Perlahan aku mulai melihat genangan-genangan bening menetes di pelupuk matamu. Sungguh siksaan yang luar biasa bagimu. Tapi siksaan bagiku kurasakan lebih luar biasa lagi. Hidupku sangat sia-sia, gelar Doktor yang kuraihpun sia-sia, pernikahanku sia-sia, keberadaanku sia-sia. Pilu hatiku semakin menghujam manakala kamu bertanya dalam nada takut :Â
Â
"Ada apa Bang?",Â
Â
"Tidak apa-apa Fadiah…, aku masih terlalu kecil untuk menikah, belum dewasa, masih harus belajar berumah tangga". Ada kekagetan yang kutangkap diwajahmu ketika namamu kusebut.Â
Â
"Kenapa Bang, biasanya Abang memanggilku "Dinda"? Abang sudah tidak mencintaiku?" tanyamu dengan guratan wajah sedih.Â
Â
"Wallahu a'lam" jawabku tanpa perasaan. Kulihat kamu menunduk dengan mata berkaca-kaca, lalu terisak sambil memeluk kakiku.
Â
"Kalau Abang tidak mencintaiku, tidak menerimaku sebagai istri, kenapa Abang ucapkan janji di akad nikah? Kenapa Bang? Kalau perbuatanku dalam melayani Abang ada yang kurang berkenan, kenapa Abang tidak bilang dan menegurnya, itu hak Abang untuk menegurku. Tolong tunjukkan, aku harus bagaimana untuk membahagiakan Abang? Kumohon bukalah sedikit hatimu untuk menjadi ladang bagi pengabdianku, bagi menyempurnaan ibadahku didunia ini". Suaramu mengiba penuh pasrah. Aku, menangis menitikan air mata, tapi bukan karena kamu, tetapi karena keterpakuanku. Karena ketololanku.Â