Â
Kamu terlihat bangga menceritakan kehidupan kita dengan saudara-saudara dan keponakkanku. Tak kusangka, kamu mampu menutupi keburukkanku. Kamu mampu menutupi keterpurukkanmu sendiri. Tak sedikitpun terungkap apa yang terjadi diantara kita. Tak terlintas kesedihan di wajahmu. Kamu betul-betul malaikat penyelamat itu. Aku sampai tersentak saat kakakku mengatakan kita adalah pasangan yang sungguh ideal.Â
Â
Rona wajahmu memerah cerah. Matamu berbinar bahagia. Sesuatu yang bertolak belakang denganku. Dalam hati aku menangis, menangisi ketidakmampuanku membuatmu bahagia. Menangis disebut pasangan ideal. Apanya yang ideal. Apa karena aku Doktor di bidang ekonomi dan kamu sarjana lulusan terbaik serta hafal Al Quran? Ideal bagiku adalah seperti Sopan Sopiaan dan Widyawati, atau seperti Romeo dan Juliet. Tapi aku dan kamu? Aku belum bisa memiliki cinta seperti yang kamu miliki. Aku belum mampu memiliki hati seperti yang telah kamu genggam.
Â
Aku dibuat kaget oleh sikap kamu yang begitu kuat menjaga kewibawaanku di mata keluarga. Pada  ibuku dan semuanya tidak pernah kamu ceritakan tentang keburukkanku, hanya kata sanjungan atas kebaikanku  sebagai seorang suamilah yang keluar dari bibir mungilmu. Bahkan kamu mengaku bangga dan  bahagia menjadi istriku. Aku sendiri dibuat pusing dengan sikapku. Lebih  pusing lagi sikap ibuku dan mertuaku yang menyindir tentang keturunan.Â
Â
"Sudah satu tahun putra sulungku menikah, koq belum ada tanda-tandanya ya, Â padahal aku ingin sekali menimang cucu" kata ibuku.Â
Â
"Insya Allah tak lama  lagi, ibu akan menimang cucu, doakanlah kami. Bukankah begitu, Abang?" sahutmu sambil menyikut lenganku, aku tergagap dan mengangguk sekenanya.Â
Â