Aku heran kenapa dia bisa seyakin itu kalau aku lembur. Dia sama sekali tidak memastikannya padaku dulu. Hmm.. Aku yakin, pasti ada yang membocorkan informasi padanya.
"Oh iya Mas, hari Sabtu ini aku mau ikut kompetisi barista se-Jaksel."
"Serius Mel? Dimana? Kamu daftar sendiri?"
"Di Kemang, dari jam delapan pagi. Pengumumannya hari itu juga, bakalan sampe malem tuh. Mba Lidya yang daftarin."
"Agak mendadak juga ya?"
"Hmm.. Mba Lidya baru dapet infonya hari Senin terus buru-buru daftarin aku."
"Hebat lho kamu bisa ditunjuk. Bisanya pilihan dia tuh......" Henry menggantungkan kalimat yang diucapkannya. Aku yakin dia baru sadar kalau dia hampir keceplosan ingin berkomentar layaknya orang yang sangat memahami sifat Mba Lidya.
"Kenapa pilihan dia? Kok diem?"
"Ngga, Mel. Ngga apa-apa. Sayang ya hari Sabtu pagi aku ngga bisa anter kamu, padahal aku pingin lihat. Pulang kerja deh jam dua belas aku susul kamu ya kesana."
Henry malah mengalihkan pembicaraan dan menutup begitu saja kalimatnya yang masih menggantung tadi. Malam ini jalanan dari kedai menuju rumahku tidak terlalu macet. Kepadatan kendaraan dapat dengan cepat terurai. Henry dapat leluasa memacukan roda motornya, tidak selalu berjalan di sebelah kiri. Akhirnya kami telah sampai di depan pagar rumahku. Dia langsung pamit untuk pulang setelah menurunkanku. Namun dia masih menunggu sampai kedua matanya melihatku benar-benar masuk ke dalam rumah.
Aku melambaikan tangan padanya ketika aku sampai di ujung teras. Dengan lambaian tangan yang berbeda aku juga memberinya kode untuk segera pergi. Sudah cukup malam, dan dia masih harus menempuh perjalanan pulang ke rumahnya. Aku harap dia masih punya waktu bersantai sebentar di rumahnya sebelum beristirahat dan tidur.