Mohon tunggu...
Novia Respati
Novia Respati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wirausaha

Senang menulis dan memasak 😊

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Gadis Barista (Bagian 11 - Selesai)

2 Januari 2024   08:46 Diperbarui: 2 Januari 2024   09:02 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Mba Lidya tidak dapat berkata apa-apa lagi setelah mendengar penjelasanku. Tampaknya dia sangat kecewa namun dia tetap memaksakan diri untuk tersenyum padaku.

Aku menjabat tangannya, mengucapkan maaf serta banyak terima kasih padanya. Aku tahu perbuatanku ini salah, mungkin aku kurang bertanggung jawab dengan cara mengakhiri pekerjaanku secepat ini. Tanpa memberinya kesempatan mencari penggantiku. Namun aku juga dikejar waktu. Maksimal minggu depan aku harus berangkat ke Malang.

Aku telah sampai di ambang pintu ruangan Mba Lidya. Dia memanggilku kembali.

"Amel, tunggu..!" tidak ku sangka dirinya menghampiriku dan meraih tubuhku dengan kedua tangannya. Mba Lidya memelukku, cukup erat. Dalam pelukan itu dia mengucapkan kata yang tidak jauh beda denganku tadi. Maaf dan terima kasih. Namun maafnya terlontar karena dirinya merasa bersalah telah membuatku tidak pernah menerima Henry sebagai kekasihku. Dan terima kasihnya karena telah mengembalikan Henry ke dalam hidupnya saat ini.

Aku hanya dapat tersenyum dan perlahan melepaskan kedua tangan Mba Lidya yang melingkar di kedua bahuku. Aku tidak sanggup lagi menahan air mata ini. Kini kami sama-sama menangis. Namun aku memilih untuk segera turun mengakhiri semua ini.

Sampai di bawah, di lantai satu meja barista. Tampak Dion, Faris, Mutia, Eka dan Rena, semua telah berkumpul di mejaku. Ini masih pukul dua siang, tapi kenapa pengunjung kedai tidak terlihat satu pun. Tumben sekali. Sebelum aku menemui Mba Lidya tadi, aku masih melayani dua orang pelanggan.

Semalam aku memang sudah menghubungi semua personil kedai perihal aku yang mendapatkan beasiswa dan hari ini adalah hari terakhirku di kedai. Tidak heran jika saat ini mereka telah berkumpul di mejaku. Ah.. Aku benci situasi seperti ini. Aku membenci perpisahan. Ya, lagi-lagi aku terpaksa harus menghadapi perpisahan. Satu per satu rekan-rekan terbaikku di kedai ini menyalamiku, yang perempuan semuanya memelukku begitu erat. Aku benci melihat semuanya menangis karena aku. Aku sama sekali tidak mengharapkan semua berakhir secepat ini.

Takdirku berkata lain, Tuhan menggiringku pergi dari tempat ini untuk membantuku menyembuhkan luka dalam jiwaku. Tiba saatnya aku harus pergi selamanya dari tempat ini. Hanya tersisa kenangan tentangku disini. Dari Amel yang begitu polos dan bodoh menjadi Amel yang telah cukup dewasa dalam menyikapi kenyataan hidup.

Dua minggu berlalu sejak aku meninggalkan kedai kopi Rindu untuk selamanya. Siang ini aku sedang duduk di bawah pohon rindang bersama dua orang sahabat baruku, Mia dan Farah. Kami bertiga kuliah di jurusan yang sama serta kelas yang sama. Namun usiaku memang sedikit lebih tua dibanding usia mereka. Kami sedang menunggu pembagian kartu mahasiswa disini. Dering ponselku memecah canda tawa kami. Hmm.. Ternyata ada satu pesan masuk. Mba Lidya. Lantas aku membacanya.

"Amel, apa kabar? Dua minggu lagi Saya dan Henry akan menikah. Saya harap kamu bisa hadir sebagai tamu spesial kami. Maaf Amel, Saya juga mohon doa dari kamu."

Aku bingung harus membalas apa. Dua minggu lagi mungkin aku sudah mulai aktif beraktivitas sesuai jadwal kuliah yang telah dibagikan. Beberapa jam kemudian aku baru membalas pesan Mba Lidya tadi.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun