Bab 3: Reaksi Istana
Di tengah hiruk-pikuk Jakarta, suasana di dalam Istana Negara terasa mencekam. Telepon berdering tanpa henti, rapat darurat digelar, dan wajah-wajah para pejabat yang biasanya tenang kini dipenuhi kecemasan. Laporan Andi dari Lembaga Riset Lanskap Politik Indonesia telah menyebar ke seluruh media nasional hanya dalam hitungan jam. Televisi-televisi menayangkan potongan-potongan presentasi yang mencengangkan, sementara media sosial dipenuhi oleh diskusi dan perdebatan panas tentang empat kesalahan besar yang dilakukan Presiden Yono.
Di sebuah ruang rapat eksklusif, Presiden Yono duduk di ujung meja panjang, dikelilingi oleh para menteri senior dan penasihat politiknya. Matanya menatap layar televisi yang menampilkan liputan media mengenai laporan tersebut. Suara reporter terdengar tegas, mengungkap setiap poin yang dipaparkan Andi seakan-akan mengadili langsung kepemimpinannya di hadapan publik.
"Pak, ini sudah di luar kendali," ujar Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Suharto, dengan nada cemas. "Kita harus mengambil tindakan cepat. Kalau tidak, opini publik akan semakin tidak terkendali."
Yono menatap Suharto tajam. "Tindakan cepat seperti apa yang kamu maksud? Menyensor media? Menangkap Andi?" Nada suaranya terdengar marah, namun di balik itu, ada kegelisahan yang tak bisa disembunyikan.
Menteri Sekretaris Negara, Basuki, mencoba menenangkan situasi. "Kita harus bertindak bijaksana, Pak. Kalau kita bereaksi terlalu keras, justru akan membuat rakyat semakin marah. Kita butuh strategi yang lebih cerdas. Kita bisa mulai dengan merilis pernyataan resmi yang membantah poin-poin yang mereka sampaikan."
"Apa yang bisa kita bantah?" sela Yono dengan frustrasi. "Semua yang dia katakan punya dasar. Kita memang punya masalah dengan legislatif, peradilan, penegakan hukum, dan utang. Kita tidak bisa sepenuhnya menyangkal itu."
Rapat mendadak sunyi. Tak ada yang berani menatap langsung ke arah Yono. Mereka tahu, meskipun Presiden jarang menunjukkan kemarahannya di depan publik, di ruang rapat ini, dia bukanlah sosok yang bisa dengan mudah menerima kritik, terutama jika itu menyangkut kepemimpinannya.
"Jadi, apa rencanamu?" tanya Yono akhirnya, matanya beralih ke Penasihat Politik Utama, Wahyudi.
Wahyudi, seorang pria berusia lima puluhan yang dikenal cerdik dan penuh perhitungan, menyesuaikan posisi duduknya sebelum menjawab. "Kita tidak bisa meremehkan pengaruh Andi dan lembaganya. Dia memiliki kredibilitas di kalangan akademisi dan aktivis politik. Jika kita terlalu keras menyerangnya, kita akan terlihat seperti pihak yang tidak toleran terhadap kritik. Tapi kita juga tidak bisa berdiam diri. Yang bisa kita lakukan adalah memunculkan narasi yang lebih besar---narasi bahwa kesuksesan pemerintahan ini jauh melampaui masalah-masalah yang mereka soroti. Kita tonjolkan proyek-proyek pembangunan, pengentasan kemiskinan, dan peningkatan ekonomi."
Suharto mengangguk setuju. "Betul, kita harus fokus pada apa yang telah kita capai. Bagaimanapun juga, banyak daerah yang menikmati manfaat dari proyek-proyek infrastruktur kita."