Empat puluh menit setelah kedai dibuka, kami kedatangan pelanggan pertama. Seorang wanita berkerudung hitam yang tampaknya berusia sebaya dengan mamaku, beliau memakai setelan blazer kotak-kotak hijau dengan rok panjang. Berhubung aku sangat senang karena sudah sehat kembali, untuk pelanggan pertama kami ini aku melukiskan latte art berbentuk hati di atas secangkir kopi moka yang dipesannya. Beliau tersenyum ramah ketika aku menyerahkan cangkir itu padanya.
Ku lihat beliau sempat memandangi bentuknya, namun dia hanya tersenyum simpul seraya mengucap terima kasih padaku.
Baru saja wanita itu berlalu dari hadapanku, hadirlah sosok Henry dari balik pintu depan. Dia tersenyum-senyum sambil berjalan, hendak menghampiriku.
"Senyam-senyum.. Lagi seneng?"
"Seneng dong lihat kamu sehat, bisa bikin kopi lagi."
"Kamu tahu ngga Mas? Kamu sempet-sempetnya kesini jam segini sudah ibarat asistennya Mba Lidya."
"Kok gitu?" tanya Henry heran sembari mengerutkan dahinya.
"Ya kamu tuh ngecek hari ini aku masuk atau ngga." aku menjawab pertanyaannya dengan wajah sedikit cemberut. Sedangkan dia malah tertawa menanggapiku.
"Aku mau kopi dingin. Pake gelas plastik aja."
"Moka?"
"Latte. Kopi latte. Kesukaan kamu." nada bicaranya memang sangat mengesalkan, tapi terkadang aku juga merindukan tingkahnya itu.