Suharto tampak terkejut. "Apa yang akan Anda katakan, Pak?"
"Aku akan mengakui beberapa kesalahan. Kita tidak bisa terus menutupi masalah ini. Tapi aku juga akan menunjukkan bahwa kita punya rencana untuk memperbaikinya."
Wahyudi mengangguk pelan. "Ini langkah yang berani, Pak. Tapi bisa jadi inilah satu-satunya cara untuk menyelamatkan pemerintahan ini."
Yono menatap Wahyudi sejenak sebelum akhirnya berbalik. "Berani atau tidak, ini yang harus kita lakukan."
Saat malam menjelang, rakyat Indonesia menunggu dengan penuh harap. Di luar sana, angin perubahan semakin kencang bertiup, membawa bangsa ini menuju persimpangan besar dalam sejarahnya. Sementara itu, di dalam Istana, Yono bersiap untuk menghadapi salah satu momen paling penting dalam karier politiknya---momen yang akan menentukan apakah ia akan bertahan sebagai pemimpin, atau tumbang di hadapan kekuatan rakyat.
Bab 5: Pernyataan Yono
Malam itu, semua stasiun televisi nasional menyiarkan siaran langsung dari Istana Negara. Lampu-lampu kamera menyala terang, sorotan media tertuju pada sebuah podium megah di dalam ruangan besar istana. Di balik podium itu, Presiden Yono berdiri, mengenakan setelan resmi yang biasa ia kenakan dalam pertemuan kenegaraan. Namun, kali ini, wajahnya tampak lebih tegang. Bukan sekadar karena sorotan kamera, tapi karena beban berat yang tengah ia pikul---kepercayaan rakyat yang berada di ambang kehancuran.
Di luar istana, ribuan pasang mata menatap layar televisi dengan penuh perhatian. Jalanan Jakarta, yang biasanya hiruk-pikuk dengan suara kendaraan, mendadak sunyi. Protes di sekitar Monumen Nasional seakan membeku sejenak, menunggu kata-kata yang akan keluar dari mulut sang pemimpin.
Presiden Yono menatap ke depan, menunggu tanda dari sutradara siaran. Ketika tanda diberikan, ia mulai berbicara dengan suara yang tenang namun penuh ketegasan.
"Saudara-saudara sebangsa dan setanah air, malam ini saya berdiri di sini bukan sebagai seorang presiden yang memerintah, melainkan sebagai seorang pemimpin yang mendengarkan. Saya telah melihat, mendengar, dan merasakan langsung suara hati rakyat Indonesia dalam beberapa pekan terakhir. Suara yang penuh dengan kejujuran, harapan, dan juga kekecewaan. Dan sebagai seorang pemimpin yang dipilih oleh rakyat, saya menyadari bahwa tanggung jawab terbesar saya adalah untuk mendengarkan dan merespon dengan jujur."
Ia berhenti sejenak, menghela napas, lalu melanjutkan.