Entahlah, mungkin badai ini akan berubah jadi taufan untuk menghantam SMUI. Kudengar, Indah juga mau berhenti!
Menemani Lila ke perpustakaan. Sebelumnya, gagal menghubungi Bu Nana lewat telepon. Aku baca skripsi soal PERMI dan pulang pukul 15.30. Lila cerita tentang temannya di FH UGM yang sekarang jadi Ketua Senat Mahasiswa FH UGM. Nyatanya, dia tidak setertutup perkiraanku.
***
Harga diriku seperti diinjak-injak malam ini, justru oleh sindiran Kamili. Aku dianggap terlalu gengsi dan "Mubazir aja elu sekolah tinggi!" Penyebabnya, mungkin karena aku belum mengembalikan uangnya goceng, seringnya aku minta rokok padanya, dan pekerjaanku di kos: membaca, menulis atau mengetik. Jelas, aku tersinggung. Disamping butuh minjam duit dia dan rokok, maksud lain dibalik itu adalah aku ingin akrab dengan mereka, dengan bahasa mereka. Nyatanya, terlalu rendah hati dan terbuka juga tidak baik. Ini pelajaran berharga bagiku untuk menghadapi orang-orang hebat macam Kamili atau Pian. Harga diri buatku nomor satu.
***
Menerima surat dari ayah yang isinya terlalu melantur dan utopis. Ayah belum memahamiku dan dia tidak berubah: melihat kesalahan orang lain/masyarakat dan membanggakan diri sendiri. Aku akan membantah pola-pola berpikirnya. Surat dari Ince juga datang yang mengajurkan aku terus jadi aktifis. Kenapa kita baru bisa bicara sekarang, Ince?
Rabu, 25 Mei 1994
Hari Raya Waisak. Just at home. Seharian aku tidak makan nasi, hanya indomie, telor dan roti. Penyebabnya, aku tidak mau minta duit lagi pada Tuan Ismet. Biarlah dia sadar sendiri atas kedewasaannya. Untung sore Busra datang dengan Zaher.
Aku menyelesaikan tulisan: "Pragmatisme sebagai 'Ideologi' Mahasiswa 1990-an: Sebuah Analisa Awal". Rencananya mau kukirim ke harian Terbit, besok. Tapi, belum bisa diketik. Sabtu akan kudiskusikan di KSM.
Kamis, 26 Mei 1994
Di Perpus diskusi dengan Umi soal humanisme. Dia mendefenisikan diri sebagai humanis yang feminis, memahami manusia sebagai manusia. Aku menolak konsepsinya tentang hewan yang dilihat dari sisi humanisme. Memahami hewan dari sisi kemanusiaan adalah mengingkari kemanusiaan itu sendiri. Dalam beberapa hal, hewan memang punya sifat manusia. Umi menyadarinya dan merubah pendapatnya menjadi: memahami hewan sebagai mahkluk yang punya perasaan. Dia bercerita soal seorang anak yang hidup dengan dunianya sendiri, walau secara fisik sehat dan normal.