"Kita tidak bisa membiarkan ini terjadi," kata Yono dengan tegas. "Jika mereka berhasil, seluruh reformasi yang kita bangun akan hancur, dan negara ini akan kembali ke tangan para koruptor."
Wahyudi mengangguk. "Saya sudah memantau gerakan mereka, Pak. Kita harus bergerak cepat sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh."
Di tengah tekanan yang semakin kuat dari dalam dan luar, Yono memutuskan untuk mengambil langkah drastis. Ia memanggil rapat kabinet darurat. Dalam rapat itu, Yono memberikan ultimatum kepada seluruh menteri yang hadir.
"Saya tahu ada yang bermain di belakang layar untuk menghancurkan reformasi ini," kata Yono dengan suara yang terdengar tegas. "Saya tidak akan mundur. Saya sudah berjanji kepada rakyat untuk melakukan perubahan, dan saya akan melakukannya. Jika ada yang merasa tidak bisa mendukung langkah ini, saya minta Anda mundur sekarang juga."
Rapat hening. Beberapa menteri terlihat gelisah, sementara yang lain menatap Yono dengan tajam, tetapi tidak ada yang berani langsung menantangnya. Mereka tahu bahwa Presiden Yono adalah sosok yang tangguh, dan meskipun saat ini ia sedang berada di bawah tekanan, ia bukan tipe pemimpin yang mudah menyerah.
Di luar istana, gelombang perlawanan politik semakin kuat. Para menteri yang bersekongkol dengan pengusaha besar mulai bergerak dengan taktik halus, menggerakkan media yang mereka kuasai untuk menciptakan narasi bahwa reformasi Yono berbahaya bagi stabilitas negara. Mereka mulai menebar ketakutan di masyarakat bahwa langkah-langkah keras Yono bisa menyebabkan krisis ekonomi.
Namun, Yono tidak menyerah. Dengan dukungan dari sebagian rakyat yang percaya pada niat baiknya, serta kekuatan moral dari reformasi yang ia usung, Yono terus bergerak maju. Ia tahu bahwa kemenangan dalam pertarungan ini tidak hanya soal politik, tetapi soal masa depan bangsa.
Dan di tengah badai yang semakin besar, Yono tetap berdiri tegak. Ia tahu bahwa pertempuran ini belum berakhir, tapi dengan setiap langkah yang diambil, ia semakin yakin bahwa ia berada di jalan yang benar.
Bab 9: Di Ujung Tanduk
Pagi itu, Jakarta diguyur hujan deras. Langit kelabu seperti mencerminkan suasana hati Presiden Yono, yang sedang duduk di ruang kerjanya dengan tatapan kosong ke arah jendela. Badai politik yang terus menderanya kini mencapai puncak. Ancaman datang dari segala arah, mulai dari menteri-menteri yang berkhianat hingga tekanan luar biasa dari para pengusaha yang selama ini menguasai ekonomi negara.
Telepon di meja kerjanya berdering. Hanafi, Sekretaris Kabinet, masuk dengan wajah serius. "Pak, ada laporan dari intelijen. Sepertinya beberapa menteri dan tokoh-tokoh penting di parlemen sedang merencanakan mosi tidak percaya terhadap Bapak. Mereka ingin menuntut sidang istimewa."
Yono memejamkan mata sejenak, mencoba menahan emosi yang mulai mendidih di dalam dirinya. Mosi tidak percaya? Ini adalah puncak dari semua manuver politik yang sudah lama ia waspadai.