===
Â
Setelah peristiwa itu, aku mencoba bersikap bersahabat denganmu. Aku  berpura-pura mesra denganmu, sebagai suami betulan. Jujur, aku hanya pura-pura. Sebab bukan atas dasar cinta, dan bukan kehendakku sendiri aku melakukannya, ini semua demi ibuku. Dan desiran-desiran angin yang membuai birahi membuat aku mampu tegak berdiri menghujam perih dari dara yang tak pernah tersentuhi. Allah Maha Kuasa. Perjuanganku menanamkan benih di ladangmu dengan kepura-puraan membuahkan hasil. Kamu hamil. Kamu semakin manis. Keluarga bersuka cita. Namun hatiku hampa karena cinta tak kunjung tiba. "Tuhan kasihanilah hamba, datangkanlah cinta itu segera." Aku bermunajat dalam nestapa.Â
Â
===
Â
Luapan Sungai Musi yang mengiringi banjir bawaan hujan di musim pasang membuat marahku menggigil kumat. Aku semakin sedih dengan cintaku yang tak pernah berlaku. Aku lupa dengan kehamilanmu. Aku seolah terombang ambing oleh gelombang Pantai Lampung Selatan yang tak pernah bersahabat bahkan hanya sekedar memberi jenak untuk istirahat para nelayan desa. Setiap saat aku hanya diam dan bergumam tentang hakekat cinta yang tak pernah aku temukan pada dirimu lagi. Setiap saat nuraniku bertanya" Mana tanggung jawabmu!"
Â
Dan akhirnya datanglah hari itu, usia kehamilanmu melewati bulan kedelapan. Dengan berat hati kamu minta ijin untuk tinggal bersama orang tuamu atas alasan kesehatan. Aku mengabulkan permintaanmu itu, dan mengantarmu ke sana. Karena rumah mertua jauh dari kantorku, mereka tak menaruh curiga kalau aku harus tetap tinggal dikontrakan. Ketika aku pamitan, sembari sujud kamu mengatakan :Â
"Abang, untuk menambah biaya kelahiran anak kita, tolong nanti cairkan tabunganku yang ada di Bank. Aku taruh di bawah kasur, surat kuasanya sudah aku siapkan". Aku menatapmu sejurus. Terbersit rasa haru mengiris hatiku. Tapi aku tetaplah pada keakuanku untuk tidak mengakui semua itu. Aku pun berlalu tanpa makna.
Â