Keduanya kukenal sebagai sahabat. Kinkin mungkin hanya sebagai "pendamping demokrasi". Dalam kampanye, Dandi lebih argumenttif, walau sering teriak: "Kesatuan IKPD; Saya tidak akan membiarkan siapapun mengganggu IKPD" dan isu-isu primordial lainnya. Kinkin malah lebih kacau dan cenderung sloganistis, karena berkali-kali berteriak: "Hidup sastra! Hidup IKPD FSUI!".
Sore pulang dengan Mangku untuk mencari kos baru. Nyatanya sudah ditempati oleh Ibenk cs. Haryo di sana dan kembali menanyakan tantangannya untuk berdebat di depan seribu mahasiswa UI.
"Gua bukan seorang rekayawasan atau pejabat," kataku.
Apakah aku harus menarik garis tajam dengan ide "perjuangan" Haryo?
Mangku bilang bahwa dia kesulitan berdebat dengan Haryo, karena secara teoritis, Haryo memang luar biasa. Sebagai contoh, Haryo mengemukakan soal free sex yang dinilainya sebagai sesuatu yang tidak berbahaya dan tidak perlu ditakutkan. Tesis tersebut diserang Mangku lewat kesehatan dan sejenisnya. Praktis, Mangku tidak bisa berkutik, karena Haryo sudah menyediakan jawaban.
"Bagaimana," tanya Haryo.
Aku katakan, serang kerangka berpikirnya.
"Aku setuju bahwa free sex tidak berbahaya, sejauh disesuaikan dengan konteks budaya masyarakatnya. Dalam masyarakat liberal seperti Amerika, free sex memang tidak berbahaya dan siapa yang peduli. Masalahnya, jika konteksnya adalah masyarakat Indonesia yang dikenal religius dan Pancasilais, maka free sex berbahaya, baik secara moral, kultural, kesehatan, agama, dan lain-lainnya. Dengan demikian, secara umum, di Indonesia free sex berbahaya. Dan adalah pemaksaan bila Haryo bilang bahwa free sex tidak berbahaya di Indonesia," kataku.
Haryo, jika diikuti jalan pemikirannya atau kerangka berpikirnya, maka kita akan terjebak dan tidak menemukan cara untuk menyerangnya.
Mangku hanya diam. Kupikir, banyak hal yang bisa dikembangkan dari dialog dengan orang lain. Tak terkecuali Haryo. Tantangannya bernilai konstruktif, karena aku dipaksa untuk berpikir dan membaca lebih banyak.
Jum'at, 20 Mei 1994