Mohon tunggu...
Dues K Arbain
Dues K Arbain Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk membungkam pikun

Slogan Sufi Anak Zaman : Jika Allah mencintai manusia, maka akan terwujud dalam tiga kwalitas : 1. Simpatik Bagaikan Matahari 2. Pemurah Bagaikan Laut 3. Rendah Hati Bagaikan Bumi

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Terpuruk Lara

14 Oktober 2015   08:36 Diperbarui: 14 Oktober 2015   08:36 3258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Nun jauh di ufuk barat, sang surya sudah menenggelamkan dirinya. Kerlap kerlip cahaya lampu Jembatan Ampera tak membantu diriku menemukan keindahan. Ganasnya deburan ombak Sungai Musi akibat dari kencangnya tiupan angin berpadu derasnya arus, tetap terasa kosong, hambar dan tak bermakna. Sementara lalu lalang kenderaan yang melintas, sama sekali tak mengusik kehampaan bathinku. Aku terus memandang jauh, dengan sesekali tersenyum, sesekali berurai air mata.

 

===

 

Teringat ketika aku memutuskan menikah dengan kamu, aku telah bersumpah untuk menerima apa adanya, karena kamulah pilihanku. Apalagi ibuku sangat suka sama kamu. 

 

"Serasih sekali" bisik Ibu saat melihat kamu menyambut kami dalam acara lamaran itu.

 

"Tapi aku sedikit gundah, bu" jawabku

 

"Kenapa?" tanya ibu

 

"Aku takut kehilangan kehidupan pribadiku, juga takut Fadiah tak seperti yang aku harapkan" jawabku lirih

 

"Kuncinya, kamu harus ikhlas menerima Fadiah sebagai isterimu" 

 

"Insya Allah, Bu" aku tersenyum. Tiang pancang sudah ditancapkan, bendera merah putih sudah dikibarkan, janji sakral sudah diikrarkan, aku harus mampu menghilangkan ketakutan menghadapi perubahan dalam menjalani hidup nanti. Bukankah aku bisa mengikuti senyum mentari di pagi harinya dan menikmati lembutnya terpaan sinar rembulan di malam harinya?  

 

===

 

Walaupun aku baru mengenal kamu, namun hasratku sangat menggebu ingin menikahi kamu. Kamulah yang menghangatkan bara kehidupan tatkala salju beterbangan menghembuskan hawa dingin. Kamulah yang menyibak selarik cahaya dikala lorong jiwa dicekam oleh pekatnya gelap. Kamulah yang mengokohkan tonggak kepastian manakala berjuta bidadari betebaran tanpa bisa memberi arti. 

 

Dengan hati yang bulat akhirnya aku mantapkan niat. Mesikupun sesungguhnya sang penggoda anak Adam terus meretas cahaya putih yang perlahan menyibak malam. Hingga timbullah kecemasan-kecemasan tanpa sebab. Keragu-raguan manakala nelayan berlayar ke laut lepas. Godaan-godaan melintas bersama terbangnya angin yang datang silih berganti.

 

Dan celakanya, sang mata lepas dari kesejukkan tetas embun yang dianugerahi Allah untuk kesempurnaan raga. Nakhodah jiwa tak mampu mengayuh ke arah yang sudah ditunjukkanNya. Pesona gadis lain yang saat aku berputar pada garis edar wajahnya tidaklah secantik dirimu mampu menggodaku. Pandangan semu membuat aku merasakan ia memiliki magma yang melampaui keindahan kamu. Anak panah Sang Dewa Amor yang ia lepaskan  menghujam sampai ke ulu nadiku. 

 

Namanya Grasia, Fadiah. Kecantikkanmu tertutup oleh rajutan benang penutup seluruh tubuhmu. Sedangkan kecantikkannya memancar bersama kulit tubuh yang ia hibahkan pemandangannya bagi setiap yang melihat. Ia bagaikan gadis-gadis bintang sabun mandi terkenal, tinggi semampai, wajahpun putih jelita dengan hidung yang bangir dan melengkung indah, ditambah lagi mata bening serta bibir merah, ramah dalam bertutur kata, sungguh sangat menawan. Meskipun itu semua juga kamu milikki.

 

Tahukah kamu, dihari-hari menjelang pernikahan kita, aku berusaha menghilangkan bayang-bayang wajah Grasia, aku konsentrasikan pikiranku hanya buat kamu, calon isteriku, namun ternyata usahaku itu hanyalah sia-sia semata. Aku ingin membatalkan pernikahan itu, tapi wajah ibuku yang sedang menangis selalu membayangiku. 

 

Hingga tibalah hari itu. Bagaikan mayat hidup aku duduk di pelaminan, sekeping hati telah dicuri oleh Grasia. Duhai, sedang apa dia sekarang? Kenapa dia tidak muncul di pesta pernikahanku? Padahal aku telah mengundangnya. Beribu pertanyaan berkecamuk di kepalaku. Betapapun meriahnya pesta pernikahan itu, semuanya terasa menusuk-nusuk hatiku. 

 

Kulihat kamu tersenyum manis, tetapi hatiku terasa teriris-iris dan jiwaku bergemuruh. Satu-satunya harapanku adalah mendapat berkah dari Allah SWT karena pernikahan ini telah direstui ayah dan ibu yang  kucintai. 

 

===

 

Layaknya pengantin baru, aku bersikap sangat mesrah padamu, tapi tahukah kamu Fadiah? Hatiku ada di gadis lain yang sedang kucinta, pada Grasia yang selalu sumringah. Hanya karena aku terbiasa bersedekap dengan qalam Ilahi, hanya karena aku terbiasa bermunajat pada Sang Pencipta, maka aku dapat menutupi kegalauan itu. 

 

Kamu tersenyum mengembang ketika aku mengajakmu untuk pindah ke rumah kontrakan di lorong sempit pinggir kota Palembang. Kamu gembira karena membayangkan keluasaanmu untuk mengabdi sepenuh jiwa raga padaku. Kamu merentangkan tangan seolah menyambut kedatangan kunang-kunang dikegelapan malam. Olala, betapa kebahagiaan itu memancar dari gerakan jiwa  yang terbalut oleh tubuh indahmu. 

 

Tak dinyana, di sinilah awal mula kepak sayap merpati itu patah, di sinilah lara itu mengalunkan nyanyian hampa. Aku tak menemukan adanya gairah. Betapa susah untuk mencintai kamu sepenuh hati. Ia terusik oleh bayang-bayang Grasia yang tak bisa aku musnahkan, kecantikan dan kegenitannya terus menari di pelupuk mataku. 

 

===

 

Suatu hari, tanpa sebab dan tanpa rencana, aku tak kuasa melangkahkan kaki mengunjungi Grasia,  ia mengatakan sangat kecewa dengan pernikahan kita. Namun ia begitu bahagia menyambut kedatanganku. Pertemuan kami disambut oleh hujan deras dan gemuruh halilintar yang saling bersahutan. Tanah menjadi basah, debu-debu yang lengket didaunan ikut berguguran, ikan-ikan menari kesana kemari, kodok pun ikut bernyanyi dan melompat lebih tinggi. 

 

Dan aku tersentak kaget, ketika tiba-tiba pagutan hati yang tercabik telah meninggalkan noda pada kertas putih bersampul coklat bertuliskan sumpah dan janji perkawinan. Aku menangisi kebodohan ini. Tapi Grasia mampu melukiskan pelangi yang menerbangkan ribuan bidadari, sehingga aku terkulai lemah dalam cengkeraman rasa tak bersalah.

 

Tapi aku tahu ini salah, walaupun tanpa sepengetahuan kamu, namun relung jiwa jujurku mengakui pengkhianatan ini. Jadilah hari-hariku yang sepenuhnya menempatkan phisik di samping kamu, istriku, tapi jiwa seperti bercengkrama dengan robot yang diciptakan dari canggihnya teknologi manusia tapi tak memberi rasa dalam birasa yang telah binasa. Bibit cinta yang pernah kutanam dalam palung hatimu sudah betul-betul hilang. Tak kudengar lagi suara lembut yang mengalun merdu, tak ada wajah cantik yang terlihat teduh, tak ada perbuatan baik yang menggetarkan jiwa, semua terasa hambar dan salah. 

 

=== 

 

Memasuki bulan ke lima perkawinan kita, halaman rumah yang dihiasi bunga mawar semakin membanggakan durinya, kecoa-kecoa busuk semakin banyak berkeliaran, bahkan seisi kebun binatang pun kerap menghiasi bibirku, aku benar-benar muak menikmati hidup bersamamu, entah kenapa perasaan ini muncul begitu saja. Telah kucoba mendendangkan lagu merdu, juga menikmati gemercik air di kolam bunga bakung yang kita tanam bersama, tapi semua hanyalah sia-sia. Hatiku semakin menjauh. 

 

Maafkan aku, tidak bisa lagi kupaksakan untuk bersikap mesra denganmu, tak bisa lagi aku bermanis-manis dan bermanja-manja denganmu. Mulutku sudah membeku oleh dinginnya kabut malam. Tanganku sudah terikat oleh seutas tali kasih terlarang yang keluar dari kerak bumi nan fana. Sehingga, diamku, cuek dan sinisku selalu tertuju padamu. Bahkan hangatnya teh beserta telur dadar yang engkau suguhkan setiap pagi tak membuat diriku mau menyentuhnya. 

Perlahan aku mulai melihat genangan-genangan bening menetes di pelupuk matamu. Sungguh siksaan yang luar biasa bagimu. Tapi siksaan bagiku kurasakan lebih luar biasa lagi. Hidupku sangat sia-sia, gelar Doktor yang kuraihpun sia-sia, pernikahanku sia-sia, keberadaanku sia-sia. Pilu hatiku semakin menghujam manakala kamu bertanya dalam nada takut : 

 

"Ada apa Bang?", 

 

"Tidak apa-apa Fadiah…, aku masih terlalu kecil untuk menikah, belum dewasa, masih harus belajar berumah tangga". Ada kekagetan yang kutangkap diwajahmu ketika namamu kusebut. 

 

"Kenapa Bang, biasanya Abang memanggilku "Dinda"? Abang sudah tidak mencintaiku?" tanyamu dengan guratan wajah sedih. 

 

"Wallahu a'lam" jawabku tanpa perasaan. Kulihat kamu menunduk dengan mata berkaca-kaca, lalu terisak sambil memeluk kakiku.

 

"Kalau Abang tidak mencintaiku, tidak menerimaku sebagai istri, kenapa Abang ucapkan janji di akad nikah? Kenapa Bang? Kalau perbuatanku dalam melayani Abang ada yang kurang berkenan, kenapa Abang tidak bilang dan menegurnya, itu hak Abang untuk menegurku. Tolong tunjukkan, aku harus bagaimana untuk membahagiakan Abang? Kumohon bukalah sedikit hatimu untuk menjadi ladang bagi pengabdianku, bagi menyempurnaan ibadahku didunia ini". Suaramu mengiba penuh pasrah. Aku, menangis menitikan air mata, tapi bukan karena kamu, tetapi karena keterpakuanku. Karena ketololanku. 

 

===

 

Hidup harus berlanjut, mengikuti roda yang terus berputar dan waktu yang tak bisa kembali ke masa silam. Kita hidup seperti orang asing. Aku hanyut dalam derasnya air yang disemburkan Grasia, dan hari-hariku tak pernah dapat keluar dari aliran liar itu. Tetapi kamu Fadiah, tetap melayaniku dengan setulus hati. Bagaikan sejuknya air yang mengalir di surganya Allah.

 

Kuingat sore itu, ketika hujan lebat aku tetap pulang ke rumah dengan pakaian yang basah kuyup. Aku merasakan darahku tak lagi mengalir, wajahku pucat, bibirku bergetar, gigiku gemerutuk, badanku menggigil, kepala pusing tak alang kepalang. Tak ayal lagi aku terkapar di pembaringan. Kulihat wajah cantikmu penuh khawatir, sibuk mencari obat dan merebus air serta membuatkan teh hangat. 

 

"Kita ke dokter saja Bang?". Ajakmu dengan kecemasan. 

 

"Tidak usah" jawabku menggigil. 

 

"Kalau begitu Abang mandi air panas, sudah aku siapkan di kamar mandi", katamu pelan. Dengan tertatih tanpa sepatah katapun aku ke kamar mandi, aku lupa membawa handuk, tetapi kamu telah berdiri didepan pintu membawakannya. 

 

"Abang minum teh hangat dulu" katamu setelah aku selesai mandi. Aku menurut. Tiba-tiba isi dalam perutku terasa ingin keluar, dan begitu cepat prosesnya aku memuntahkan semua yang ada dalam perutku di lantai kamar tidur berlapiskan ambal.

 

Kurasakan kamu memijit-mijit pundak dan tengkukku seperti yang dilakukan ibu jikala ku sedang sakit. Kemudian mengambil kain lap dan membersihkan muntahan itu serta menggulung dan memasukkannya ke kamar mandi untuk dicuci esok hari. Lalu kamu kembali ke arahku dengan membawa balsem dan uang logam. 

 

"Saya kerokkin ya Bang". Pintamu dengan memelas. Aku hanya diam. Kamu langsung membalik badanku dan mengerokki punggungku yang berotot. 

 

Setelahnya kamu menyuapi aku dengan semangkok bubur kacang hijau. Sejurus kemudian aku merebahkan diri di tempat tidur. Kulihat kamu duduk di kursi tak jauh dari tempat tidur sambil membaca Al Quran dengan khusyu'. Suara bidadari surga mengalun syahdu menusuk ke relung kalbu. Kemilau cahayamu memancarkan pesona jiwa yang terluka. Aku kembali sedih dan ingin menangis. Kamu manis tapi tak semanis Grasia. Kamu cantik, tapi tak menggetarkan hatiku. Kamu shaleha, tapi tak jua membuatku bersimpuh. Ya Allah, Kembali pelataran kaki langit yang terbentang lebar dan hamparkan rentangMu pada jalanku agar kaki ini dapat melangkah lagi.

 

===

 

Malam itu aku tertidur dan bermimpi bertemu Grasia. Ia berlari ke arahku sambil merentangkan kedua tangannya untuk menyambut kedatanganku. Wajah cantik Grasia membungkam hentakan-hentakan birasa. Dengan lantang ia mengiriskan sembilu di telapak tangan halusnya dan berkata ingin menikah denganku. Aku mengejar bayangan itu dan mendapatkannya dalam terjangan gelora asmaranya. Sambil mengibaskan pakaian pengantin bak seorang puteri raja ia berseru memanggil namaku seraya memasrahkan letupan-letupan hangat ke dalam pelukku. 

 

"Abang, bangun, sudah jam setengah empat malam, Abang belum sholat Isya" kamu menyentakkan mimpiku. Aku terbangun dengan perasaan kecewa. Aku ingin marah, tapi kulihat kamu masih memakai mukena dengan pusaran telaga di kisaran mata, sepertinya engkau menangis di shalat malammu. Tapi aku tetap dongkol walaupun akhirnya menuju kamar mandi dan berwudhu. "Sialan, wanita ini telah memutuskan mimpiku", umpatku.

 

Di musim hujan begini, harusnya aku semakin merapat menyingkap tabir asmaraku padamu. Tapi entah, hatiku semakin terasa jauh. Aku semakin tak menyukaimu. Semua perbuatanmu selalu salah di mataku. Aku merasa sulit hidup bersama kamu, aku benar-benar terpenjara dalam suasana konyol. Kamu seperti sang pujangga yang untaian kalimatnya jauh dari harapanku. Layaknya pelukis abstrak yang keindahannya tak teraba. 

 

"Abang, tadi ada telpon dari Ayuk Halimah, ibu demam. Kita ke sana sore ini ya…" pintamu dengan lembut. Tanpa tahu jawabanku kamu telah menyiapkan makanan kesukaan ibuku yaitu kue srikaya. Sebelum berangkat kamu masih sempat menyuguhkan teh manis dan kue srikaya ke hadapanku. 

 

"Dimakan Bang". Katamu dengan suara gemetar. Sebetulnya aku terharu, tapi kebencianku telah menelan segalanya. Aku tak peduli dengan kehadiranmu. Selembar koran bekas yang tak menceritakan apa-apa tetap kubaca hanya untuk mengalihkan pikiranku dari hadirmu saat itu. 

 

"Maafkan aku Bang, kalau aku mengganggu" kamu berkata sambil berlalu. 

 

"Fad…diah…….eh Dinda" panggilku dengan suara tercekat. 

 

"Ya Abang" kamu menghentikan langkah dan pelan-pelan menghadapkan padaku. Kamu berusaha untuk tersenyum, agaknya bahagia dipanggil "Dinda" kembali. Kunikmati sebentar binarnya matamu. 

 

"Terima kasih atas teh dan kuenya, setengah lima kita ke rumah ibu ya," ucapku sambil menatap wajahmu dengan senyum yang kupaksakan. Kamu menatapku dengan wajah sangat cerah, secercah senyum dibibirmu meluluhlantakkan keakuanku. 

 

"Terima kasih Abang, Ibu pasti senang, apalagi kita sudah hampir sebulan belum menjenguknya". Kulihat betapa bahagianya dirimu.

 

===

Kamu memang luar biasa. Kokohnya terumbu karang yang hidup berkilau dengan sejuta warna di dasar laut Bunaken tak mampu memupus kilau wajahmu. Para abdi dalam keraton sang sultan pun tak jua dapat membiaskan pengabdianmu padaku. Sikap acuh tak acuh yang kusematkan dan kupaparkan di setiap hadirku dalam deramu, tak membuatmu tumbang seperti pohon cemara yang dihempas angin topan. Aku belum pernah melihatmu berwajah masam atau garang atau tidak suka padaku.

 

Dalam termenung sayup-sayup kudengar alunan kitab suci dibacakan di sebuah surau yang tak jauh dari rumah. Aku hafal betul ayat itu yang diambil dari surat Ar Ruum : 21 : 

 

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir".

 

Aku memaki-maki diriku sendiri atas sikap dinginku selama ini. Tapi, setetes embun cinta yang kuharapkan tak jua menyentuh hatiku. Wajah cantik Grasia begitu menghentak jantung ini, aku tak kuasa mengusirnya. Aku membenci diriku sendiri.

 

===

 

Kedatangan kita berdua disambut ibu dengan suka cita, saudara dan keponakanku berkumpul di sana, bahkan ibu mertuakupun ada. Duhai, kalau mataku bisa terbuka, ternyata keluarga kita sudah begitu menyatu. Mereka dengan penuh cinta bercengkrama. Ramainya orang-orang yang berbelanja di pasar, tak seramai suasana di rumah ibuku ini. 

 

Kamu terlihat bangga menceritakan kehidupan kita dengan saudara-saudara dan keponakkanku. Tak kusangka, kamu mampu menutupi keburukkanku. Kamu mampu menutupi keterpurukkanmu sendiri. Tak sedikitpun terungkap apa yang terjadi diantara kita. Tak terlintas kesedihan di wajahmu. Kamu betul-betul malaikat penyelamat itu. Aku sampai tersentak saat kakakku mengatakan kita adalah pasangan yang sungguh ideal. 

 

Rona wajahmu memerah cerah. Matamu berbinar bahagia. Sesuatu yang bertolak belakang denganku. Dalam hati aku menangis, menangisi ketidakmampuanku membuatmu bahagia. Menangis disebut pasangan ideal. Apanya yang ideal. Apa karena aku Doktor di bidang ekonomi dan kamu sarjana lulusan terbaik serta hafal Al Quran? Ideal bagiku adalah seperti Sopan Sopiaan dan Widyawati, atau seperti Romeo dan Juliet. Tapi aku dan kamu? Aku belum bisa memiliki cinta seperti yang kamu miliki. Aku belum mampu memiliki hati seperti yang telah kamu genggam.

 

Aku dibuat kaget oleh sikap kamu yang begitu kuat menjaga kewibawaanku di mata keluarga. Pada  ibuku dan semuanya tidak pernah kamu ceritakan tentang keburukkanku, hanya kata sanjungan atas kebaikanku  sebagai seorang suamilah yang keluar dari bibir mungilmu. Bahkan kamu mengaku bangga dan  bahagia menjadi istriku. Aku sendiri dibuat pusing dengan sikapku. Lebih  pusing lagi sikap ibuku dan mertuaku yang menyindir tentang keturunan. 

 

"Sudah satu tahun putra sulungku menikah, koq belum ada tanda-tandanya ya,  padahal aku ingin sekali menimang cucu" kata ibuku. 

 

"Insya Allah tak lama  lagi, ibu akan menimang cucu, doakanlah kami. Bukankah begitu, Abang?" sahutmu sambil menyikut lenganku, aku tergagap dan mengangguk sekenanya. 

 

===

 

Setelah peristiwa itu, aku mencoba bersikap bersahabat denganmu. Aku  berpura-pura mesra denganmu, sebagai suami betulan. Jujur, aku hanya pura-pura. Sebab bukan atas dasar cinta, dan bukan kehendakku sendiri aku melakukannya, ini semua demi ibuku. Dan desiran-desiran angin yang membuai birahi membuat aku mampu tegak berdiri menghujam perih dari dara yang tak pernah tersentuhi. Allah Maha Kuasa. Perjuanganku menanamkan benih di ladangmu dengan kepura-puraan membuahkan hasil. Kamu hamil. Kamu semakin manis. Keluarga bersuka cita. Namun hatiku hampa karena cinta tak kunjung tiba. "Tuhan kasihanilah hamba, datangkanlah cinta itu segera." Aku bermunajat dalam nestapa. 

 

===

 

Luapan Sungai Musi yang mengiringi banjir bawaan hujan di musim pasang membuat marahku menggigil kumat. Aku semakin sedih dengan cintaku yang tak pernah berlaku. Aku lupa dengan kehamilanmu. Aku seolah terombang ambing oleh gelombang Pantai Lampung Selatan yang tak pernah bersahabat bahkan hanya sekedar memberi jenak untuk istirahat para nelayan desa. Setiap saat aku hanya diam dan bergumam tentang hakekat cinta yang tak pernah aku temukan pada dirimu lagi. Setiap saat nuraniku bertanya" Mana tanggung jawabmu!"

 

Dan akhirnya datanglah hari itu, usia kehamilanmu melewati bulan kedelapan. Dengan berat hati kamu minta ijin untuk tinggal bersama orang tuamu atas alasan kesehatan. Aku mengabulkan permintaanmu itu, dan mengantarmu ke sana. Karena rumah mertua jauh dari kantorku, mereka tak menaruh curiga kalau aku harus tetap tinggal dikontrakan. Ketika aku pamitan, sembari sujud kamu mengatakan : 

"Abang, untuk menambah biaya kelahiran anak kita, tolong nanti cairkan tabunganku yang ada di Bank. Aku taruh di bawah kasur, surat kuasanya sudah aku siapkan". Aku menatapmu sejurus. Terbersit rasa haru mengiris hatiku. Tapi aku tetaplah pada keakuanku untuk tidak mengakui semua itu. Aku pun berlalu tanpa makna.

 

Setelah kamu tinggal bersama ibumu, aku sedikit lega. Setiap hari aku tidak bertemu dengan orang yang membuatku tidak nyaman. Entah apa sebabnya  bisa demikian. Hanya saja aku sedikit repot, harus menyiapkan segalanya. Tapi toh bukan masalah bagiku, karena aku sudah terbiasa saat kuliah di Jogjakarta dulu.

 

====

 

Waktu terus berjalan, sudut kamar usang sudah menanti datangnya pergulatan. Pelataran bangunan cinta kita sudah semakin kusam. Bayangan buram tidak hanya sekedar angan. Suatu saat aku pulang dalam siraman hujan. Jas hujan dan jaket kulit yang biasa menemani perjalanan tertinggal di rumah, padahal biasanya kamu selalu mengingatkan. Akibatnya, tubuhku lemas dan gemetaran hingga malam harinya diserang muntah-muntah, menggigil, kepala pusing dan perut mual. Saat itulah terlintas di hati akan hadirnya dirimu. Bayang-bayang wajah yang sibuk menyiapkan air panas, bubur kacang hijau, mengeroki punggungku, lalu menyuruhku istirahat dan menutupi tubuhku dengan selimut begitu nyata di pelupuk mata. 

 

Aku benar-benar tersiksa dan menderita. Aku terbangun jam enam pagi. Badan sudah segar. Tapi ada penyesalan dalam hati, aku belum sholat Isya dan terlambat sholat subuh. Andaikan ada kamu tentu ini tak akan terjadi. 

 

Lintasan sosok kamu hilang seiring keberangkatan ke kantor. Apalagi aku mendapat tugas pendidikan ke Jakarta. Di sana aku mendapatkan kawan baru yang menikah dengan seorang yang layak disebut selebritis. Dia bilang isterinya cantik dan sangat dikenal oleh masyarakat karena sering muncul di televisi. 

 

"Kamu sudah berkeluarga?" tanya Anton, demikian namanya. 

 

"Alhamdulillah, sudah" jawabku. 

 

"Dari kalangan biasa? Orangnya baik ya? Biasanya orang berpendidikan tinggi sepertimu pasti mencari wanita cantik dan mempunyai karir yang tinggi. Tapi menurutku lebih baik kita menikah dengan perempuan shalehah. Paling tidak santriwati, lulusan pesantren. Istrimu dari pesantren?". 

 

"Pernah, Alhamdulillah dia sarjana Agama dan hafal Al Quran". 

 

"Kau sangat beruntung, tidak sepertiku". 

 

"Kenapa dengan Bapak?" 

 

"Aku melakukan langkah yang salah, seandainya aku tidak menikah dengan wanita karir itu, tentu batinku tidak merana seperti sekarang". 

 

"Bagaimana itu bisa terjadi?". 

 

"Kamu tentu tahu kan gadis cantik dan mempunyai karir cemerlang biasanya membuat kita menderita karena pesonanya. Ceritanya begini, aku berkenalan di suatu penerbangan dengan seorang gadis cantik yang menyandang gelar selebritis, begitu bertemu aku langsung jatuh cinta dan ternyata berlanjut hingga ke jenjang perkawinan. Ketika aku memutuskan untuk menikahinya, teman-temanku memberikan masukkan begini begitu jika menikah dengannya, mereka menyarankan untuk mencari wanita berjilbab dan taat agamanya. Itu lebih selamat dari pada dengan wanita cantik yang tidak karuan gaya kehidupannya. Tetapi aku tetap teguh pendirian. Aku rela mengeluarkan biaya yang tinggi saat menikahi si cantik itu. Tapi sekarang apa? Setelah aku sudah tidak punya banyak uang lagi ia langsung meninggalkanku dan menggugat cerai. Bahkan anak kami satu-satunya ditinggalkan begitu saja, tanpa ia peduli untuk mengunjunginya lagi. Aku sudah mati-matian mencari peluang usaha yang lain, demi memenuhi keinginan isteriku dan anakku. Semua harta kekayaan orang tua sudah terjual dan kini tempat tinggalpun sudah tidak kumiliki lagi, aku sekarang mengontrak. Aku sangat menyesal telah meletakkan kecantikan diatas segalanya. Aku telah diperbudak oleh popularitas. Hatiku bagaikan ikan yang mati di lautan. Padahal aku tahu dia sudah biasa pergi kemana-mana dengan laki-laki yang bukan muhrimnya. Sudah terbiasa berpesta pora. Sedangkan aku? Aku tak pernah mengenal dunia mereka. Aku sadar, aku telah melanggar ayat Allah dalam Al Qur'an surat An Nur ayat 3 :

 

Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.

 

Mendengar cerita Pak Anton, aku jadi terisak-isak. Perjalanan hidupnya menyadarkanku. Aku teringat kamu, Fadiah. Perlahan wajahmu begitu jelas dibayang mataku, tak terasa sudah seminggu aku berpisah denganmu. Tiba tiba ada kerinduan  yang menyelinap dihati. Kamulah istri yang sangat shalehah itu. Tidak pernah  meminta apapun. Bahkan yang keluar adalah pengabdian dan pengorbanan.  Hanya karena kemurahan Allah aku mendapatkan istri seperti kamu. Meskipun  hatiku belum terbuka lebar, tetapi wajahmu telah menyala di relungnya. Apa yang sedang kamu lakukan sekarang isteriku? Bagaimana kandunganmu? Sudah sembilan bulan lebih. Berarti kamu akan melahirkan atau sudah melahirkan? 

 

Menjelang pulang ke Palembang aku menyempatkan belanja ke Pasar Mangga Dua, ku beli pakaian muslim untukmu, kubeli pakaian bayi untuk anakku yang ada dikandunganmu. Aku ingin memberikan kejutan, agar kamu tersenyum menyambut kedatanganku. Sesampai di Palembang, aku tidak langsung menemuimu di rumah mertua, tetapi ke kontrakkan kita untuk mengambil buku tabungan, yang kamu simpan dibawah kasur, di tumpukkannya kutemukan pula kertas merah jambu. Hatiku berdesir, darahku terkesiap. Surat cinta siapa ini, rasanya aku belum pernah membuat surat cinta untuk istriku. Jangan-jangan ini surat cinta istrimu dengan lelaki lain. Gila! Apakah kamu serong. Dengan rasa takut kubaca surat itu satu persatu. Dan Ya Allah, ternyata surat-surat itu adalah ungkapan hatimu yang selama ini aku zalimi. Tulisanmu membuat jatuhnya bendungan di pelupuk mataku tak terelakkan, betapa kamu mati-matian mencintaiku, merendam rindu akan belaianku. 

 

Kuatnya dirimu untuk menahan nestapa dan derita yang luar biasa. Hanya Allah-lah tempat kamu meratap melabuhkan dukanya. Betapa setianya kamu memanjatkan doa untuk kebaikan suamku. Dan betapa inginnya dirimu akan hadirnya cinta sejati dariku.

 

 "Rabbi dengan penuh kesyukuran, hamba bersimpuh dihadapan-Mu. Lakal hamdu ya Rabb. Telah muliakan hamba dengan Al Quran. Kalaulah bukan karena karunia-Mu yang agung ini, niscaya hamba sudah terperosok kedalam jurang kenistaan. Ya Rabbi, curahkan tambahan kesabaran dalam diri hamba" mataku basah saat membaca tulisanmu. 

 

Mengakhiri tulisan terdapat doamu" Ya Allah inilah hamba-Mu yang kerdil penuh noda dan dosa kembali datang mengetuk pintumu, melabuhkan derita jiwa ini kehadirat-Mu. Menyerahkan hati sombong ini pada-Mu. Ya Allah sudah tujuh bulan hamba-Mu ini hamil penuh derita dan kepayahan. Namun kenapa begitu tega suami hamba tak  mempedulikanku dan menelantarkanku. Masih kurang apa rasa cinta hamba padanya. Masih kurang apa kesetiaanku padanya. Masih kurang apa baktiku padanya? Ya Allah, jika memang masih ada yang kurang, ilhamkanlah pada hamba-Mu ini cara berakhlak yang lebih mulia lagi pada suamiku. Ya Allah, dengan rahmat-Mu hamba mohon jangan murkai dia karena kelalaiannya. Cukup hamba saja yang menderita. Maafkanlah dia, dengan penuh cinta hamba masih tetap menyayanginya. Ya Allah berilah hamba kekuatan untuk tetap berbakti dan memuliakannya. Ya Allah, Engkau maha Tahu bahwa hamba sangat mencintainya karena-Mu. Sampaikanlah rasa cinta ini kepadanya dengan cara-Mu. Tegurlah dia dengan teguran-Mu. Ya Allah dengarkanlah doa hamba-Mu ini. Tiada Tuhan yang layak disembah kecuali Engkau, Maha Suci Engkau". Tak terasa air mataku mengalir, dadaku terasa sesak oleh rasa haru yang luar biasa. Tangisku meledak. Dalam tangisku semua kebaikan kamu terbayang. Wajah manis dan teduh, pengorbanan dan pengabdian yang tiada putusnya, suara yang lembut, tangan yang halus bersimpuh memeluk kakiku, semuanya terbayang mengalirkan perasaan haru dan cinta. 

 

Dalam keterpurukkan terasa ada angin sejuk yang turun dari langit dan merasuk dalam jiwaku. Seketika itu pesona Grasia telah memudar berganti cintamu yang datang di hati. 

 

Cahayamu memancar terus berkilat-kilat dimata. Aku tiba-tiba begitu merindukan kamu. Segera kukejar waktu untuk mencurahkan segenap cintaku padamu. Kukebut kendaraanku. Kupacu kencang seiring dengan air mataku yang menetes sepanjang jalan. Begitu sampai di halaman rumah mertua, nyaris tangisku meledak. Kutahan dengan nafas panjang dan kuusap air mataku. Melihat kedatanganku, ibumu memelukku dan menangis tersedu- sedu. Aku jadi heran dan ikut menangis. "Mana Fadiah Bu?". Kataku dengan serak karena tercekat. Kulihat ibuku dan saudara-saudaraku juga berkumpul di situ. Ibumu hanya menangis dan menangis. Aku terus bertanya apa sebenarnya yang telah terjadi? 

 

"Fadiah…istrimu. .istrimu dan anakmu yang dikandungnya". 

 

"Ada apa dengan dia"? 

 

"Dia telah tiada". "Ibu berkata 

 

"Apa!". 

 

"Istrimu telah pergi tadi pagi ketika hendak melahirkan. Dia terjatuh di kamar mandi. Kami membawanya  ke rumah sakit. Tapi dia dan bayinya tidak selamat. Sebelum meninggal, dia berpesan untuk memintakan maaf atas segala kekurangan dan kekhilafannya selama menyertaimu. Dia meminta maaf karena tidak bisa membuatmu bahagia. Dia meminta maaf telah membuatmu menderita. Dia minta kau meridhoinya". Hatiku bergetar hebat. Dadaku terguncang.

 

"Kenapa ibu tidak menelepon dari pagi tadi?". 

 

"Ketika Fadiah dibawa ke rumah sakit, aku telah mencoba menelponmu, tapi Hpmu tidak aktif, ibu pikir, engkau sudah dalam pesawat, karena hari ini jadwal kepulanganmu. Jadi kami tunggu saja kedatanganmu, maafkanlah  kami". Aku menangis tersedu sedu. Hatiku pilu. Jiwaku remuk. Ketika aku merasakan cintamu, kamu telah tiada. Tuhan telah menghukumku dengan penyesalan dan  perasaan bersalah tiada terkira. Aku menangis di jasadmu  yang kaku. Aku ingin kamu hidup kembali. Aku ingin menunjukkan cinta dan kasih sayangku untukmu. Dunia tiba-tiba berubah menjadi gelap gulita …………

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun