Setelah kamu tinggal bersama ibumu, aku sedikit lega. Setiap hari aku tidak bertemu dengan orang yang membuatku tidak nyaman. Entah apa sebabnya  bisa demikian. Hanya saja aku sedikit repot, harus menyiapkan segalanya. Tapi toh bukan masalah bagiku, karena aku sudah terbiasa saat kuliah di Jogjakarta dulu.
Â
====
Â
Waktu terus berjalan, sudut kamar usang sudah menanti datangnya pergulatan. Pelataran bangunan cinta kita sudah semakin kusam. Bayangan buram tidak hanya sekedar angan. Suatu saat aku pulang dalam siraman hujan. Jas hujan dan jaket kulit yang biasa menemani perjalanan tertinggal di rumah, padahal biasanya kamu selalu mengingatkan. Akibatnya, tubuhku lemas dan gemetaran hingga malam harinya diserang muntah-muntah, menggigil, kepala pusing dan perut mual. Saat itulah terlintas di hati akan hadirnya dirimu. Bayang-bayang wajah yang sibuk menyiapkan air panas, bubur kacang hijau, mengeroki punggungku, lalu menyuruhku istirahat dan menutupi tubuhku dengan selimut begitu nyata di pelupuk mata.Â
Â
Aku benar-benar tersiksa dan menderita. Aku terbangun jam enam pagi. Badan sudah segar. Tapi ada penyesalan dalam hati, aku belum sholat Isya dan terlambat sholat subuh. Andaikan ada kamu tentu ini tak akan terjadi.Â
Â
Lintasan sosok kamu hilang seiring keberangkatan ke kantor. Apalagi aku mendapat tugas pendidikan ke Jakarta. Di sana aku mendapatkan kawan baru yang menikah dengan seorang yang layak disebut selebritis. Dia bilang isterinya cantik dan sangat dikenal oleh masyarakat karena sering muncul di televisi.Â
Â
"Kamu sudah berkeluarga?" tanya Anton, demikian namanya.Â