Aku ingat kata-kata Subuh: "Gua nggak bisa ngebayangin, kalau seandainya beberapa tahun lagi kita ketemu. Gua duduk di sini, Fadli di sini, Grace di sini dan Indra di sini." Kata-kata yang menggambarkan indahnya persahabatan dan keabadiannya.
Kita mendiskusikan masalah KKI dan masalah kebangsaan. Komentar Fadli cukup berbobot, karena bacaannya yang luas. Dia menolak kusebut mapan dan aku sebagai orang tertindas.
***
Nonton kampanye lisan Isa dan Ibenk. Sebetulnya, aku tidak ingin menanyakan apapun.
"Sesuatu yang aneh dengan menghilangnya Indra," kata Teguh (Sejarah 93). Namun, aku dilobi Yaswin untuk bicara di ruang Senat.
"Gua ingin mengambil jarak dengan semuanya," kataku.
Yaswin memaklumi. Namun, tidak adanya koordinasi yang baik di kalangan massa Isa membuat jiwaku memberontak dan ...nanya. Aku seperti kejebak, karena Ibenk sudah siap: perbedaan persepsi. (Malamnya aku tahu, justru hal itu memperlihatkan ketidaksiapan Ibenk dan menunjukkan betapa tidak kompromistisnya dia).
Haryo, yang dalam setiap forum menjadi lawanku, sangat emosional atas pertanyaanku.
"Literatur apa yang elu baca? Gua menantang elu untuk bicara di hadapan mahasiswa (untuk memperdebatkan berbagai persoalan?)," katanya.
"Baik!" kataku, juga emosional.
Haryo tendensius dan menyerang pribadiku. Dia tidak mengerti akan arti sebuah "perbedaan", walau dia sering sekali bicara soal rakyat, demokrasi, HAM, etc. Sikapnya cenderung represif (menggugat Panitia Pemilu dan Kamal) atau bahkan intimidatif.