Bangun kesiangan, sehingga tidak sempat sholat subuh. Aneh, aku tidak merasa berdosa atau bersalah. Pribadiku belum utuh dalam Islam dan iman. Butuh waktu untuk memantapkannya.
Dalam seminggu belakangan, penyelesaian tugas-tugasku keluar dari prioritas utama: studi. Kebanyakan mengurus hal-hal pribadi dan organisasi. Nyatanya, aku tidak bisa konsisten.
Agak siang ketemu Ema, Subuh dan Dewi. Subuh ingin mengajakku jalan.
"Gue lagi suntuk," katanya.
Tapi, karena ada pertemuan Sejarah 91 di rumah Fana, kutolak. Begitupun ajakan Dewi untuk makan siang.
"Indra, gue habis bertengkar!" kata Dewi.
"Besok aja ceritain," kataku.
Sampai pukul 14.00 di rumah Fana: minum, makan siang dan makan rujak. Dilanjutkan sambutanku, Agung dan Elsye (Three Musketeers). Pada dasarnya, kekompakan sudah tertanam dalam diri kami. Namun belum bisa direalisasikan pada persoalan yang lebih mendasar: keilmuan atau intelektual.
Semula, pembicaraan tidak serius.
"Gua sudah malas kalau serius," kata Bondan.
Tapi setelah kumulai tentang 'penindasan', mereka mulai bisa mendengar, bicara dan diskusi. Prioritas pembicaraan adalah keanggotaan SKS di BPM, sesuatu yang kutolak. Aku melihat bahwa persoalan yang terbesar justru dalam tubuh SKS atau mahasiswa sejarah umumnya. Sedangkan keterlibatan mereka di BPM atau SM bersifat personal. Aku punya obsesi untuk membenahi dan membesarkan SKS.