Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tercapailah keinginan bangsa atau masyarakat Indonesia untuk mempunyai hukum perkawinan yang berlaku secara nasional. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini merupakan unifikasi hukum perkawinan yang sebelumnya (ketika diwariskan kolonial belanda) kondisinya masih beragam, sebagaimana beragamnya hukum perdata pada umumnya.
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan setidaknya ada tiga peraturan perundang-undangan perkawinan yang dicabut yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW); Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (HOCI); dan Peraturan Perkawinan Campuran (GHR) sepanjang materinya sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Perkawinan Beda Agama dalam Hukum Positif dan Hukum Agama
- Perkawinan Beda Agama dalam UU No.1 Tahun 1974.
Berdasarkan ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, untuk semua perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas undang-undang ini, maka ketentuan yang diatur dalam:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW);
2. Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S. 1933 No. 74);
3. Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158),
Beserta peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan tidak berlaku.
Apabila ditinjau pada ketentuan Pasal 2 (1) Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sahnya suatu perkawinan adalah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Ini berarti bahwa Undang-Undang menyerahkan secara penuh kepada agama dan agama mempunyai peranan penting terhadap perkawinan. Selanjutnya di dalam Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dinyatakan bahwa perkawinan baru sah jika dilakukan di hadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi serta tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.
- Perkawinan Beda Agama dalam Perspektif Hukum Islam.
Hukum Islam yang ditempatkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai dasar keabsahan perkawinan bagi umat Islam memunculkan ketentuan yang berbeda mengenai perkawinan beda agama antara pria muslim dengan wanita kitabiyah. Al-Qur'an membolehkannya sementara Kompilasi Hukum Islam melarangnya.
Pada dasarnya semua agama menolak perkawinan beda agama. Semua agama menghendaki perkawinan harus seiman (satu agama). Perkawinan beda agama sekalipun diperkenankan oleh agama tertentu, sangat terbatas. Hanya sebagai pengecualian yang diberikan dengan persyaratan- persyaratan tertentu.