang panitia, kompetisi dimulai pukul sepuluh tepat.

Awalnya kami diminta untuk membuat salah satu dari tiga macam bentuk dasar latte art. Kami bebas memilih bentuknya, lantas aku sigap menentukan akan membuat bentuk tulip. Agar peserta tidak terburu-buru mengerjakannya maka kami diberi waktu dua puluh menit untuk menyelesaikannya pada bagian ini. Aku pun mulai berkonsentrasi mengerjakannya dengan tahapan yang sesuai standar.

Kini secangkir kopi latte berhiaskan toping berbentuk tulip telah tersaji di depan mataku. Dari bentuknya aku telah merasa puas, namun untuk rasa aku harap dapat diberi penilaian yang baik oleh tim juri. Setelah dua puluh menit, tim juri yang terdiri dari empat orang berkeliling ke meja kami masing-masing dan mencicipi hasil racikan kopi kami. Mereka tentu menilai dari segi kerapihan, bentuk, warna serta rasa seduhan kopi itu sendiri. Aku pun harus optimis.

Masuk bagian kedua, kami diminta membuat kembali salah satu bentuk 2d latte art bebas namun yang dapat dikerjakan hanya dalam waktu tujuh belas menit saja. Tanpa berpikir lagi aku langsung memutuskan akan membuat motif dua ekor angsa yang berhadapan. Setelah waktu yang ditentukan berakhir, kami para peserta kontes sesi pertama diminta meninggalkan ruang kompetisi. Tim juri akan menilainya kembali namun kali ini tidak di hadapan para peserta kontes.

Kami semua harus menunggu hingga seluruh sesi kompetisi selesai dilaksanakan dan pengumuman pemenang pada puncak acara. Nantinya yang menjadi juara satu, dua dan tiga akan mendapatkan hadiah uang tunai yang masing-masing nilainya berbeda.

Aku telah keluar dari ruang kompetisi, tampak Eka melambaikan tangannya padaku seraya memanggilku. Aku bergegas menghampiri sekelompok teman-teman kerjaku itu. Kami berniat makan siang bersama dan lantas melangkah menuju keluar aula untuk mencari tempat makan siang terdekat. Syukurlah, tidak butuh waktu lama kami telah menemukan sebuah kedai nasi rames yang tempatnya tampak bersih dari luar. Masih tersedia pula cukup tempat untuk kami.

Setelah memesan kami pun duduk bersama dalam satu meja. Aku membuka ponsel dan mengirim pesan pada Henry. Dia tidak membalas namun menelponku sepuluh menit kemudian. Dia meminta maaf karena baru bisa sampai disini sekitar pukul empat sore nanti. Dia tidak mengatakan alasannya dan aku juga tidak ingin bertanya apapun. Baiklah, tidak masalah. Toh aku sudah menyelesaikan kompetisiku dan tinggal menunggu hasil keputusan tim dewan juri.

Sambil menikmati makan siang kami berenam, kami pun sedikit berbincang.

"Ini bakalan sampe malem banget lho pengumumannya." ucapku.

"Ngga apa-apa Mel, santai.. Nanti kan sekalian anter kamu pulang." Rena menanggapi ucapanku.

"Eh.. Jangan.. Aku bisa minta jemput papa. Kalian kalau mau pulang duluan, sebelum pengumuman juga ngga apa-apa kok. Aku sudah makasih banget kalian mau nonton tadi."

"Yah ngga seru Mel, kan kita kepingin tahu hasilnya." jawab Faris.

"Iya santai aja lagi Mel, pulang pagi juga ngga apa-apa. Hahaha." timpal Dion.

"Iya Mel tenang aja, kita semua kan juga pingin tahu pemenangnya."

Yang lain hanya mengiyakan dan membenarkan ucapan dari mulut Eka itu. Aku sampai tidak bisa mengatakan apa-apa lagi. Terserah mereka saja lah, aku hanya tidak ingin merepotkan mereka lagi. Aku sih senang-senang saja kalau mereka mau menemaniku disini hingga malam pengumuman nanti.

Seusai makan siang bersama, kami kembali ke dalam aula. Kami ikut masuk kembali ke dalam ruang kompetisi untuk menyaksikan sesi-sesi yang selanjutnya. Mungkin tidak semua peserta kontes pada sesi pertama ikut duduk di tribun penonton, karena masih cukup banyak kursi penonton yang tidak terisi.

Satu jam kemudian setelah sesi kedua berakhir, kami kompak memutuskan untuk tidak menyaksikan dua sesi berikutnya. Kami duduk santai di koridor samping aula. Terlihat banyak orang yang juga sedang duduk dan bercengkrama di sana. Ada yang duduk di atas kursi permanen, namun ada juga yang asyik duduk di lantai. Riuh suara orang mengobrol diselingi canda tawa membuat suasana koridor tampak hidup. Kami bercengkrama pula ditemani sepoi-sepoi angin sore yang membuat rambut kami tersibak.

Henry menelponku, katanya dia sudah tiba di area kontes dan sekarang sedang memarkirkan motornya tidak jauh dari gedung aula. Aku mengarahkan padanya agar dia menghampiri kami di koridor samping aula. Beberapa menit kemudian dia pun telah hadir di hadapan kami. Sontak teman-temanku langsung menggodai kami ketika Henry berancang-ancang untuk ikut duduk bersama kami.

"Situ tuh sama Amel, pangku. Hahaha.." Faris tetap jadi orang pertama yang selalu menggoda kami. Yang lainnya malah mendukung, "Ciye, ciye.." Aku jadi malu pada Henry, kenapa jadi terkesan aku yang kesenangan karena kehadirannya disini. Sudahlah.. Mulutku hanya diam, namun tubuhku bergeser ke kanan untuk memberi tempat duduk padanya.

Sekarang kami semua hampir membentuk lingkaran, kompak duduk di lantai. Aku, Henry dan Eka bersandar pada dinding koridor, sedang yang lainnya duduk dengan posisi semau mereka masing-masing.

Kami menghabiskan waktu bersama di koridor ini hingga langit perlahan menjadi gelap. Rena dan Mutia sempat keluar membeli jajanan untuk kami. Menunggu pengumuman selama itu, tidak asyik rasanya kalau tidak sambil ngemil dan minum.

Ternyata Mba Lidya juga telah mengabari satu per satu personil kedai kami tentang kepergiannya besok. Mereka membahasnya di depanku dan Henry. Namun aku hanya tersenyum mengangguk menandakan bahwa aku juga sudah mengetahuinya. Sedang Henry hanya diam, tidak berkomentar apapun. Menurut info yang mereka dapat, Mba Lidya akan berangkat dari rumahnya besok pukul sebelas siang.

Seharian tadi cuaca cukup bersahabat, tidak gerimis ataupun hujan. Matahari juga bersinar tidak terlalu menyengat kulit. Tanpa terasa, kini telah pukul setengah sembilan malam. Tim panitia kontes antar barista mengumumkan dengan pengeras suara agar seluruh peserta kontes dan pengunjung yang masih berada di area kontes segera berkumpul di lapangan utama gedung, dimana nama-nama para pemenangnya akan segera diumumkan.

Serempak rombongan kami bangkit dari koridor samping aula dan melangkah bersama menuju lapangan utama. Tampaknya para pendukung peserta kontes sudah cukup banyak yang pergi meninggalkan area sejak tadi. Meski orang-orang yang berkumpul sekarang di lapangan masih cukup banyak, namun siang tadi tampaknya pendukung yang hadir masih lebih banyak ketimbang sekarang.

Rombongan kami berhenti di baris ketiga dari depan. Tidak terlalu jauh untuk dapat melihat dengan jelas wajah perwakilan tim panitia serta tim dewan juri di atas panggung. Pengumuman dimulai dari juara harapan tiga, dua dan juara harapan satu. Namun namaku tidak disebutkan dari ketiga nama tersebut. Lalu masuk ke pengumuman juara ke tiga. Suasana tampak semakin menegangkan, semua penasaran berharap-harap cemas.

Akhirnya aku mendengar dengan jelas nama Jovanka Amelia disebutkan agar naik ke atas panggung untuk menerima hadiah juara ke tiga. Wah.. Aku, Henry dan personil kedai kopi Rindu yang lain turut terkejut mendengar namaku disebutkan oleh perwakilan tim juri. Aku tercengang beberapa saat menutup setengah wajahku dengan kedua telapak tangan, Dion menyenggol lengan kiriku agar aku segera naik ke atas panggung.

Syukurlah aku masuk dalam jajaran pemenang, meski berada di posisi ketiga setidaknya aku telah berusaha melakukan yang terbaik. Bisa meraih posisi ke tiga dari delapan puluh orang peserta kontes tentu bukanlah hal yang mudah dilalui. Di atas panggung ini aku menerima hadiah secara simbolis dari tangan perwakilan tim juri. Serta menyambut dengan sangat baik salam ucapan selamat dari beberapa orang panitia serta dua orang juri.

Aku baru bisa turun dari atas panggung setelah juara kedua dan pertama diumumkan. Aku kembali ke tengah-tengah rombonganku dan tentunya menerima ucapan selamat dari mereka. Henry mengusap-usap lembut kepalaku seraya tersenyum mengucapkan selamat untukku. Aku cukup senang karena aku tidak mengecewakan para pendukungku hari ini. Mereka tampang girang menyaksikanku naik ke atas panggung tadi.

Rombongan kami berpencar di pintu area parkir motor. Personil kedai lainnya menuju motor mereka masing-masing yang diparkir berdekatan. Sedangkan Henry menculik diriku untuk ikut pulang bersamanya. Karena parkiran motor masih cukup padat, aku memutuskan untuk menunggu Henry di dekat pintu keluar parkir. Agar Henry leluasa menggiring motornya keluar dari area parkir. Sedangkan aku memanfaatkan waktu itu untuk menelpon Mba Lidya.

"Halo Mba, maaf ya ganggu.."

"Iya Mel gimana kontesnya?"

"Iya, mau ngabarin. Saya juara ketiga Mba. Ini sudah di parkiran mau pulang."

"Wah.. Syukurlah.. Saya senang banget dengernya. Selamat ya Mel. Ngga salah deh Saya nunjuk kamu."

"Mba, maaf segini dulu ya. Ojek Saya sudah dateng."

"Oke deh Mel, hati-hati pulangnya ya.."

Huh, aku spontan mengatakan akan pulang naik ojek ketika melihat kemunculan motor Henry yang tengah melaju lambat menghampiri tempatku berdiri. Lantas kami beranjak pergi meninggalkan area kontes itu. Henry memacukan motornya dengan kecepatan yang cukup tinggi, mengingat malam telah larut. Hingga tanpa terasa kami telah sampai di depan pagar rumahku.

Seperti biasanya, Henry baru mau pergi setelah memastikan aku telah masuk ke dalam rumah dengan selamat. Kali ini aku menurutinya, aku tidak berhenti di ujung teras dan melambaikan tangan padanya lagi. Aku langsung naik ke teras, mengetuk pintu dan melangkah masuk setelah papa membukakan pintu untukku. Malam ini aku tidak melihat kepergiannya.

Namun tadi ketika aku turun dari atas motornya, Henry memberikan ucapan selamat sekali lagi atas keberhasilanku malam ini mendapatkan gelar juara tiga. Henry juga mencium pipi kananku secara tiba-tiba. Dia bilang besok pagi dia akan kembali ke rumahku karena sebetulnya dia masih ingin mengobrol denganku namun untuk hari ini, waktu kami telah habis.

Keesokan paginya, aku bangun tidur tanpa dibangunkan oleh suara alarm. Nyaringnya suara Bella kini sudah cukup untuk membangunkan tidurku. Semalam aku tidur hampir pagi karena membahas acara kontes kemarin bersama papa dan mama. Tidak hanya itu, aku juga bercerita pada mereka bahwa Mba Lidya akan pulang ke kota asalnya dan tidak tahu apakah nanti dia akan kembali lagi.

Minggu pagi yang tampak sejuk, pukul tujuh lewat dua puluh menit. Aku membuka jendela kamarku, membebaskan sejuknya aroma pagi menyelinap masuk ke setiap celah sudut dalam ruang kamarku. Aku beranjak keluar meninggalkan kamar, membawa serta ponsel di tanganku.

Aku tidak pergi ke dapur kali ini, melainkan langsung menuju ke teras. Sayup-sayup suara papa dan mama mengobrol beradu dengan nyaringnya suara Bella. Aku telah sampai di ujung pintu, menghentikan langkah dan berdiri membentuk sudut empat puluh lima derajat menatap ke arah Bella.

"Heh Bella! Berisik kau ya. Ayo diam, diam..!"

Mama malah menertawai tingkahku, "Mana mau dia nurut sama kamu."

Papa sedang merapikan potongan-potongan rumput di pekarangan rumah kami yang ukurannya sudah mulai tidak seragam lagi. Aku duduk di kursi rotan dekat Mama.

"Sudah ngga usah kerja, libur aja hari ini!" ucap mama bercanda.

"Hahaha.. Kalau libur sekarang mau ngapain Ma?"

"Ya kemana kek kita jalan sama papa."

"Mama sama papa nanti anterin aku aja ke kedai, terus habis itu mama sama papa jalan-jalan berduaan. Nonton bioskop kek, layar tancep kek."

"Pa, denger ngga tuh anaknya bilang apa?"

"Hmm.. Iya. Gampang atur aja.." jawab papa yang masih sibuk mengurusi rumput dan tanamannya.

Motor kawasaki ninja yang berhenti tepat di depan pagar rumah kami telah menarik perhatian kami. Aku, papa dan mama menoleh serentak ke satu arah yang sama. Hmm.. Dia benar-benar datang pagi ini. Apa kemarin saat di koridor aula kontes aku mengatakan padanya kalau hari ini aku masuk kerja siang? Ah.. Entahlah.. Aku lupa.

Baru jam berapa sekarang? Aku baru berapa menit duduk disini, belum minum apa-apa sejak bangun tidur, mandi pun belum. Ku lihat Henry telah turun dari atas motornya, dia membawa serta helm dalam pelukannya. Rambut poninya dibiarkan acak-acakan. Dia masih mengenakan jaket hitam seraya melangkah menghampiri kami.

Dia menyapa serta mencium tangan papa dan mama. Aku lantas mempersilahkannya untuk duduk dulu. Aku dan mama masuk ke dalam rumah, kami membiarkan papa menemani Henry mengobrol. Mama berhenti di ruang televisi, beliau duduk selonjoran di atas karpet kemudian menyalakan televisi. Sedangkan aku lanjut ke dapur membuatkan tiga cangkir teh manis hangat.

Aku kembali ke teras membawa sebuah nampan berisi tiga cangkir teh dan setoples kue kuping gajah. Nampan itu lantas ku letakkan di atas meja bundar. Haduh.. Si Bella ini rewel sekali, apa tidak bisa diam dulu sebentar?! Cicit cuit tidak karuan saja dari tadi.

"Itu teh tiga gelas buat siapa Mel?" tanya papa seraya memandangi nampan yang kini telah tergeletak di sampingnya.

"Buat Henry, aku sama papa juga."

"Oh, papa bawa deh ke dalem. Kamu ngobrol situ berdua." seraya bangkit dari kursinya dengan membopong secangkir teh manis hangat buatanku. "Om masuk dulu ya Hen, mau mandi dulu."

"Iya om.." seraya mengangguk tersenyum mengiyakan ucapan papa padanya.

Aku duduk di kursi rotan yang sebelumnya diduduki oleh papa. Aku belum mengatakan apapun sejak tadi pada Henry. Namun perhatianku tercuri pada warna kaus berkerah yang kini dikenakan Henry. Aku memandanginya, dia ada di sebelah kiriku, masih duduk di bangku yang satunya. Tadi waktu dia datang, jaketnya masih tertutup rapat. Sekarang aku dapat melihat dia mengenakan kaus berkerah, lengan pendek dan berwarna pink. Sebelumnya aku merasa aneh jika melihat lelaki mengenakan pakaian berwarna pink. Tapi, kenapa Henry malah terlihat bagus mengenakan pakaian warna itu? Hmm.. Mungkin karena kulitnya yang putih. Iya, kulitnya lebih putih dari kulitku. Dia tampak cocok dan pantas mengenakan pakaian warna apapun.

"Belum mandi ya Mel?" aku terkejut saat diajaknya bicara karena aku masih memandangi kaus yang dikenakannya itu.

"Hah? Belum.." aku menggeleng dan sedikit tersenyum. "Diminum dulu yuk tehnya, tadi aku belum sempat minum anget pagi-pagi." seraya aku mengangkat cangkir teh yang akan ku minum. Henry tersenyum dan mengikutiku meminum teh manis miliknya.

"Mel, maaf ya pagi-pagi aku sudah kesini, ganggu waktu kamu sama papa mama."

"Oh, ngga apa-apa Mas."

"Dua hari ini aku sudah memikirkan baik-baik semua kata-kata kamu soal Lidya."

Aku benar-benar tidak menyangka bahwa akhirnya Henry membahas soal ini. Aku berusaha tetap terlihat tenang di depannya, aku harus bisa menyembunyikan kekagetanku.

"Terus gimana menurut kamu?"

"Tapi kamu tahu kan Mel? Kalau aku sayang sama kamu. Sedangkan aku sudah berusaha selama ini, tapi kamu tetap cuma bisa anggap aku sebagai teman dekat kamu."

"Hmm.. Aku tahu kok kamu sayang sama aku. Aku minta maaf kalau aku sudah terlalu banyak bikin kamu kecewa."

"Ngga Mel, kamu ngga salah. Aku rasa, kamu betul juga, ngga ada salahnya aku kasih kesempatan buat Lidya."

Huh, kenapa tiba-tiba jantungku rasanya mau copot. Tubuhku mendadak kaku. Kenapa aku mulai merasakan ada setitik genangan air di pelupuk mataku. Aku harus menahan air mata ini, jangan sampai Henry melihatnya.

"Ya sudah, kalau gitu kamu tunggu apa lagi? Nanti dari sini, kamu langsung ke rumah Mba Lidya aja." aku berusaha sekuat tenaga untuk tersenyum lebar seraya menoleh kepadanya.

"Iya Mel.. Sebelum dia pergi, aku pasti akan temui dia."

Aku harap aku bisa menguasai diriku sepenuhnya saat ini. Akhirnya hari itu tiba, dimana aku harus kehilangan ceritaku bersama Henry untuk kesekian kalinya. Mungkin kali ini benar-benar akan kehilangan dirinya. Dan merelakannya untuk orang lain.

Kami tidak berbincang-bincang lagi setelah itu. Dia hanya menghabiskan minumannya. Aku mengajak Henry masuk ke dalam ketika dia mengatakan hendak pamit pada papa dan mamaku. Aku mengerti, dia sedang mengejar waktu. Dia harus sampai di rumah Mba Lidya sebelum pukul sebelas siang. Lantas Henry bergegas pergi setelah berpamitan dengan papa dan mama ku. Aku mengantarkannya hingga ke pintu pagar rumahku.

"Hati-hati ya Mas. Masih keburu kok, ngga usah ngebut ya."

"Iya, makasih banyak ya Mel.."

"Iya, sama-sama." aku tetap tersenyum di hadapannya.

Aku melepas kepergiannya dengan lambaian tangan yang mungkin terlihat tampak sederhana namun mengandung arti yang mendalam bagiku. Mungkin itu lambaian perpisahan untuk selamanya dariku. Aku melihatnya dari belakang, berlalu pergi dari hidupku. Aku terdiam sesaat, mengatur mimik wajah untuk kembali masuk ke dalam rumah. Jangan sampai papa dan mama tahu kalau saat ini hatiku sangat hancur.

Aku telah kembali ke dalam rumah dan segera bersiap-siap untuk melanjutkan pekerjaanku di kedai hari ini.

"Papa, jadi anter aku kerja ngga?" tanyaku menghibur diri seolah tadi tidak terjadi apa-apa.

"Iya, boleh. Kirain tadi mau dianter Henry."

"Ngga pa, dia masih ada urusan."

Aku bersama papa dan mama kini sudah berada di dalam mobil. Naik si Dul menuju kedai kopi Rindu. Hmm.. Siang ini sudah cukup terik diluar, kami hanya bercakap-cakap singkat selama dalam perjalanan yang cukup lengang. Kami telah melewati ruko kedai, namun papa akan memutar arah di depan sana. Tadinya papa mau mengantarku sampai di depan pintu kedai, tapi aku menolaknya.

"Sudah, di sini aja." aku mengatakannya saat si Dul berhenti perlahan-lahan tepat di depan pos satpam ruko. Aku pun berpamitan pada mereka dan beranjak turun dari mobil. Aku harap hari ini jadi hari yang menyenangkan untuk orang tuaku dan juga untuk Henry dan Mba Lidya.

Aku menghela nafas, melangkah menuju pintu samping kedai. Tampak dari luar, kedai sudah cukup ramai oleh para pelanggan. Aku tidak tahu apa yang terjadi hari ini pada Henry dan Mba Lidya, namun alangkah lebih baik jika aku tidak mengetahui apa-apa lagi tentang mereka. Saat ini aku hanya perlu fokus pada pekerjaanku dan berusaha menyembunyikan kesedihan yang mendalam dari raut wajah ini.

Beberapa jam telah berlalu, aku kurang tertarik menceritakan sisa hari ini. Namun sudah selarut ini aku belum dapat memejamkan kedua mataku. Lantas aku menyalakan laptop dan berselancar di dunia maya, membaca banyak informasi, apa saja yang menarik untukku baca. Hingga akhirnya aku ketiduran, mungkin sekitar pukul setengah satu dini hari.

Esok paginya, di hari Senin pagi. Aku sangat benci kebagian shift pagi di hari Senin. Ditambah lagi situasi hatiku yang belum sepenuhnya membaik. Beruntung aku belum terkena macet parah pagi ini. Namun ketika aku sedang melangkah dari depan pos satpam ruko menuju kedai, tampak mobil Mba Lidya telah terparkir di area depan ruko sebelum ada mobil-mobil lain di sekitarnya.

Lalu aku masuk ke dalam kedai melalui pintu samping. Pintunya sudah terbuka begitu aku mencoba menarik tuasnya. Berarti memang sudah dibuka oleh Mutia atau oleh Mba Lidya sendiri. Lantas setelah sampai di ruang belakang kedai, aku langsung beraktivitas seperti biasanya.

"Mel.." suara Mba Lidya terdengar menyapaku. Dia hadir dari arah depan melangkahkan kaki ke ruang belakang menghampiriku. Aku sedikit terkejut, sambil memasang celemek hijau di tubuhku, aku menjawab sapaannya.

"Iya Mba." aku mendongak memandang kehadirannya.

"Kemarin Henry ke rumah Saya. Hmm.. Makasih ya Mel."

"Kok makasih Mba? Maksudnya?"

"Berkat semua ucapan kamu, Henry mau ngasih Saya kesempatan. Dia sudah cerita semuanya."

"Oh.. Iya Mba. Oke. Sekarang Saya bisa lanjut kerja?"

"Oh, iya Mel. Boleh.. Silahkan."

"Maaf ya Mba." aku berlalu seraya membungkukkan sedikit punggungku untuk lewat di hadapannya yang sedang berdiri.

Jujur aku telah kehilangan semangat berada di tempat ini. Aku ingin pergi sejauh mungkin, membuang segala rasa sakit ini sekarang juga. Aku tahu ini memang keputusanku sendiri untuk tidak pernah menerima Henry dan lantas merelakannya kembali pada Mba Lidya. Aku juga sangat tahu kalau Mba Lidya memang masih sangat mencintai Henry. Namun ternyata kenyataan tidak semudah yang ku bayangkan. Meski merelakan, namun hati kecil tak sanggup untuk berbohong, tak sanggup untuk mengatakan bahwa ini tidak terasa sakit. Sampai kapan aku sanggup bersembunyi di balik topeng senyumanku?!

Satu minggu telah berlalu sejak Mba Lidya mengucapkan terima kasih padaku di hari Senin pagi itu. Henry sama sekali tidak pernah muncul kembali di kedai kami. Lantas untuk apa lagi aku bertanya-tanya sendiri tentang dirinya. Yang aku tahu kini dia telah menjadi milik Mba Lidya lagi.

Sore ini begitu tenang, sedang jiwaku terasa sangat hampa. Saat ini aku sedang berada di balkon atas lantai dua. Di samping ruang kerja Mba Lidya. Aku berdiri menghadap area parkir samping kedai. Di balik beberapa batang pepohonan. Sangat jarang aku berada di atas sini. Kini ketika Mba Lidya telah pulang dari kedai, aku naik ke atas sini dan menikmati sepoi angin sore seorang diri. Sudah waktunya aku juga pulang, namun aku memilih menikmati semilir angin sore dulu di atas kedai ini. Oh, ponselku berdering.

"Selamat sore, dengan saudari Jovanka Amelia?" terdengar suara seorang wanita dari kejauhan menyapaku lewat telpon.

"Oh iya. Maaf dari mana ini?"

"Saya Vero dari Universitas Negeri Malang. Maaf sebelumnya, Mba Jovanka merasa pernah mengisi formulir online di website kami?"

"Ah.. Iya Mba, kira-kira seminggu yang lalu."

"Nah, kali ini Mba Jovanka sangat beruntung. Karena tim seleksi mahasiswa baru kami telah memilih Mba Jovanka sebagai calon mahasiswa jurusan tata boga yang berhak menerima beasiswa penuh selama dua semester pertama dan nantinya akan ada beasiswa lagi jika prestasi Mba Jovanka baik selama dua semester pertama."

"Oh, tidak ada masalah Mba dengan formulir yang Saya isi?"

"Tidak Mba. Dari segi usia dan background pendidikan serta nilai akademik selama di SMK, memang Mba Jovanka berhak mendapat kesempatan ini."

"Untuk selanjutnya gimana Mba?"

"Jika Mba Jovanka masih berminat melanjutkan kuliahnya, Mba Jovanka cukup mengisi form registrasi pendaftaran ulang secara online yang akan Saya kirim lewat email. Kami juga akan mengirimkan tata cara atau langkah selanjutnya. Nanti tinggal diikuti saja petunjuknya."

"Oke Mba Vero, silahkan dikirim aja formnya ke email Saya. Saya akan ikutin petunjuknya."

"Baik kalau begitu Mba, maksimal dalam dua puluh empat jam Mba Jovanka akan menerima email dari kami. Terima kasih atas waktunya Mba, selamat sore."

"Oh iya Mba, terima kasih ya. Selamat sore."

Aku beranjak pergi dari tempat ini, menuruni satu per satu anak tangga yang menuju ke lantai satu, pojok ruang kedai. Aku ingin segera menyampaikan berita ini pada mama dan papa. Aku rasa, sekalipun nanti di semester berikutnya aku tidak mendapat beasiswa lagi, aku masih dapat menggunakan tabunganku untuk biaya kuliah, aku juga bisa bekerja paruh waktu sehingga aku dapat hidup mandiri di Malang, Jawa Timur.

Semalam aku telah menyampaikan perihal beasiswa yang ku terima itu kepada mama dan papa. Mereka benar-benar terkejut. Aku katakan bahwa seminggu yang lalu aku hanya iseng saja mengisi formulir beasiswa di website UNM, karena malam itu aku tidak bisa tidur maka aku membaca apapun dari internet. Hingga akhirnya aku menemukan informasi beasiswa itu. Awalnya mama dan papa merasa sedih jika aku harus jauh dari mereka, namun mereka juga sangat memahami bahwa kesempatan mungkin tidak tentu akan datang lagi padaku. Kini mereka telah setuju jika aku melanjutkan kuliah disana.

Panitia pendaftaran mahasiswa baru jalur beasiswa juga telah mengirimkan form pendaftaran ulang untuk segera ku isi. Malam tadi juga aku langsung mengisi form itu dengan selengkap-lengkapnya di hadapan mama dan papa. Mereka mendampingiku duduk di sisi kiri dan kananku, sama-sama memandang ke arah laptop.

Keputusanku sudah bulat, hari ini aku akan menyampaikan surat pengunduran diriku pada Mba Lidya. Setelah menunggu kehadirannya sejak pagi, akhirnya aku bisa bertemu dengan Mba Lidya seusai pukul satu siang. Dengan membawa sebuah amplop putih panjang, aku menghampirinya ke lantai dua. Aku pun langsung mengetuk pintunya.

"Masuk..!"

"Permisi Mba.." aku memunculkan setengah tubuhku ke dalam ruangannya.

"Eh Amel, masuk.. Duduk dulu. Ada apa Mel?"

"Mba, maaf sebelumnya.. Ini...." seraya ku serahkan amplop putih panjang itu ke atas mejanya. Dia pun segera meraih dan membukanya. Aku melanjutkan kalimatku sebelumnya, "Surat pengunduran diri Saya."

Mba Lidya urung membuka lipatan kertas yang sebelumnya berada di dalam amplop putih itu.

"Kenapa mendadak Mel?" nada suaranya tidak tinggi, tapi tampaknya dia kecewa.

"Saya juga mendadak menerima beasiswa untuk melanjutkan kuliah Saya."

"Maksud Saya kenapa tiba-tiba kamu bisa dapat beasiswa itu?"

"Awalnya Saya cuma iseng untuk isi formulir online beasiswa itu, Saya pikir umur Saya sudah mentok ngga bisa masuk kriteria, Saya juga ngga nyangka kalau ternyata mereka malah menghubungi Saya balik."

Mba Lidya tidak dapat berkata apa-apa lagi setelah mendengar penjelasanku. Tampaknya dia sangat kecewa namun dia tetap memaksakan diri untuk tersenyum padaku.

Aku menjabat tangannya, mengucapkan maaf serta banyak terima kasih padanya. Aku tahu perbuatanku ini salah, mungkin aku kurang bertanggung jawab dengan cara mengakhiri pekerjaanku secepat ini. Tanpa memberinya kesempatan mencari penggantiku. Namun aku juga dikejar waktu. Maksimal minggu depan aku harus berangkat ke Malang.

Aku telah sampai di ambang pintu ruangan Mba Lidya. Dia memanggilku kembali.

"Amel, tunggu..!" tidak ku sangka dirinya menghampiriku dan meraih tubuhku dengan kedua tangannya. Mba Lidya memelukku, cukup erat. Dalam pelukan itu dia mengucapkan kata yang tidak jauh beda denganku tadi. Maaf dan terima kasih. Namun maafnya terlontar karena dirinya merasa bersalah telah membuatku tidak pernah menerima Henry sebagai kekasihku. Dan terima kasihnya karena telah mengembalikan Henry ke dalam hidupnya saat ini.

Aku hanya dapat tersenyum dan perlahan melepaskan kedua tangan Mba Lidya yang melingkar di kedua bahuku. Aku tidak sanggup lagi menahan air mata ini. Kini kami sama-sama menangis. Namun aku memilih untuk segera turun mengakhiri semua ini.

Sampai di bawah, di lantai satu meja barista. Tampak Dion, Faris, Mutia, Eka dan Rena, semua telah berkumpul di mejaku. Ini masih pukul dua siang, tapi kenapa pengunjung kedai tidak terlihat satu pun. Tumben sekali. Sebelum aku menemui Mba Lidya tadi, aku masih melayani dua orang pelanggan.

Semalam aku memang sudah menghubungi semua personil kedai perihal aku yang mendapatkan beasiswa dan hari ini adalah hari terakhirku di kedai. Tidak heran jika saat ini mereka telah berkumpul di mejaku. Ah.. Aku benci situasi seperti ini. Aku membenci perpisahan. Ya, lagi-lagi aku terpaksa harus menghadapi perpisahan. Satu per satu rekan-rekan terbaikku di kedai ini menyalamiku, yang perempuan semuanya memelukku begitu erat. Aku benci melihat semuanya menangis karena aku. Aku sama sekali tidak mengharapkan semua berakhir secepat ini.

Takdirku berkata lain, Tuhan menggiringku pergi dari tempat ini untuk membantuku menyembuhkan luka dalam jiwaku. Tiba saatnya aku harus pergi selamanya dari tempat ini. Hanya tersisa kenangan tentangku disini. Dari Amel yang begitu polos dan bodoh menjadi Amel yang telah cukup dewasa dalam menyikapi kenyataan hidup.

Dua minggu berlalu sejak aku meninggalkan kedai kopi Rindu untuk selamanya. Siang ini aku sedang duduk di bawah pohon rindang bersama dua orang sahabat baruku, Mia dan Farah. Kami bertiga kuliah di jurusan yang sama serta kelas yang sama. Namun usiaku memang sedikit lebih tua dibanding usia mereka. Kami sedang menunggu pembagian kartu mahasiswa disini. Dering ponselku memecah canda tawa kami. Hmm.. Ternyata ada satu pesan masuk. Mba Lidya. Lantas aku membacanya.

"Amel, apa kabar? Dua minggu lagi Saya dan Henry akan menikah. Saya harap kamu bisa hadir sebagai tamu spesial kami. Maaf Amel, Saya juga mohon doa dari kamu."

Aku bingung harus membalas apa. Dua minggu lagi mungkin aku sudah mulai aktif beraktivitas sesuai jadwal kuliah yang telah dibagikan. Beberapa jam kemudian aku baru membalas pesan Mba Lidya tadi.

"Kabar Saya baik Mba. Maaf kelihatannya Saya ngga bisa kembali ke Jakarta dalam waktu dekat ini. Saya sudah mulai aktif di dua minggu mendatang. Doa Saya akan selalu menyertai Mba Lidya dan Henry."

Aku rasa, begitu saja sudah cukup untuk menanggapi pesan dari Mba Lidya. Aku hanya dapat membayangkan Henry yang pasti tampak semakin tampan dalam balutan jas pengantinnya kelak. Dan senyuman itu yang selalu ku sukai darinya. Senyuman yang tidak dimiliki oleh lelaki mana pun. Aku ingin senyuman itu selalu ada, meski senyum itu bukan tercipta karena diriku, melainkan tercipta karena wanita lain.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun