6. Regeling op de Gemengde Huwejliken (GHR) Staatsblad 1898 Nomor 158 bagi mereka yang melakukan perkawinan campuran.
Usaha pembentukan undang-undang perkawinan di Indonesia dimulai sejak 1950. Pada waktu itu, pemerintah membentuk panitia penyelidik peraturan hukum perkawinan, talak, dan rujuk yang memiliki dua tugas: pertama, melakukan pembahasan mengenai berbagai peraturan perkawinan yang telah ada; kedua, menyusun rancangan undang-undang (RUU) perkawinan yang sesuai dengan dinamika dan perkembangan zaman. Tugas yang kedua merupakan tugas pokok, sedangkan tugas yang pertama merupakan tugas antara.
Cara kerja yang ditempuh Panja RUU Perkawinan adalah pertama, mengadakan rapat-rapat internal panitia untuk menelusuri pendirian tiap-tiap fraksi. Pendirian tiap-tiap fraksi didiskusikan sehingga diharapkan dapat dicapai kesepakatan. Kesepakatan yang telah dicapai akan dibawa dalam rapat kerja bersama dengan pemerintah; kedua, mengadakan rapat kerja dengan pemerintah dalam rapat yang terbuka untuk membicarakan hal-hal yang bersifat umum; dan ketiga, mengadakan rapat kerja dengan pemerintah secara tertutup untuk membicarakan rumusan-rumusan yang konkret dalam bentuk pasal-pasal.
Adapun rumusan Pasal 2 yang disepakati oleh Panitia Kerja adalah sebagai berikut:
1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu;
2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku;
Pembahasan RUU Perkawinan di DPR terus berjalan sehingga menghasilkan RUU Perkawinan tahap II, yaitu RUU Perkawinan hasil pembicaraan di DPR. Dalam RUU Perkawian tahap II pun masih terdapat pasal-pasal yang dalam pandangan ulama tidak sejalan dengan ajaran Islam. Namun demikian, meskipun melalui proses dan perdebatan yang panjang, RUU yang diajukan ke DPR pada 1973 inilah yang kemudian menjadi Undang-Undang Perkawinan.
- Pengaturan Perkawinan dalam UU No. 1 Tahun 1974
Setelah 1974, dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, peraturan-peraturan di atas sudah tidak berlaku lagi karena tidak sesuai dengan masyarakat Indonesia. Indonesia sudah tidak mengenal lagi adanya penggolongan penduduk seperti yang tercantum pada Pasal 163 IS. Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 merupakan unifikasi hukum di bidang perkawinan yang berlaku secara nasional, artinya berlaku bagi semua golongan masyarakat Indonesia.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 telah menampung di dalamnya unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan hukum agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan.. Dalam Undang-Undang ini ditetapkan prinsip-prinsip atau asas-asas mengenai perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Prinsip-prinsip atau asas-asas yang tercantum dalam Undang-Undang Perkawinan ini adalah sebagai berikut:
1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil
2. Dalam undang-undang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan;