Aku duduk di kursi rotan yang sebelumnya diduduki oleh papa. Aku belum mengatakan apapun sejak tadi pada Henry. Namun perhatianku tercuri pada warna kaus berkerah yang kini dikenakan Henry. Aku memandanginya, dia ada di sebelah kiriku, masih duduk di bangku yang satunya. Tadi waktu dia datang, jaketnya masih tertutup rapat. Sekarang aku dapat melihat dia mengenakan kaus berkerah, lengan pendek dan berwarna pink. Sebelumnya aku merasa aneh jika melihat lelaki mengenakan pakaian berwarna pink. Tapi, kenapa Henry malah terlihat bagus mengenakan pakaian warna itu? Hmm.. Mungkin karena kulitnya yang putih. Iya, kulitnya lebih putih dari kulitku. Dia tampak cocok dan pantas mengenakan pakaian warna apapun.
"Belum mandi ya Mel?" aku terkejut saat diajaknya bicara karena aku masih memandangi kaus yang dikenakannya itu.
"Hah? Belum.." aku menggeleng dan sedikit tersenyum. "Diminum dulu yuk tehnya, tadi aku belum sempat minum anget pagi-pagi." seraya aku mengangkat cangkir teh yang akan ku minum. Henry tersenyum dan mengikutiku meminum teh manis miliknya.
"Mel, maaf ya pagi-pagi aku sudah kesini, ganggu waktu kamu sama papa mama."
"Oh, ngga apa-apa Mas."
"Dua hari ini aku sudah memikirkan baik-baik semua kata-kata kamu soal Lidya."
Aku benar-benar tidak menyangka bahwa akhirnya Henry membahas soal ini. Aku berusaha tetap terlihat tenang di depannya, aku harus bisa menyembunyikan kekagetanku.
"Terus gimana menurut kamu?"
"Tapi kamu tahu kan Mel? Kalau aku sayang sama kamu. Sedangkan aku sudah berusaha selama ini, tapi kamu tetap cuma bisa anggap aku sebagai teman dekat kamu."
"Hmm.. Aku tahu kok kamu sayang sama aku. Aku minta maaf kalau aku sudah terlalu banyak bikin kamu kecewa."
"Ngga Mel, kamu ngga salah. Aku rasa, kamu betul juga, ngga ada salahnya aku kasih kesempatan buat Lidya."