"Kok makasih Mba? Maksudnya?"
"Berkat semua ucapan kamu, Henry mau ngasih Saya kesempatan. Dia sudah cerita semuanya."
"Oh.. Iya Mba. Oke. Sekarang Saya bisa lanjut kerja?"
"Oh, iya Mel. Boleh.. Silahkan."
"Maaf ya Mba." aku berlalu seraya membungkukkan sedikit punggungku untuk lewat di hadapannya yang sedang berdiri.
Jujur aku telah kehilangan semangat berada di tempat ini. Aku ingin pergi sejauh mungkin, membuang segala rasa sakit ini sekarang juga. Aku tahu ini memang keputusanku sendiri untuk tidak pernah menerima Henry dan lantas merelakannya kembali pada Mba Lidya. Aku juga sangat tahu kalau Mba Lidya memang masih sangat mencintai Henry. Namun ternyata kenyataan tidak semudah yang ku bayangkan. Meski merelakan, namun hati kecil tak sanggup untuk berbohong, tak sanggup untuk mengatakan bahwa ini tidak terasa sakit. Sampai kapan aku sanggup bersembunyi di balik topeng senyumanku?!
Satu minggu telah berlalu sejak Mba Lidya mengucapkan terima kasih padaku di hari Senin pagi itu. Henry sama sekali tidak pernah muncul kembali di kedai kami. Lantas untuk apa lagi aku bertanya-tanya sendiri tentang dirinya. Yang aku tahu kini dia telah menjadi milik Mba Lidya lagi.
Sore ini begitu tenang, sedang jiwaku terasa sangat hampa. Saat ini aku sedang berada di balkon atas lantai dua. Di samping ruang kerja Mba Lidya. Aku berdiri menghadap area parkir samping kedai. Di balik beberapa batang pepohonan. Sangat jarang aku berada di atas sini. Kini ketika Mba Lidya telah pulang dari kedai, aku naik ke atas sini dan menikmati sepoi angin sore seorang diri. Sudah waktunya aku juga pulang, namun aku memilih menikmati semilir angin sore dulu di atas kedai ini. Oh, ponselku berdering.
"Selamat sore, dengan saudari Jovanka Amelia?" terdengar suara seorang wanita dari kejauhan menyapaku lewat telpon.
"Oh iya. Maaf dari mana ini?"
"Saya Vero dari Universitas Negeri Malang. Maaf sebelumnya, Mba Jovanka merasa pernah mengisi formulir online di website kami?"