Â
Malam itu aku tertidur dan bermimpi bertemu Grasia. Ia berlari ke arahku sambil merentangkan kedua tangannya untuk menyambut kedatanganku. Wajah cantik Grasia membungkam hentakan-hentakan birasa. Dengan lantang ia mengiriskan sembilu di telapak tangan halusnya dan berkata ingin menikah denganku. Aku mengejar bayangan itu dan mendapatkannya dalam terjangan gelora asmaranya. Sambil mengibaskan pakaian pengantin bak seorang puteri raja ia berseru memanggil namaku seraya memasrahkan letupan-letupan hangat ke dalam pelukku.Â
Â
"Abang, bangun, sudah jam setengah empat malam, Abang belum sholat Isya" kamu menyentakkan mimpiku. Aku terbangun dengan perasaan kecewa. Aku ingin marah, tapi kulihat kamu masih memakai mukena dengan pusaran telaga di kisaran mata, sepertinya engkau menangis di shalat malammu. Tapi aku tetap dongkol walaupun akhirnya menuju kamar mandi dan berwudhu. "Sialan, wanita ini telah memutuskan mimpiku", umpatku.
Â
Di musim hujan begini, harusnya aku semakin merapat menyingkap tabir asmaraku padamu. Tapi entah, hatiku semakin terasa jauh. Aku semakin tak menyukaimu. Semua perbuatanmu selalu salah di mataku. Aku merasa sulit hidup bersama kamu, aku benar-benar terpenjara dalam suasana konyol. Kamu seperti sang pujangga yang untaian kalimatnya jauh dari harapanku. Layaknya pelukis abstrak yang keindahannya tak teraba.Â
Â
"Abang, tadi ada telpon dari Ayuk Halimah, ibu demam. Kita ke sana sore ini ya…" pintamu dengan lembut. Tanpa tahu jawabanku kamu telah menyiapkan makanan kesukaan ibuku yaitu kue srikaya. Sebelum berangkat kamu masih sempat menyuguhkan teh manis dan kue srikaya ke hadapanku.Â
Â
"Dimakan Bang". Katamu dengan suara gemetar. Sebetulnya aku terharu, tapi kebencianku telah menelan segalanya. Aku tak peduli dengan kehadiranmu. Selembar koran bekas yang tak menceritakan apa-apa tetap kubaca hanya untuk mengalihkan pikiranku dari hadirmu saat itu.Â
Â