Dua minggu setelah laporan Andi mengguncang politik nasional, jalan-jalan di pusat Jakarta dipenuhi lautan manusia. Ribuan orang, dari berbagai latar belakang, turun ke jalan untuk menyuarakan protes terhadap pemerintahan Presiden Yono. Suasana panas, tak hanya karena matahari yang terik, tetapi juga karena ketidakpuasan yang memuncak. Bendera-bendera dengan slogan-slogan pemberontakan berkibar di udara. Di sepanjang jalan protokol, spanduk besar bertuliskan "Reformasi Hukum, Bukan Dinasti!" dan "Keadilan untuk Semua" menjadi simbol kemarahan rakyat.
Andi, yang menjadi wajah utama gerakan ini, berada di belakang panggung besar yang didirikan di depan Monumen Nasional. Ia tidak menyangka bahwa laporan yang ia buat dengan tujuan membuka mata publik akan berujung pada protes massal sebesar ini. Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa ini adalah konsekuensi dari ketidakpuasan yang telah lama terpendam.
"Kamu sudah siap?" tanya Rina, yang kini menjadi salah satu koordinator utama aksi ini.
Andi menatap kerumunan di depan mereka. "Lebih dari siap. Tapi aku tidak pernah membayangkan bahwa akan sebesar ini."
Rina mengangguk, matanya menatap tajam ke arah panggung. "Ini bukan lagi tentang kita, Andi. Ini sudah menjadi gerakan rakyat. Mereka merasa didengar, dan itu berbahaya bagi siapa pun yang ingin mempertahankan status quo."
Sementara itu, di dalam Istana Negara, Presiden Yono memperhatikan siaran langsung dari aksi tersebut melalui layar televisi di ruang pribadinya. Di sekelilingnya, beberapa pejabat tinggi mencoba menenangkan situasi, tetapi tak ada yang bisa menyangkal bahwa gelombang protes ini bukan lagi sekadar kritik. Ini adalah ancaman langsung terhadap kekuasaannya.
"Seberapa serius ini?" tanya Yono kepada Menteri Koordinator Bidang Politik, Suharto, yang duduk di hadapannya dengan wajah tegang.
"Pak, ini sudah di luar dugaan kita. Laporan Andi berhasil menyatukan berbagai elemen masyarakat yang sebelumnya diam. Ini bukan hanya soal kritik kebijakan lagi. Ini soal kepercayaan, dan kita kehilangan itu dengan cepat," jawab Suharto dengan nada putus asa.
Yono menghela napas panjang. "Kita harus mengambil langkah tegas. Jika kita biarkan ini terus berlanjut, protes ini akan berkembang menjadi sesuatu yang lebih berbahaya. Apa rencana kita?"
Wahyudi, Penasihat Politik Utama, melangkah maju dan menatap Yono dengan ekspresi yang penuh strategi. "Kita punya dua pilihan. Pertama, kita bisa menggunakan pendekatan represif, memberlakukan keadaan darurat, dan membubarkan protes ini dengan kekuatan aparat. Tapi itu akan membuat situasi semakin memburuk dan mungkin memicu perlawanan lebih besar."
Yono menatap Wahyudi, lalu bertanya dengan tenang, "Dan pilihan kedua?"