Prolog
"Pecahkan! Pecahkan kacanyaa!!" seru seseorang yang diikuti teriakan berombongan orang-orang yang terlihat murka sekaligus semangat yang berapi-api.
"Jangan beri kesempatan! Perkuat pertahanan!" komando seseorang di tempat lain. "Siap!" dibalas oleh para bawahannya.
Bunyi letupan dan suara bising pekikan manusia memenuhi gendang telinga dalam lingkupan panas matahari. Tak terlihat satupun makhluk yang gentar, tak ada yang menyerah. Semua pengorbanan akhirnya terbayar saat terdengar suara ledakan yang lebih besar dari sebelumnya tercipta.
Sorakan demi sorakan tergaungkan di udara, disertai gerakan gesit setiap para insan menerobos apapun didepannya. "Berhasil!" satu kata yang terucap serentak, menghasilkan kegembiraan sekaligus keresahan pada saat itu.
"Bagaimana ini?" risau pemuda disamping sang tuan yang tadi memberi komando.
I. Rencana
Mata seseorang itu sedang berusaha melawan otaknya yang mengharuskan beradaptasi dengan cahaya cerah yang siap menerpa semua makhluk hidup. Sampai akhirnya otaknyalah yang berhasil menang, kelopak mata yang awalnya tertutup itu perlahan membuka dan langsung disambut sinar mentari yang selalu mengawali pagi gadis cantik itu. Aku mengerjap, menyesuaikan diri dan mulai menggerakkan bagian tubuh yang terasa kaku bak tertindih batang pohon besar. Padahal aku sendiri tak tahu bagaimana rasanya tertindih pohon besar. Sudah menjadi hal yang lumrah, selama hidupku aku hanya tertidur diatas tanah rata dengan alas daun. Akupun heran, Ibuku dan orang-orang sekitar tak pernah mempermasalahkan kebiasaan tersebut, sedangkan aku mengapa sampai saat ini selalu tak bisa terbiasa.
Ah sudahlah, mengapa sepagi ini aku memaksa otakku bekerja keras memikirkan hal yang tak pernah kutemukan jawabannya. Lebih baik aku bersiap, berangkat sekolah, lalu belajar. Klise sekali, melakukan hal serupa secara berulang-ulang walaupun aku tak merasa demikian. Jujur saja, aku sering kali membolos sekolah karena bosan harus mendengarkan celetohan yang tak pernah berubah temanya, sejarah. Yap, yang kupelajari hanyalah sejarah, sejarah dunia yang sedang kutinggali ini, sejarah yang tak seorangpun menyangkalnya. Hal lainnya yang dipelajari adalah belajar memanjat dan menahan nafas. Jika ada yang bertanya mengapa pelajaran itu diperlukan, maka jawabannya adalah untuk bertahan dan melindungi diri.
Dari hasil tangkapan otakku, dapat disimpulkan bahwa dahulu tempat yang kutinggali sekarang entah dosa apa yang telah diperbuat hingga dijatuhi hujan lebat dan tsunami yang menenggelamkan daratan sampai yang tersisa hanya daratan tinggi yang kupijak saat ini. Para leluhur memberi wanti-wanti jikalau malapetaka itu kembali datang, kita harus bisa bertahan hidup seperti yang mereka lakukan dahulu sampai bisa selamat. Setidaknya itulah yang kudengar, yang selama ini merasuki otak, memaksa tuk percaya apapun yang diceritakan para leluhur, yang kemudian disampaikan kembali di sekolah. Bahwa kita adalah orang-orang yang beruntung karena selamat dari musibah itu, mungkin diluar sana banyak orang yang tak bertahan, kalaupun sebaliknya pasti hidup mereka susah karena tidak ada berbagai buah untuk makan seperti yang kita tempati saat ini. Kita adalah orang-orang beruntung. Itu sudah seperti motto hidup di lingkunganku.
"Ica! Kamu ini, kerjaannya melamun terus, itu Ida dan Aca sudah menunggumu untuk pergi sekolah," ucap Ibu mengagetkanku.
"Haduh bu iya iya aku pamit sekolah dulu ya." Setelahnya aku melakukan hal yang biasanya anak baik lakukan, mencium tangan dan pipi Ibu selayaknya keluarga harmonis. Ibu pun membalasnya, sungguh, tak ada hal lain lagi yang kuperlukan selain kasih sayang Ibuku itu.
"Belajar yang benarlah kau ini Ica, bulan ini kau harus lulus uji menahan nafas. Jangan seperti bulan lalu. Tidakkah kau malu dengan rekan-rekanmu itu, mereka sudah mulai belajar ke tahap membuka mata didalam air." ujar Ibu keras agar aku mendengar.
"Bu, kemampuan orang itu beda-beda, aku tak suka melakukan itu, mungkin saja kan bakatku adalah berlari diatas air," jawabku asal.
Setelahnya terdengar suara kedua orang yang malas kuanggap teman itu menertawaiku. Dasar bocah! Selalu mengejek karena khayalanku yang mereka tau tak mungkin terjadi, berbeda denganku yang percaya apapun bisa terjadi. Mereka bukan bocah sih, aku hanya diatas mereka 6 bulan, tapi tetap saja mereka bocah dimataku.
"Berisik kalian, aku menantang kita lomba lari ke sekolah. Aku akan hitung 1 sampai 3. Siap? Satuuu sampai tiga!!" Ya aku tau pasti mereka mengutukku karena hitungan itu, tapi tetap saja diantara kita tau siapapun yang lari, Icalah pemenangnnya.
"Heyy stop! Kalian tau aku lemah dalam berlari, tapi apa-apaan ini? Kalian mem buatku ham pir mati ka re na le lah!" ucap Ida tersenggal-senggal sesampainya di area sekolah.
"Janganlah dirimu membawaku dalam permasalahan ini kawan. Hanya teman tak tau diri bernama Ica ini yang membuat kita kelelahan seperti ini, dan aku sebagai makhluk normal hanya mengikuti alurnya saja." puitis Aca setiap kali berbicara.
"Hahahaha," tawaku terbahak "kalian bisa aja ngeremehin aku soal menahan nafas, tapi lihat, tak ada yang menandingi kecepatan larianku, bukan?" rasa bangga dan sedikit sombong itu keluar dari bibirku.
"Diam kau! Kita masuk aja ayo!"
"Tidak, aku akan ke dermaga seperti biasa, dadah kawan-kawan tersayangkuu" ujarku berlalu.
Aca tak habis pikir dengan kebiasaan makhluk yang disebut teman itu selalu melakukan hal yang berbanding terbalik dengannya. Tapi ternyata..
"Aku ikut Ica ah! Pengen jugalah nyobain gimana rasanya membolos, hehehe dadah juga temanku tercinta, muach!" kata Ida yang langsung berlari menyusul Ica. Lagi, Aca tak habis pikir ternyata satu teman normalnya itu bertingkah sama, dan lihatlah, tadi dirinya baru saja kelelahan tapi sekarang apa? Berlari kembali. Acapun menyimpulkan bahwa hanya dirinyalah yang hidup dengan normal dan menaati peraturan. Dasar orang-orang aneh, kalau mereka tidak masuk sekolah, hal lain apa yang bisa dilakukan? Semenyenangkan apa hanya dengan duduk terdiam meratapi nasib? Pertanyaan yang menghantui pikiran Aca. Tapi otak dia lebih normal, jadi Acapun memutuskan masuk sekolah daripada mengurusi teman-temannya itu.
Terpaan angin yang menyentuh pipi Ica selalu menjadi hal favorit baginya. Tenangnya deruan air akan menenangkan hatinya juga. Luasnya lautan membentang yang disuguhkan tak pernah tak indah dibayangan matanya. Ica, gadis yang selalu menghabiskan waktunya di dermaga itu akan kembali mengingat ayahnya. Ayahnya yang pergi meninggalkan, tidak, Ica bahkan tidak tau maksud meninggalkan yang ayahnya lakukan itu apa. Ia hanya tau, bahwa Ayahnya pergi meninggalkan tempat yang ia tinggali, yang menjadi persemayaman hidupnya, untuk pergi ke seberang laut sana, keluar dari pemukiman yang katanya aman ini. Hingga sampai 7 tahun kemudian, sosok pahlawan yang dinanti Ica itu belum kembali. Setidaknya itulah yang diyakini Ica, belum.
"Ayah, ayah, ayah mau kemana?" bingung Ica ketika melihat Ayahnya bersiap ditepi dermaga.
"Ayah akan mencari hal besar, sayang. Kamu disini harus bisa menjaga Ibumu, oke?" jelas Ayah Ica.
"Hal besar sebesar apa Ayah? Apa sebesar tempat ini? Lalu Ayah, bagaimana bisa aku menjaga Ibu, akukan lebih kecil daripada Ibu," heran gadis kecil itu tak mengerti.
"Besar nanti kau akan mengerti, nak." seraya mengelus puncak kepala gadis kecil di hadapannya.
"Kalau gitu aku ingin cepat-cepat besaaar ya, Yah. Ayah juga harus cepat kembali untuk main bersamaku." peluk Ica pada Ayahnya yang sudah mensejajarkan tubuhnya dengan putri satu-satunya itu.
Tanpa bunyi yang terdengar dari mulutnya lagi, Ayah berlalu dengan senyuman dan seperangkat kayu yang terambang diatas air, yang dikemudian hari diketahui Ica bernama perahu. Seperti anak kecil yang tak mengerti apa-apa, Ica hanya tersenyum dan berpikir Ayahnya sedang jalan-jalan atau mencari makanan yang bentuknya besar. Disaat itu, ada yang menyentuh pundaknya.
"Mungkin selama ini kamu berfikir bahwa hanya kamulah yang punya pikiran untuk ikut menjelajah seperti Ayahmu itu. Tapi Ica.." ucap Ida menggantung membuatku tersadar dari bayangan masa lalu dan menoleh "Apa?" hening sebentar, "Aku juga ingin tau apa yang ada diseberang sana, apa yang bisa kita temukan selain di tempat ini." ujar Ida lirih.
"Hey mengapa intonasimu begitu? Dengar Ida, kalau kau memang memiliki keinginan seperti itu, kau harus yakin dan tegas mengucapkannya! Aku tau kita bisa! Aku tau kita mampu! Seperti yang Ayahku lakukan!" ujarku penuh tekad.
"Tapi, bagaimana dengan orang-orang disini? Mereka akan meremehkan dan melarang kita kalau kita melewati laut ini, em seperti yang terjadi pada Ayahmu," cicitnya kecil karena takut menyinggung perasaanku.
"Tidak! Merekalah orang-orang yang patut diremehkan karena tak berani mencari kebenaran yang belum pasti itu! Apa mungkin banjir itu menenggelamkan daratan? Lalu bagaimana dengan daratan lainnya diujung sana? Apa mungkin juga para leluhur bisa lari secepat itu ke daratan tinggi dan mengalahkan kecepatan banjir dan tsunami itu? Sejarah macam apa itu?!" ucapku murka.
"Berhenti Ica! Jika ada orang yang mendengar, kau akan dihukum karena mempertanyakan kebenaran sejarah."
"Kenapa, Da? Kau takut? Baru saja kau bilang ingin menjelajah, sekarang apa?"
"Baiklah baiklah, kita akan pikirkan itu. Jadi apa rencanamu?"
Yang terjadi selanjutnya adalah Ica yang mengajak Ida ke ruang kerja Ayahnya yang berada didekat dermaga. Dirabanya permukaan tanah yang sedikit menonjol. Dijangkaunya benda dibalik tanah itu. Setelah butiran tanah tersapu bersih oleh lengan Ica, mereka berdua dapat melihat bentuk baru yang tak pernah ditemukan di daerah mereka. Kecil, lonjong, dan saat diketuk mengeluarkan bunyi nyaring, di dalamnya terdapat cairan seperti air lautan tetapi dengan warna biru gelap. Kebingungan Ida terjawab saat Ica berucap, "Ini adalah botol berisi cairan yang akan membuat kita bisa bernafas dan berenang dalam laut! Itulah yang ditulis oleh Ayahku di bukunya" semangatku menggebu.
"Maksudmu apa? Mana mungkin hal itu terjadi?" keheranan Ida.
"Bukankah Ayahku adalah orang yang membuat semua hal menjadi mungkin? Lihatlah Ida! Ayah mempunyai ramuan yang disebut kita ini tak mungkin ada!"
"Lalu kau merahasiakan ini?"
"Justru itu, aku harus merahasiakannya, aku tak ingin orang lain yang akan memakainya untuk keuntungan mereka. Bahkan aku masih merahasiakannya dari Ibu" jujurku.
"Tunggu, mengapa kau begitu yakin bahwa itu ramuan yang bisa membuat kita dapat bernafas bahkan berenang dalam air?" sangkal Ida.
"Kau masih ingat tidak? Aku pernah cerita mengapa aku tak pandai belajar menahan nafas? Karena Ayahku sendiri enggan berurusan dengan air. Itu kata Ibuku. Lalu bagaimana bisa Ayah menyeberangi lautan itu kalau bukan karena ramuan ini." yakin diriku.
Ida kembali berpikir, "Terus kenapa ayahmu meninggalkan ramuan ini disini?"
"Kau ini, berpikirlah dengan cepat, Ayah mungkin ingin agar siapapun yang menemukannya, oh tidak mungkin maksudnya diantara aku atau Ibuku menemukannya, kita bisa ikut menjelajah seperti yang beliau lakukan!" pekikku girang membayangkan betapa hebatnya ayah telah memikirkan rencananya dengan matang.
Awalnya Ida ragu, tapi demi melawan rasa penasarannya, ia akhirnya setuju ikut denganku melihat dunia luar. Saat jam sekolah berakhir, aku dan Ida memutuskan untuk menemui Aca dan menawari, lebih tepatnya mengajaknya ikut menjelajah tempat yang belum terjamah orang penduduk di pemukiman ini, selain Ayah tentunya.
Tapi jawaban mengecewakan harus kudapatkan dari Aca. Ia menolak mentah-mentah tawaran yang kulakukan, padahal sudah kujelaskan mengenai ramuan yang Ayah miliki, tapi ia tetap bersikeras dengan perkataannya, "Cukup! Pikiran kalian yang sembrono itu masih diriku maklumi. Tapi oh tidak kawan, untuk hal senekat itu? Tidak! Tidak! Terlintas dalam sel otakku saja tidak, ini kalian justru mengajakku melakukan hal yang akan membahayakan nyawa kita sendiri? Sadarlah kalian, kita disini sudah beruntung karena masih bisa bertahan hidup dari ganasnya dunia!" ucapnya tertahan takut orang lain mendengar.
"Aca, otakmu itu sudah benar-benar teracuni oleh perkataan leluhur turun temurun itu. Tapi kita tak perlu sama dengan mereka, kan? Kita bisa saja membuktikan bahwa ada kebenaran lain yang tidak kita ketahui? Bagaimana kalau ternyata banyak pula orang yang selamat dari malapetaka itu? Bagaimana ka-" ucapku terpotong.
"Tidak! Baiklah, Ica, aku sudah mendengar bagaimana dulu Ayahmu melawan peraturan disini dengan menyeberangi lautan, tapi liat sampai sekarang, apa dia kembali?" panasnya keadaan karena perkataan menohok itu.
"Justru itu kita mencari tau bagaimana keadaan Ayah Ica, bisa jadi beliau tetap hidup dan sedang mencari cara kembali atau mengirim bantuan lainnya," Ida menengahi.
"Lalu bagaimana dengan kita? Kalaupun ayahnya Ica masih hidup itu karena ia orang dewasa. Anak berusia kurang lebih 12 tahun seperti kita bisa apa?" gertak Aca.
"Aca cukup! Kalau kau tak ingin bergabung dengan kita yasudah baiklah. Tapi bukan berarti kamu mesti menggoyahkan niat kami ini, kan? Kalau tak mau ikut tak apa, aku hanya terbiasa kita bertiga, jadi mana mungkin aku tak mengajakmu. Itu saja." ujarku seraya pergi yang kemudian diikuti Ida. Aca hanya bisa menatap hampa kepergian kami. Karena jauh dilubuk hatinya aku tau, Aca pun tak ingin ditinggalkan di pemukiman ini, akupun tau Aca ingin bebas, bebas dari pelajaran memanjat yang tak disukainya, bebas dari bosannya makanan yang mesti dipanjat dulu baru bisa makan, bebas untuk dirinya sendiri dari hidup yang tergantung hanya melalui hutan yang entah kapan saja bisa habis isinya, terlebih hidupnya justru lebih runyam karena sejak kecil hanya tinggal bersama bibinya.
Sesampainya dirumah, aku sudah tahu mesti melakukan apa pada Ibu, meminta izin padanya, mungkin hal itu juga yang dilakukan Ida pada orang tuanya. Ini memang bukan hal mudah, gadis yang baru berusia 12 tahun sudah memikirkan hal besar yang bisa membahayakan dirinya sendiri. Disaat anak lain sibuk bermain diusianya, Ica justru mempunyai jiwa pembangkang dan petualangan seperti Ayahnya.
Ibu yang begitu menyayangi anaknya sudah pasti akan menghindari anaknya dari berbagai macam malapetaka. Tapi bagaimanapun tekad Ica sudah bulat untuk mengikuti jejak sang Ayah.
Ketika ibu bertanya bagaimana aku bisa melewati rintangan yang ada, aku akhirnya menjelaskan mengenai ramuan yang aku temui dalam ruang kerja Ayah. Terlihat jelas dimatanya kalau Ibu kaget, mengapa tidak, tidak ada yang menyentuh ruangan itu lagi semenjak kepergian Ayah. Itulah yang Ibu tahu.
"Nak, apa yang mau kau dapatkan diluar sana? Kau tak bahagia disini?" tanya Ibu.
"Kebebasan, kebebasan bu! Bukan hanya kebebasan aku, tapi juga untuk Ibu, untuk semuanya. Kehidupan baru yang lebih sejahtera, harapan baru dan runititas lain yang bisa ku lakukan dengan kawan-kawan. Bu, sekarang aku yang bertanya, apa Ibu bahagia dengan hidup yang Ibu jalani saat ini? Dengan pahitnya kehidupan ini? Apa Ibu nyaman dengan hidup tanpa adanya inovasi ini?" balikku bertanya.
"Kau begitu persis seperti Ayahmu," kulihat embun di pangkal mata sayunya itu memaksa keluar, "Ibu bisa apa nak, kamu adalah seorang anak yang ingin mengubah nasibnya, kau adalah seorang anak yang ingin menemui Ayahnya. Ibu bisa apa, dukungan Ibu selalu bersamamu, selalu." pernyataan beliau yang diiringi pelukan menghangatkan.
Sambil membalas pelukannya aku bertanya, "Apa ibu akan ikut denganku?" Ibu menatapku nanar, "Ibu sangat ingin nak, tapi.." hentinya "Ibu yang akan menyamarkan kepergianmu, Ibu tak ingin kau diremehkan dan ditertawakan seperti Ayahmu, Ibu tak ingin kau tertangkap dan dihukum karena melanggar peraturan," dan kulihat embun itu telah bertumpuk menjadi air mata yang terjun membasahi pipi lembutnya.
"Bu, percayalah padaku, apapun yang akan kutemukan didunia tak berujung itu, pasti akan membuat Ibu bangga, akan kutunjukkan apa yang telah kulihat pada Ibu, percayalah bu," senyuman terpahat indah dibibir mungilku itu.
Sosok yang menjadi kekuatan dan penyangga hidupku itu akhirnya mengangkat kedua ujung bibirnya keatas. Dengan perasaan haru, beliau kembali merentangkan tangannya dan bersiap memelukku, tak akan kusia-siakan, maka akupun melakukan hal demikian.
II. Awal Pengembaraan
Hari yang ditunggu olehku dan Ida pun tiba, setelah terpatri sebercah sumber cahaya di bumi itu menampakkan dirinya malu-malu, aku bergegas untuk menjemput Ida dirumahnya. Rumah itu, sama seperti yang semua orang miliki disini, hanya sebatas bambu vertikal ditengah sebagai penyangga, dikelilingi daun-daun kering yang kokoh menjuntai dari tengah bambu sampai ke dasar tanah. Di pertengahan daun itu, terdapat celah yang orang sebut sebagai jendela. Di dalamnya hanya ada peralatan yang biasa digunakan untuk membakar makanan. Hanya sebatas itu, karenanya mungkin kata rumah pun kurang pantas untuk disebutkan, tempat itu hanyalah tempat berteduh kami dari jahatnya panas matahari. Bahkan menghalau hujan pun masih sulit dengan tetesan yang merembes masuk melalui celah-celah, setelahnya daun-daun itu akan digantikan dengan daun baru yang lebih lebar nan kokoh.
Sesulit itu menyesuaikan diri dari ganas sekaligus indahnya alam. Ayah telah menemukan hal baru dari hasil ketidaksengajaan saat beliau memikirkan rencana petualangannya, penemuan itu membuat orang di pemukiman ini lebih mudah mencari makanan, karena yang ditemukan Ayah adalah makanan yang terdapat didalam tanah, walaupun tak banyak ditemukan. Orang-orang yang enggan memanjat sudah pasti sangat terbantu, tapi apa yang justru mereka lakukan, menertawakan Ayah karena rencana bodohnya bagi mereka. Mereka yakin Ayah takkan berhasil bertahan hidup diluar sana, dengan ejekkannya mereka melupakan jasa dan penemuan Ayah yang telah mempermudah itu.
Dengan memikirkannya saja membuatku ingin secepatnya meninggalkan pemukiman serba terbatas ini. Kulihat orang tua Ida yang saling menggenggam menguatkan diri untuk melepaskan keinginan anaknya itu menjelajah. Aku semakin paham bagaimana bentuk cinta yang keluarga berikan, entah itu menjaga atau mengikhlaskan. Kedua sosok orang tua itu hanya menatap kepergian anaknya dengan tangisan tertahan, mereka sama seperti Ibu, tak ingin orang curiga bahwa ada sekelompok makhluk kecil yang akan memulai perjalanan barunya.
Setelahnya aku tau dari Ibu, cara mereka beralasan dengan orang sekitar adalah kami tenggelam saat bermain di sisi dermaga lalu hilang. Mereka pasti memainkan adegan dengan begitu dramatis agar tetua dan para leluhur tak mencurigai bahkan mencari kami. Mengapa mereka tak menangkap Ayah saat beliau pergi? Karena peraturan itu baru dibentuk setelah kepergian Ayah, dengan tidak kembalinya Ayah, mereka meyakini bahwa pihak lain yang selanjutnya melakukan hal serupa akan berakhir sama seperti Ayah yang tak kembali. Dan kenapa sebelum kepergian Ayah peraturan itu belum ada? Karena bahkan untuk memikirkan tentang meninggalkan kawasan itu saja tak pernah terlintas dibenak para warga disana, apalagi sampai melakukannya. Benar, Ayah menjadi orang pertama yang melakukan ekspedisinya. Kenapa juga orang akan percaya dengan bualan Ibu? Karena memang pernah terjadi kasus itu sebelumnya.
Sesampainya di dermaga, kami berdua melihat sosok yang selama ini selalu bermain bersama-sama sejak kecil itu, Aca, dengan sorot tegasnya melangkah mendekati kami.
"Selamat! Berkat kalian, otakku jadi melenceng dari seharusnya. Aku tak akan dipisahkan dan akan ikut bersama kalian." jelas Aca langsung pada inti.
"Inginku mengumpat, tapi tak boleh. Jadi, kawanku yang budiman ini, akhirnya luluh hm?" rangkul Ida pada pundak Aca. "Jangan konyol Aca, kau itu seperti semut yang akan mengikuti perjalanan ratunya" lanjut Ida, "Aku tak sekecil itu," sergah Aca.
Tanpa ada keinginan kami memperpanjang celetohan, aku pun mengeluarkan ramuan itu. Aku menjadi orang pertama yang meneguk cairan biru itu setelah membuka penutup botolnya, hanya sedikit agar bisa terbagi untuk 3 orang. Setelah sampai di tetes terakhir, kami bertiga langsung merasakan pening di kepala. Untungnya efek samping itu tak berlangsung lama. Tanpa menunggu lagi, aku yang mempunyai tekad sejak awal langsung menjatuhkan diri ke laut tanpa berpikir bahwa aku lemah menahan nafas sebelumnya. Aca dan Ida tentu terkejut melihat itu, tapi mereka juga takut ketahuan warga lainnya, maka segeralah mereka melakukan hal serupa denganku. Tanpa disadari oleh ketiganya, dicelah dedaunan dibawah pohon yang megah, ada sepasang mata yang mengintai.
Apa yang didapati selanjutnya adalah kebisuan yang perlahan berganti menjadi kekaguman. Ida dan Aca yang telah belajar membuka mata di air pun tetap ternganga-nganga bak ikan koi, melihat bentangkan laut yang indah nan luas ini. Terlebih aku yang selalu melewati kelas, disuguhkan pemandangan baru yang tak pernah terkhayalkan dalam otak. Tanpa sengaja, Ida membuka mulutnya hanya untuk berucap "waw". Tentu aku terkejut dan menasehatinya untuk jangan berbicara. Tunggu, apa tadi? Berbicara? Aku dan Ida berbicara? Hey! Apa ini?
Sebelum rasa terkesimaku semakin diperdalam, Aca telah berbicara, "Menakjubkan!! Selain bernafas dan berenang, kita juga mendapatkan anugerah dapat mengeluarkan pepatah, teriakan, komentar, celetohan dan sebagainya didalam genggaman laut lepas ini!" takjub si puitis itu.
"Ica! Ayahmu sungguh keren! Kira-kira darimana beliau mendapatkan cairan menakjubkan ini?" girang Ida masih tak percaya.
"Untuk mendapatkan jawaban, kita mesti secepatnya menyelusuri laut ini dan menemukan hal baru lainnya, mungkin daratan lain." ujarku setelah kesadaran telah memenuhi sanubari dan langsung menyesuaikan diri untuk berenang mendahului kedua bocah yang masih membisu itu.
Dengan pikiran dan penglihatan yang masih diliputi oleh hal-hal asing, kami bertiga terus menelusuri lautan tanpa tau batas ujung. Entah telah berapa lama dan jauhnya jarak yang telah kami lalui, karena yang kami inginkan hanyalah mencapai batas dan tepi lautan ini, menemukan mungkin daratan lain diseberang sana.
Jam demi jam berlalu, tak terasa kegelapan mulai mengambil alih dan menyelimuti langit diatas kami. Tapi diantara kami tak sadar sudah seharian mendayung sepasang kaki tanpa rasa letih, karena memang tak ada yang membahasnya. Entahlah, mungkin masih salah satu khasiat dari cairan itu. Kami sempat berdebat mesti menyelam lebih dalam dan menemukan ikan yang setidaknya dapat menyinari pandangan atau tetap dekat dengan permukaan agar mudah mendeteksi barang kali pulau baru. Hingga bantuan alamlah yang menjawab, awan yang semula menutupi sinar bulan, siap mengalah dan menyingkirkan sebagian tubuhnya agar cahaya bulan mengambil alih. Bahkan bentangan bintang ikut bersekutu menampakkan dan menyombongkan sinar yang mereka ciptakan sendiri. Sepertinya mereka tak mengharapkan perselisihan trio gadis ini terus berlanjut.
Perjalanan dilanjutkan tanpa bahasan kelelahan ataupun bosan, kami tetap menikmati perjalanan walau udara malam yang identik dingin. Semilir angin mendayu-dayu membuat siapapun seperti di nina bobokan. Tapi apa yang terjadi dengan para anak yang beranjak remaja itu dapat melampaui batasannya, mata mereka tetap awas melihat sekitar sampai mentari berganti di bentangan langit itu.
Dengan sesekali menonjolkan bagian kepala ke permukaan air, aku melihat betapa jauhnya kami telah meninggalkan tempat yang kami tinggali sedari kecil itu, menciptakan jarak tak terkira. Mengendalikan kepala dengan bergerak ke arah berlawanan, aku melihat setitik kawasan baru, setitik harapan yang membawaku kembali menyelam meneriakkan dan berbagi harapan itu pada Ida dan Aca. Harapan yang kami tunggu dari kemarin, lebih tepatnya dari tahun-tahun lalu bagiku. Tak perlu menunggu respon, kami serempak segera mempercepat dorongan pada kaki, membelah air yang tertangkap oleh manik mata. Meskipun kami tau jaraknya tak sedekat yang dikira, kegigihan yang terpatri tetap tak tergoyahkan.
Terbayarlah sudah kekeraman pada kaki dengan adanya bentangan kawasan luas yang dihinggapi berbagai pepohonan bersanding. Berbeda dengan tempat yang kami kenali sebelumnya, disini lahan yang menjadi tumpuan dominan dengan rerumputan segar, bukan tanah lapang seperti tempat tinggal kami. Kegaduhan yang diciptakan oleh makhluk hidup lainnya terdengar di gendang telinga. Ya, kicauan burung yang merdu seakan merasuki kesunyian belantara jiwa, tidak seperti saat dalam perairan yang akan kami tinggalkan dibelakang. Pohon-pohon menari riang bak menyambut kedatangan tiga sekawan ini.
Tepian kakiku yang pertama menjejak daratan itu, memberikan kesan bangga telah memecah pertanyaan-pertanyaan yang selama ini bersemayam di lubuk hati. Tak heran bukan bahwa hal pertama yang kami lakukan adalah berdiri tegap dengan tangan membentang menyambut kehidupan baru  di depan mata. Dengan dorongan kaki, kembali kami menyambung perjalanan yang belum atau bahkan takkan berakhir.
Dengan kesadaran bahwa diantara kami sedari tadi dipenuhi keheningan tanpa obrolan, muncullah inisiatif Ida membuka pembicaraan. "Apa mama papa akan percaya kalau aku menjelaskan tentang tempat ini?"
"Mungkin," gumam Aca "karena pada akhirnya akupun demikian." lanjutnya.
"Baiklah, ayo mulai menjejakkan langkah kita dipadang yang luas ini, kalian tak bisa hanya menatap kagum sampai disini!" semangatku tak pudar.
III. Tak Terduga
Langkah demi langkah terlewati, tuturan demi tuturan tergaungi. Masuk ke hutan semakin dalam, berinteraksi dengan hewan yang menyapa, menyibakkan tumbuhan yang mendindingi perjalanan kami. Cicitan jangkrik menaungi, desiran angin melengkapi. Adakah alam yang lebih indah daripada ini? Tanyaku dalam hati. Bukannya mengurangi pertanyaan dengan mendapatkan jawaban, justru aku ditimpa oleh kekaguman baru yang terekam dimata hingga selanjutnya sampai pada otak. Didepan sana, terlihat segerombol air mengalir mengikuti takdir mereka, dari atas tebing curam hingga ke permukaan yang tenang. Tunggu, apa? Air itu, air itu telah menghiptonis tiga orang dihadapannya. Bukan main eloknya air yang berani terjun dari atas tebing itu, semakin memperdaya makhluk manapun yang melihatnya.
Tanpa sadar, bukan hanya aku yang terpanggil bergerak maju, dua sekawanku pun melakukan hal serupa. "Adakah satu orang saja manusia yang dapat menjelaskan kemolekkan alam di hadapan pupil mataku ini?" Aca berucap. "Apaan sih? Lebay." Ida bergeming. "Bilang aja kamu ga mampu jelasin," ucapku menyahut perkataan Ida. Cengiran malu terpatri di wajah gadis berkulit putih itu.
"Ya oke-oke, kita skip. Sekarang, emm haruskah kita melewati sungai ini?" tanya Ida.
"Dasar! Itu pertanyaan retoris, mudah saja untuk melewatinya, kan?" ujarku yang sebenernya termasuk kalimat retoris juga. Hehe biarlah, aku saja yang boleh, mereka jangan.
"Tidak," singkat Ida. "Ica, lihatlah betapa lebarnya sungai ini, kalau kita jatuh di tengah aliran itu bagaimana? Nyawaku mahal tau." sewot Ida. Oh rupanya bukan kalimat retoris ya yang tadi kuajukan.
"Masih mahalan hobiku." jawaban dari Aca. Ica kembali menyahut "Memang apa hobimu?"
"Mengembat makanan yang sering kau bopong ke tempat kita belajar, nak." Sebelum terjadi perang teman yang akan lama selesainya, Aca langsung mencuri start melewati aliran sungai yang enggan untuk berhenti itu. Dan aku melihatnya bagaimana selama ini otak Aca selalu beroperasi melebihi kapasitas otakku ataupun Ida. Dengan naluri dan kecerdasan yang dimiliki, dia menjejakkan ujung kakinya pada bebatuan yang bersemayam dalam sungai itu. Seperti jalan diatas tanah rata, dia begitu lancar menjalankan aksinya. Melompat dan terus melompat hingga ke batu terakhir dan sampailah pada rumput yang kembali ia pijak, sungguh tanpa hambatan. Hey, bahkan aku tak tau kalau Aca bisa melompat segesit itu. Kerasukan apa dia? Oke itu ngawur. Tapi memang benar hal itu harus kutanyakan padanya. Bahkan Ida yang telah siap dengan umpatannya malah terdiam, tergantikan kalimat lain yang keluar.
"Sihir apa yang kau lakukan Aca?! Kau bukan melompat, tapi terbang!" teriak Ida. Loh? Mata dia sejeli itu? Kalau diperhatikan memang Aca sedikit melambung di udara tadi.
"Aca, kamu sehat?" ucapku spontan tanpa berkedip.
"Apa yang kalian bicarakan? Aku hanya berjalan diatas batu, apa yang begitu mengagetkan?" jawab dan bingung Aca. "Sudahlah ketimbang hanya menyaksikan aliran sungai itu, kalian lekas kemari!" lanjutnya diseberang tepi sana.
"Ayo, Da!" ajakku, "tunggu apalagi," sambil mulai melangkah.
"Ica! Lihat! Aliran airnya semakin deras," sambil menunjuk air terjun disebelah kanan kami.
"Ya kalau begitu kita mesti segera melewati sungai ini, bukan?" tuturku.
"Aku...takut," cicit Ida.
"Kau tak takut melanggar peraturan di tempat kita, tapi kau bisa takut pada air yang selama ini menjadi bahan pelajaran kita?" tanyaku heran.
"Bagaimana kalau kita terseret air? Aku lihat di ujung sana sepertinya ada air terjun lagi." ucap Ida. Dengan begitu aku menengok pada arah yang dilihat olehnya, tapi tak kudapati apapun selain aliran air yang tak tau sampai mana ujungnya.
"Dimana Ida? Aku tak melihat sungai ini mengarah pada air terjun lagi," keheranan itu dibuyarkan oleh teriakkan Aca, "Gerangan apa yang sedang kalian perdebatkan disana? Tak lihatkah wahai kawan aliran airnya semakin deras?"
"Bagaimana ini?" tanya kembali Ida.
"Bagaimana apanya lagi? Ya ayo jalan bukan banyak berbincang." jawabku sembari menarik tangan Ida menuju sungai. Langkah kakiku mulai menyentuh batu pertama, hm tidak buruk, batu ini memang kokoh untuk menetap diantara arus air disekelilingnya. Terpaan butir-butir air yang menyapa pipi dapat membuatku hampir kembali terbuai. Sungguh menyejukkan. Selanjutnya aku melepas genggaman tanganku pada Ida, "Hey kenapa dilepas? Kau mau aku jatuh?" protesnya. "Justru agar kau tidak jatuh. Kalau kita berpegangan maka sulit menyesuaikan keseimbangan dua tubuh diatas bebatuan ini." jelasku.
Belum sampai kami berdua mencapai pertengahan sungai, suara deru air terdengar disekeliling pendengaran kami. Dengan mengikuti insting, menengoklah kami pada suara yang bersangkutan. Hanya dengan kedipan mata, air yang semula tenang itu beringsut layaknya api yang marah, air pun bisa menjelma menjadi hal yang menakutkan ketika marah. Tanpa pikir panjang, ku percepat langkah kaki yang semula normal. Sebelum melangkah semakin jauh, mendadak suara Aca kembali terdengar, "Ica! Lihat Ida disana!" teriaknya panik. Berpalinglah aku dari arah tujuan ke arah sebaliknya, inginku mencerca bocah itu yang justru terpaku ditempatnya. Bodoh! Tapi tak terucap karena ku tahu itu tak akan mengubah keadaan. Jadi kembalilah aku ke tempat dimana aku telah melaluinya, menggotong tangan bocah yang bisa dibilang putih bersih itu walaupun aku malas mengakuinya, untuk merangsek kesadarannya kembali pada raganya. Untung saja tak perlu ku berpikir untuk menggotong tubuhnya juga karena dia langsung tersadar. Belum lama keuntungan itu kurasakan, gertakan lain yang kuhadapi. Pergelangan tanganku terhuyung-huyung bersama dengan tergelincirnya kaki Ida dibelakangku.
"Aaaaaa kumohon Ida bertahanlah! Paman Bibi apa yang hambamu ini mesti lakukan? Alam tak kah kau lihat ada makhluk kesulitan dihadapanmu? Marilah kawan mengapa kalian pada diaaam?! Oh tidak, Ida aku harus apaa? Ida Ida kau tenang ya tenang!" Sungguh sejak kapan temanku yang normal itu ikut-ikutan bodoh? Si puitis itu bisa bertransformasi jadi tukang dramatis juga?
"Aca! Cepat waras! Kesini dan bantu aku menarik Ida!" tegasku sembari menguatkan genggaman tangan pada Ida yang telah menampakkan raut muka takutnya yang kemudian berevolusi menjadi tangisan.
"Ica! Ida! Dibelakang kalian!" menambah ketegangan diantara kami. Belum sempat aku meneloh bahkan hanya sampai pinggir, ganasnya air langsung mengantam apapun didepannya termasuk manusia sepertiku dan Ida. Kakiku sudah pasti tak bisa menahan gelombang deras itu, maka meluncurlah kami ke dalam sungai yang tengah mengikuti lintasannya itu. Jadi begini ya rasanya terombang-ambing oleh perairan, bahkan isi perutku ikut terkocok. Baiklah jangan panik Ica, jangan panik, cari permukaan cari hey cari! Debatku dengan otak. Saat sedang mengimbangi ombak, tanganku sontak menangkap seonggok kayu entah dari mana yang akan membawaku terambang di permukaan air. Tau aja lagi butuh, batinku. Saat hampir mencapai permukaan, tanganku justru tertarik oleh tangan lainnya. Oh ternyata itu tangan temanku, untung belum kulupakan anak itu, ku balas dengan menarik tangannya untuk menggapai kayu yang akhirnya sampai diatas permukaan. Sapuan tangan pada wajah yang tentu kami lakukan pertama saat berjumpa dengan udara.
Terdengarlah kembali kerusuhan temanku yang satunya lagi untuk mengimbangi derasnya air sungai yang belum berhenti. "Aca! Mendekatlah!" tanpa bantahan dia menunaikannya.
"Ida, dengar! Raihlah tangan Aca dan naiklah ke daratan," perintahku yang mungkin masih diabaikan. "Hey bocah! Cepat ulurkan tanganmu dan raih tangan Aca, tak perlu khawatir, kayu ini kuat untuk tumpuan kita. Cepat!"
Karena hanya gelengan yang kulihat darinya, Aca berganti untuk bersuara "Ica, aku ada disini untukmu. Tanganku ini akan kokoh menggenggam tanganmu, yakinlah kita itu tak bisa dipisahkan. Ayo Ica berikan tanganmu." dan bertambah lah sifatnya menjadi berlebihan walau situasi sedang tak berkompromi seperti saat ini.
"Ica..lalu kau?" suara Ida akhirnya terdengar. "Hey bebal! Kau tak lihat Aca mulai kelelahan berlari? Lupakah bahwa dia benci lari? Lupakah kalau nyawa kita sedang dipertaruhkan? Lupakah kalau ombak bisa menyusul datang? Tak lihatlah kau diujung sana tebing siap membuat kita meluncur jatuh dan meremukkan tubuh? Sadar Ida! Lihat itu! Cepat!" Memang air yang akan terjun itu akhirnya tertangkap oleh indra penglihatanku.
Karena mulutnya yang hanya terkatup tak mampu menjawab, yang bisa dilakukan Ida hanyalah mengikuti perintah Ica dengan mencapai sisi sungai lebih dekat untuk bisa meraih tangan Aca yang sedari tadi siap menampung. Karena lama, Ica pun membantu mendorong ujung kayu agar mendekati sisi sungai. Syukurnya kayu itu panjang hingga memudahkan untuk segera sampai sisi sungai. Dengan tarikan dan dorongan yang diberikan oleh teman-temannya, Ida pun berhasil mendarat di tanah walau berujung dengan tersungkur. Setidaknya dia telah aman. Setelahnya Ica akan melakukan hal serupa, tapi belum sempat tergapai rencananya, air tak tau diri itu kembali merangseknya menelusuri sungai besar itu. Kembalilah tumpuan tubuh gadis apes itu pada dahan kayu.
Pemandangan dua buah batu berderet tertangkap oleh sepasang mata Ica. Hanya itu, hanya tinggal batu itu yang terpandang, batu terakhir sebelum udara kosong menyapa karena keberadaan air terjun dibawahnya. Dengan ukuran kayu yang panjangnya lebih dibanding sekat antara kedua batu itu, sudah pasti benda itu akan tersangkut diantaranya. Seperti biasanya otak Ica selalu lebih sadar dari kedua temannya, ia mendekatkan tubuh beserta seonggok kayu yang didekapnya kepada batu kembar itu. Keberhasilan berada dipihaknya. Hal yang akan langsung dilakukan oleh Ica adalah mengangkat tubuhnya untuk bertengger di salah satu batu. Tapi kesuksesan yang baru dilalui harus kembali berganti dengan kesialan, bunyi keretek dari pertengahan kayu dapat membuat was-was siapapun yang mendengarnya, riak air yang menambah kemudahan untuk membelah kayu semakin menjadi-jadi.
Siapapun dapat melihat bahwa jarak antara gadis bernama Ica dengan air terjun semakin dipersempit, siapapun tau kalau Ica tak segera naik ke daratan maka ia akan diajak air untuk lebih berani meluncur dari ketinggian yang enggan diukur oleh anak berumur 12 tahun itu. Tak ingin diliputi oleh pikiran aneh, Ica segera mendekatkan dirinya pada salah satu batu. Ia akhirnya tau bahwa jaraknya dengan sang penyelamat tidak sedekat perkiraanya. Musibah lain muncul ketika dirasa membatunya kaki Ica didalam air, ya kakinya keram. Aca dan Ida yang diserbu kekhawatiran di daratan pun heran melihat Ica yang hanya terdiam. Setelah penjelasan berupa kata "Kakiku keram" tersebut dari mulut Ica, semakinlah menambah ketegangan yang tak tau kapan mencapai akhir.
Situasi diperburuk ketika pertahanan kayu mencapai batas akhir, terbelahlah kayu yang menjadi penopang tubuh Ica. Terseretnya lagi tubuh anak yang tengah keram itu. Bisakah ada kata lain selain "Aaaaaa" yang digaungkan dari mulut orang-orang yang melihat peristiwa demikian? Kalau itu Aca dan Ica sudah pasti jawabannya tidak.
Kelabakan karena melawan air yang bukan musuhnya, Ica hanya bisa membayangkan sosok lucu Ayah dan bertanya dalam hati apakah Ayah mengalami tragedi seperti ini? Apa Ayah banyak mengalami kesulitan saat menjelajah? Apa Ayah lihat air terjun itu tepat berada dihadapan putrinya sekarang ini? Apa Ayah bertemu dan dibantu oleh seseorang? Apa sekarang Ayah masih hid-"
Belum selesai pikirannya menerawang, tubuh gadis itu telah tertawan oleh sosok malaikat sang penyelamat semua orang, "Ibu...?" lalu semuanya gelap.
IV. Menarik Perhatian
"Menarik," ulasan senyum terpatri di wajah seorang lelaki berjas putih bersih.
"Ini hanya hari keberuntungan mereka, kalau saja wanita tua itu tak datang, bum!" gerakan tangan meragai ledakan.
"Apakah wanita itu telah mendapatkan ingatannya kembali?" tanya pria yang tersenyum tadi.
"Sepertinya begitu, akan ku lihat datanya," sambil melangkah pergi meninggalkan ruangan.
"Tunggu Mahes, jangan lupa siapkan rencana selanjutnya. Kejadian tadi itu belum seberapa." tuntasnya berbicara.
"Baik, tuan!" patuh pemuda satunya.
Tak berselang lama gadis yang baru selamat dari marabahaya itu membuka kelopak matanya perlahan. Bukan ujaran yang pertama terdengar, melainkan "uhuk uhuk uhuk" disertai usapan pada punggung wanita itu.
Usapan itu, sehangat usapan Ibu ketika aku baru saja terjatuh dan merintih kesakitan saat kecil dulu. Usapan itu.."Ibu?!"
Kembali, senyumannya kembali aku dapatkan dibawah sinar kejinggaan yang menderang indah tanpa awan, "Kau sudah merasa lebih baik, nak?" deraian air mata terjun begitu saja dari pangkal mataku, tutur kata yang selembut sutra, manik mata yang seelok pelangi, semuanya menggetarkan lubuk hati yang rasanya telah lama berpisah dengan sang kekasih. Terobatilah rindu yang selama ini selalu ku tepis pada sosoknya. Dua hari bagaikan dua tahun.
Belaian yang sehalus lisannya, menelusuri setiap jengkal bagian pipi kemuku. "Ibu lapar?" racauan spontan yang mengundang senyum Ibu semakin lebar.
"Heh! Kau baru saja buat kita jantungan tadi, sekarang jangan belagak watados," sungut Ida penghancur suasana.
"Apakah arti dari watados?" tanya Aca mewakili yang lainnya karena tak paham selain si pengucap kalimat.
"Wajah tanpa dosa titik." dengan tekanan disetiap kata.
"Oh." datarku.
"Hey!"
"Apa?"
"Kau ini be-"
"Apa?"
"Ga." Aduh kapan sih bisa merutuk pada dia, ada dua aja makhluk kaya dia, ku pindah planet deh. Maksudku, apa-apaan itu, aku nunggu sampai khawatir untuk dia sadar dan apa respon temanku itu? Makhluk tak berperasaan. Kesal dalam hati Ida yang enggan diutarakan.
"Bilang aja kesel," akh dia cenayang?
"Bukan." Dapatlah terlihat bola mata Ida yang hampir keluar itu.
"Kawanku yang budiman beserta baginda Ibu yang kami hormati, bagaimana dengan langkah selanjutnya? Beristirahat lalu membuat api? Berjalan kembali dan kerap terjatuh? Balik lagi dan melewati sungai tak tau diri yang masih dapat terdengar arusnya dari sini? Atau apa?"
"Istirahat," singkatku.
"Woy, kau sedari tadi enak sudah istirahat dalam pingsanmu, terus kami kan-"
"Kalian kan sama istirahat juga saat nunggu aku siuman." kalimat lanjutan yang lagi-lagi membuat Ida membatu. Baiklah, sekarang dalam kelompok itu hanya Ibu Ica yang normal dengan hanya menggeleng-gelengkan kepalanya menatap sekumpulan gadis dihadapan beliau.
"Baginda Ibu, jadi apa keputusannya?" beralih tatapan Aca pada Ibu. Memang dua bocah, ya baik-baik, dua temanku itu memanggil Ibu mengikuti panggilan sehari-hariku, dan berlaku untuk Mama Papa Ida juga, tapi perlu digaris bawahi, ga ada tuh embel-embel baginda.
"Loh kok jadi ke Ibu?" heran beliau.
"Karena Ibu paling tua, upss," disertai deraian tawa seperti biasa saat bergurau dengan malaikatku itu, "Canda Ibuku sayang." masih disertai tawa tipis.
"Ck ck kita istirahat aja dulu ya, langit juga mulai menggelap, kalian pasti belum istirahat." keputusan itu tercipta. Menurutlah wanita-wanita lainnya saat dihadapkan sifat keibuan yang tersimpan dalam tubuh Ibu Ica.
"Biar aku yang cari kayu bakar kalau gitu," siap Ida bangkit dari tempat duduknya.
"Sendiri?"
"Iya, lagian pasti banyak di dalam hutan seperti ini. Kalian bisa mencari alas untuk kita tidur nanti."
"Jangan lewatkan jikalau bertemu makanan ya sahabat karibku!" permohonan tersirat Aca ketika mengharapkan sesuatu.
"Giliran nyari kayu sendiri ga takut, tapi tadi melewati sungai segitu ada aku saja takut, bagaimana dia itu," tuturku yang tak terdengar oleh Ida karena telah menjauh.
"Temen kamu itu," Ibu menyahut, "Bukan bu, formalitas sebagai makhluk sosial aja." kikik kami bertiga.
Sesampainya Ida dengan dekapan kayu juga makanan di tubuhnya dan persiapan alas telah siap, terbuatlah api setelahnya dari bahan ilmu yang dipelajari semasa hidup di kawasanku. Hampir saja aku melupakan tempat itu, "Bu, aku baru ingat, kok Ibu ada disini? Bagaimana Ibu bisa sampai sini?"
"Nah!" kaget Aca pada semuanya. "Otak kau baru pulih, Ca? Sedari tadi aku menunggu kalimat itu muncul terdengar, ternyata baru sekarang kesampeannya. Jadi Ibu, dipersilahkan waktu dan tempat untuk menjawab," disertai tangannya seperti orang mempersilahkan orang ceramah.
Ibu berdehem mengikuti drama Aca, "Baik para pemirsa, disini Ibu akan menjelaskan mengenai keberadaan Ibu ditem--"
"Buuuu," ucapku memelas, "Hehe iya iya," dengan satu tarikan nafas, "Ibu mengikuti kalian setelah menjelang malam." singkat, padat, kurang jelas.
"Gimana caranya Ibu kesini? Ibu kan tidak meminum cairan seperti yang kita minum," kalimat Ida mewakili.
"Ramuan itu, Ibu menemukannya juga di ruang kerja Ayahmu," hadap Ibu padaku. "Tapi.." ucap beliau menggantung.
"Tapi apa, Bu?"
"Tapi sekarang sudah malam, jadi cepat habiskan makanannya dan setelahnya kita tidur saja ya anak-anak." putusan Ibu.
"Yahhh," kecewa 3 gadis yang padahal sudah siap mendengarkan dongeng Ibu.
V. Benang yang Mulai Tersambung
Malam yang diselimuti kesunyian dan suara diambil alih oleh lengkingan jangkrik yang merajalela. Seorang Ibu yang terbiasa terjaga demi menjaga buah hati tercintanya selalu menunaikan tugasnya. Nasib Ica yang sudah diperlakukan seperti guling oleh dua kawannya jelas terganggu. Setelah matanya nyaris terbuka sepenuhnya, Ica menyibak kaki tangan orang disisi kanan kirinya. Walau begitu, tetap saja kedua orang itu tak terganggu seperti tak terjadi pergerakan apapun.
Kuceknya pada ujung mata Ica, setelah itu tertangkap sesosok yang tengah membelakangi gadis itu.
"Ibu," ujarku sambil memastikan. "Belum tidur?" lanjutku.
"Eh Ica. Ini Ibu udah tidur loh, tapi dengan mata terbuka."
"Hehehe, retoris ya"
"Ibu masih menjaga api ini, udara malam disini lebih dingin daripada ditempat kita ya, kan?"
"Heem, Ibu benar. Padahal waktu bermalam di dalam air, aku tak merasa sedingin ini," sembari menggosokkan kedua tangan. Ibu menyuruhku duduk disebelahnya, kemudian pelukan hangat Ibu menguasai suasana malam itu. Ternyata benar, rumahku adalah Ibuku sendiri, bukan yang lain.
"Bu, bagaimana cara Ibu beralasan pada para warga disana tentang kami?"
"Dengan bilang kalian hilang tenggelam ke laut," jawabnya polos. Tatapan cengo pasti sudah terlihat pada wajahku. "Mama Papa Ida dan Bibi Aca juga ikut bermain peran melakoni drama Ibu kok. Setidaknya diri Ibu telah berjuang." cengirnya membuatku ikut terkikik mengimbangi cengiran beliau. Keheningan tahu-tahu datang diantara kami. Tak ingin berlangsung lama Ibu pun kembali berucap.
"Nak, ada yang mau Ibu bicarakan," diamku hanya menunggu lanjutan. "Ibu seperti mengingat sesuatu. Dalam bayangan Ibu, Ibu melihat orang-orang sedang sibuk dengan pekerjaannya yang menggunakan benda-benda canggih. Ibu juga, Ibu melihat Ayahmu disana."
"Maksud Ibu, Ayah menjadi bagian dari orang-orang itu?" dan anggukan Ibu membuatku semakin ingin mendengar cerita selanjutnya.
"Ibu juga tiba-tiba merasakan hal aneh pada diri Ibu ketika tau kau akan pergi. Kau tahu? Ibu hanya menegak ramuan itu 3 tetes, sisanya Ibu berikan pada Mama Papa Ida. Entah dapat dorongan dari mana, setelah menjauh dari dermaga, Ibu bukan berenang, tapi lari. Ya, Ibu lari. Semula di dalam air, lama-lama naik ke permukaan. Ibu lari diatas air, nak! Memang kau tak berpikir mengapa Ibu bisa secepat itu bersanding dengan kalian?"
Kepalaku dipenuhi dengan rasa linglung, penjelasan yang memaksa masuk ke dalam otak. "Tunggu bu, jadi maksud Ibu, tanpa ramuan itu sebenernya kita bisa bernafas dalam air? Bahkan sampai berlari diatas air?"
"Ya."
"Tapi kan bu, selama ini aku tak suka pelajaran itu, bagaimana mungkin? Lalu gunanya ramuan itu?"
"Ramuan itu hanya untuk Ayahmu. Dia tak seperti kita, dia manusia biasa. Dan yang kau pelajari selama ini hanya untuk mendorong agar kekuatan yang sebenarnya ada dapat muncul."
"Ayah manusia biasa? Lalu kita apa?"
"Mutan"
Matahari mulai menampakkan dirinya. Tidak, bahkan sekarang aku meragukan bahwa yang kulihat itu matahari, bisa saja hanya benda yang bersinar terang menderang ciptaan makhluk luar itu. Setelah penjelasan Ibu semalam, aku semakin tak bisa mempercayai kehidupan sekelilingku.
Setelah semua orang telah terbangun dari tidurnya, berlanjutlah perjalanan kami menyusuri hutan. Ditengah perjalanan, aku menjelaskan pada Ida dan Aca tentang apa-apa yang telah dijelaskan Ibu semalam. Tentu pada awalnya otak mereka menolak penjelasan itu. Tapi mau bagaimanapun pada akhirnya mereka dapat menerima. Bahkan Ida semakin takjub dengan dirinya sendiri disertai bukti tatapan berbinar yang terkuar dari matanya.
"Jadi kita semua memiliki kekuatan yang dapat meledak kapanpun tergantung dorongan dari dalam jiwa kita sendiri?" tanya Aca.
"Sepertinya tidak semua, seperti Ayahku." jawabku. "Mungkin dia dihukum karena kesalahan tertentu dan dibuang ke dalam kawasan kita. Setelah ingatannya pulih, beliau mencoba kembali pada satuan pekerjaannya itu."
"Mengapa kamu bisa mengatakan itu, nak?" tanya Ibu. "Persepsiku, Bu." terangku.
"Kenapa dia tak memberi tahu semua orang?" ucap Ida.
"Karena kita tak akan percaya padanya. Saat orang-orang mengetahui rencananya saja malah diremehkan. Jadi Ayahmu itu ingin kita sadar sendiri dan ingat jadi diri masing-masing." jelas Ibu menghadap padaku.
"Ibu juga semalam bermimpi kalau kita ini sebenarnya hidup dalam cakupan kubah yang luas, yang dibuat oleh orang-orang diluar sana. Entah hanya bunga tidur atau memang sebuah pesan." ujarnya sambil memimpin perjalanan.
"Kalau seandainya itu memang benar, mengapa kita mesti dikurung dalam dunia buatan ini?" Ida berujar.
"Hal apa yang membuat orang dikurung?" ucapku balik bertanya.
"Melakukan kesalahan? Bahaya? Dijaga?" Kata Aca. "Dan diperlukan," lanjutku. Keempatnya bisa jadi adalah benar. Apapun praduga bisa jadi kebenaran.
Berbahaya?
"Bagaimana kalau kita mencoba kekuatan kita?" saranku.
"Kekuatan apa? Caranya?" Ida menyahut.
"Kita dahulukan seperti, emm" mengusap dagu layaknya orang berpikir, "Berlari cepat?"
"Siapa takut," tarikan disalah satu sudut bibirku. "Bu, siap?" sembari mengarah pada Ibu. Dengan anggukan kepala maka bersiaplah kami semua. Saat itungan akan ku sebutkan, Ida justru berujar, "Loh memang Aca mau berlari?" benar juga, berlari saja Aca enggan, ini malah dia yang menyarankan. "Justru itu diriku ini ingin mencoba hal tak terduga lainnya," ide bagus otaknya itu.
Mulailah aku menghitung, tepat pada hitungan ketiga, terbirit-biritlah lari kami dari sebelumnya, mengagumkan! Terlihat disebelah kiriku Aca, si puitis dan dramatis yang awalnya tak pernah menyukai tes berlari sekarang berlari tunggang langgang seperti seorang ahli tanpa kesulitan. Disebelahnya lagi ada kawanku yang satunya, Ida, tak kalah gesit menyesuaikan kecepatan larinya dengan yang lain. Disamping kananku ada Ibu yang tak pernah menghilang dari tatapanku, yang kusadari tak pernah meninggalkanku, berlari santai seperti orang berolahraga pagi tapi dengan kecepatan lari maraton. Ternyata memang keahlianku menurun dari beliau. Cukup puas aku melihat kelompokku dapat membangkitkan spirit dalam diri mereka masing-masing, girilanku yang akan melakukannya pula. Dengan penuh keyakinan, ku berikan dorongan pada kaki untuk menambah kecepatan, dan berhasil! Sungguh, pertama kalinya ku berlari secepat ini dalam hidupku. Menyenangkan!
Setelah penyesuaian diri pada lingkungan dan energi baru, kami benar-benar menikmatinya. Bahkan, Aca sesekali menunjukkan energi lainnya yaitu melayang lebih lama di udara saat ia melakukan lompatan. Perjalanan kami semakin lama semakin banyak rintangan yang dihadapi, jalananpun semakin menanjak dan dedaunan lebat semakin menutupi perjalanan, bagi Aca mudah saja untuk melewati, tapi yang lain harus berusaha menyibaknya, walaupun begitu lengan kami tak mengalami goresan sedikitpun dan tetap lancar berlari.
"Aku melihat puncaknya disana!" seru Ida pada yang lain. Tapi penglihatan mataku sama halnya seperti di tepi sungai kemarin, tak menangkap apapun. Maka kusimpulkan saat itu juga kekuatan Ida ada pada matanya yang dapat melihat dengan jarak yang lebih terlampau jauh dari manusia biasa. Semuanya memang bukan manusia biasa.
"Ida, matamu, matamu dapat memandang objek yang terpaut jauh. Gunakan itu dan pimpinlah perjalanan kami!" perintah dadakanku padanya. Bukan main senangnya dia saat kuberitahu perintah itu, bak balita yang dikasih permen oleh Ibunya. Ida segera berpindah tempat ke depan kami semua, formasi pun berubah, Ida didepan, aku dan Aca ditengah, sedangkan Ibu dibelakang sebagai penjaga. Orang dewasa memang tak banyak omong dan memiliki insting cepat dalam membaca keadaan bukan?
Sesampainya kami pada puncak bukit terhentilah pula langkah Ida didepan kami. Hampir saja aku menabrak punggungnya karena kecepatan lariku tetap melebihi mereka, tapi tertahan karena keseimbanganku masih baik.
"Tak bisakah kau memberi aba-aba terlebih dahulu pada sekelompok orang dibelakangmu ini? Untung saja tak ku injak ubun-ubunmu dengan telapak kakiku," dongkol Aca langsung.
"Syut, aku melihat sesuatu. Dibawah sana, seperti ada sekumpulan hewan besar,"
"Hewan besar apa maksudmu?" potongku.
"Berekor empat, belang-belang, seperti sepertiii apa itu harimau? Ibu, apa itu yang namanya harimau?" tatapan Ida beralih pada Ibu.
"Dari yang kau jelaskan tadi memang mirip ciri-ciri harimau. Jadi di kaki bukit ini ada harimau yang tengah bersantai ria atau justru menunggu kedatangan kita, begitu?" tanya Ibu pada diri sendiri yang sebenernya terdengar oleh kami semua.
"Firasatku tak enak." Aca berkomentar. "Memang yang enak itu adalah singkong temuan Ayah." cakapku.
"Tak perlu takut, dengan keyakinan kita pasti bisa melewati mereka." semangat Ibu.
"Betul, lagi pula yang kulihat mereka hanya sedang bersantai saja meminum air dari dalam danau kecil." ucap Ida cukup menenangkan hati.
"Nah, tunggu apa lagi? Mari berangkat!" ujarku kembali memimpin perjalanan untuk melihat situasi lebih dulu dari mereka. Semakin lama terlihatlah sekawanan harimau besar yang tadi dibilang Ica, memang benar, itu adalah harimau. Otakku berputar memikirkan rencana yang mesti dibuat. Kembalilah aku pada Ibu dan dua kawanku untuk membicarakan siasat melewati hewan buas itu.
"Sekitar ada lima, 800 meter dari sini, berkumpul di satu titik, membelakangi kita," infoku.
"Kita berpencar?"
"Jangan, itu ide gila untuk sekarang. Ida, bisakah kau naik keatas pohon dan lihat apakah ada jalan lain yang bisa dilalui?" tanya Aca. "Dari atas bukitpun aku sudah lihat, resiko melewati jalan lainnya sama saja, hanya ini yang lebih aman, kita mesti melewati danau, danaunya pun tak lebar."
"Aman kau bilang?" komentarku. "I-iya begitulah," cicitnya.
"Baiklah, Ica kau muncul lebih dulu dihadapan mereka. Ketika semua hewan terpaku dan menyerangmu, Aca akan datang dan membawamu melompat melewati harimau itu, Ibu dan Ida akan berlari di samping para harimau," saran Ibu.
Terlaksanalah konsep yang Ibu susun mendadak itu. Akupun berjalan santai agar tak menarik perhatian menemui kawanan harimau, tapi seperti punya firasat kuat, kelima harimau itu serempak berbalik badan dan menatap tajam kearahku, ya tepat kearahku. Tak seperti sebelumnya, kali ini mereka seperti punya ambisi kuat dan haus akan darah, atau mungkin daging manusia seperti diriku. Ketika keterpakuanku belum mereda, kompak mereka bersiap menerjang diriku yang sepertinya tak berjarak jauh bagi hewan macam itu. Aca yang masih ingat dengan rencana segera menampakkan diri dan berlari mendekat. Daripada aku hanya diam seperti orang bodoh, kuambil segenggam batu disekitar dan melempar ke sembarang arah untuk mengecoh perhatian para harimau. Tak bergeming, harimau itu kuat dengan tekadnya hanya pada mangsa yang diburu, yaitu aku. Semakin dekat dan semakin dekat, kelima harimau serentak menerjangku dengan lompatan disertai gigi dan kuku panjang melukis. Dan hap!
VI. Serangan
Tubuhku terbawa melayang melintasi tingginya lompatan harimau. Padahal lompatan harimau saja sudah cukup tinggi, tapi ya itulah, masih ada langit diatas langit. Seperti tak mengangkat beban, Aca membawaku melayang mengudara dengan entengnya. Entah memang aku yang tak berat atau hanya terpaksa karena mengikuti rencana. Kusadari sedari tadi kakiku belum menapak ke tanah, Aca, dia benar-benar melakukan lompatan luar biasa jauhnya dari titik pacu. Saat sampai di tapakan tanah, aku langsung mencari keberadaan Ibu dan Ida. Ternyata, akh mereka berpencar! Ibu disisi kanan tanpa hambatan sedangkan Ida disisi kiri lari kocar kacir menghindari harimau yang tadinya hampir menerjangku.
Oh jadi mereka mengganti santapannya, pikirku. "Rencana B!" teriakan keluar dari mulutku. "Hah apa?!" balas teriakan Ida yang tergesa-gesa. "Serang mereka!" setujuku pada gaungan Ibu, karena memang itu yang akan ku lakukan.
Fokus Ibu beralih pada sekitar, bebatuan yang beliau cari. "Dengar! Berkumpullah dan pancing harimau itu kemari! Setelah itu kita secepatnya melewati danau ini dengan cara apapun!" ucapku kemudian. Disaat Ida menambah kecepatan larinya dengan berlari zigzag, aku dan Aca melempari bebatuan sedang, Ibu justru mengangkat batu berukuran jumbo yang bahkan melebihi ukuran tubuhnya. Tanpa berpikir lama-lama, melambunglah batu itu menuju harimau dibelakang Ida. Tepat sasaran! Dua harimau sekaligus terperanjat dan tersungkur mencium tanah.
"Cepat Ida Cepat!" Aca menyemangati. Aku seperti deja vu dengan suasana ini.
Kemudian ada seekor harimau yang sepertinya menaruh dendam pada Ibu karena telah melukai kawannya, berbelok arahlah hewan itu pada Ibu. Tapi bukannya berlari mendekat pada danau, Ibu justru berlari sebaliknya. Sial! Spontan aku berlari mengikuti harimau yang akan menyerang Ibu, "Ibu!" "Tak perlu kemari! Segera sebrangi danau itu dan terus berlari!" dengan gelengan kupercepat kelajuan lariku.
Diseberang sana, kulihat Ida terjatuh. Ada apa ini? Aku mesti kemana? Terlihatlah Aca yang mengarah pada Ida, maka keputusanku tetap bulat mendekat  pada Ibu. "Hey harimau jelek! Jangan coba-coba sentuh Ibuku!" Kebetulan, harimau itu mengubah pandangannya, disaat itulah Ibu memanfaatkan kesempatan dengan mencari batu lagi, karena yang langsung terlihatnya adalah dahan kayu besar, tak ambil pusing diraihnya dahan tersebut dan terlemparlah dari tangannya menuju harimau belang itu. Karena perkiraannya sedikit meleset, hewan itu masih mampu bangkit. Naluriku mengatakan untuk berlari, maka berlarilah aku tunggang langgang ke arah harimau, ketika dua tubuh telah saling bertubrukan, ku hempaskan dia pada batang pohon yang selanjutnya ditinju oleh Ibu sampai pohon itu terbelah dan bagian atasnya menimpa hewan yang sedang tak beruntung itu. Linu mulai menggeriak menyelimuti tubuh mungilku. Ketika yakin bahwa harimau yang malang itu telah mencapai waktu-waktu akhir menuju kehidupannya, lentingan bunyi terdengar memekakkan telinga, "Aca!"
"Menepi!" perintah seorang lelaki yang suaranya seperti pernah kudengar. Sebuah benda berukuran cukup besar mendekati kawasan kami. Dibagian tengah benda itu terlihat kayu memanjang dengan ujungnya yang berbentuk setengah bola dengan batu berukuran pas ditaruhnya, seluruh bagian benda itu terbuat dari kayu, disertai tali kuat yang seperti menahan pergerakan. Bukan, bukan itu yang sedang ku fokuskan, walaupun benda itu masing asing dipandanganku, pupilku menatap pada hal lain. Di tempatku tadi melihat Ida berlarian, terlihat gadis yang sedang terungkup dalam dekapan Ida. Terlihat sudut bibir gadis itu mengalir cairan kental, darah. Itu Aca!
Tanpa menghiraukan rasa linu yang tadi menggerayangi seluruh tubuhku, aku segera bangkit dan melaju ke arah dua temanku itu. Tidak, tidak, ini tidak boleh terjadi, ini kesalahanku karena meninggalkan mereka dengan dua harimau itu. Pikiranku kacau. Setelah mataku saling beradu dengan mata coklat Aca, ku mengingat bagaimana dia yang dulu sangat mempercayai para leluhur dan anti melanggar peraturan sekarang justru bersamaku sama-sama mengembara dengan mengindahkan apapun peraturannya, demi selalu bersama temannya yang telah menemani sejak kecil. Bahkan aku tak ingat untuk menanyakan apakah bibinya mengizinkan atau tidak dia untuk pergi.
Tampak nafasnya tersenggal-senggal seraya melawan rasa sakit dibagian tubuh yang terkena cakaran harimau dan benturan dikepalanya. Hanya kepiluan itu yang dapat kudengar, walaupun gerungan teriakan dan suara batu menghantam tanah bersahutan dibelakangku, tak kuidahkan.
"Salah satu harimau itu memiliki senjata di mulutnya. Dia, harimau itu juga yang mencakar tubuh Aca." jelas Ida yang sudah sesenggukan. Tampak mulut Aca hendak mengatakan sesuatu, "Simpan tenagamu!" ujarku pada Aca. Aku memang bilang hal demikian, tapi kenapa Aca berlebihan sampai mulai menutup matanya, Aca! Jangan dramatis di situasi seperti ini tolong! Tak ada, tak ada yang ku ucapkan lagi. Kemuakkanpun melingkupi diriku, berbaliklah aku pada kawanan harimau.
Hal yang membuatku kaget adalah kelima harimau itu berempuk kerja sama, ternyata tiga diantaranya yang tadi telah ditaklukan bisa bangkit lagi. Yang lebih mengagetkan yaitu segerombolan yang sedang bertarung dengan harimau itu, mereka..mereka adalah para penduduk ditempat tinggalku! Bagaimana mungkin? Banyak orang, hampir semuanya ada disini, bahkan Mama Papa Ida juga. Dan suara yang tak terdengar asing tadi adalah tetua kami. Dia yang pemimpin kami selama ini di tempat tinggalku. Tak peduli tentang menerjemahkan sekitar, yang hanya ingin kulakukan adalah menghabisi harimau-harimau itu atas balasan dia membuat temanku sekarat.
Ternyata benda yang kulihat sebelumnya adalah senjata yang jika ditarik atau dilepas talinya akan melambung batu yang diletakkan pada tempat yang telah disediakan. Itu cukup membantu membuat kawanan harimau tertarik mundur. Sisanya, hanya sekitar lima orang menggenggam batang bambu yang meruncing diujungnya untuk menyerang langsung pada harimau. Percuma. Harimau itu lebih gesit dari mereka. Setelah mengumpulkan tenaga dan amarah sebagai motivasi yang cukup membantu, ku melesat menjauhi tempat temanku, melewati bebatuan kasar, menuju salah satu harimau, tidak tapi dua harimau incaranku. Dayungan pada kaki sepeti terbawa angin, tak terasa. Dekat, semakin dekat, tangan yang semula mengayuh disamping badan semakin menguatkan genggamannya. Pada pijakan batu, kuhentakkan sekaligus kekuatanku dan mengangkasalah diriku. Sasaran ditepatkan, tangan bersiap, dan BUM!
Tanah bergetar, semua bergeming, harimau terpendam ke dalam tanah begitu dalam, bahkan seluruh tubuhnya tertanam dibalutan tanah basah sebab terkena guyuran air danau.
"Fokus! Tiga lagi!" pekik seorang lelaki yang sepertinya berumur sedikit diatasku. Terdengarlah raungan harimau disertai senjata batu yang melambung terus menerus membuat pertahanan hewan-hewan melemah sampai akhirnya tombak orang-orang yang mengantamnya mengakhiri kisah hidup para harimau itu. Belum, belum semuanya, tersisa satu lagi, harimau yang tadi disebutkan Ida, dengan senjata canggih dimoncongnya. Saat kulihat saluran pencernaan pada keempat harimau lainnya, yang ini justru ku melihat seperti cerobong perapian tetapi mengeluarkan cahaya yang dapat meluluh lantahkan apapun yang ditujunya. Hutan yang sebelumnya kukagumi karena keindahannya hancur karena kekuatan canggih itu. Semua semakin buruk ketika kutilik bagian dari pasukan yang tadi datang mengenai senjata hewan buas itu. Cukup, mengapa aku hanya memantau, padahal tanganku tak merasa sakit sedikitpun karena kejadian tadi.
Bergeraklah aku pada satu-satunya harimau yang tersisa, kilatan-kilatan cahaya berusaha mengenai bagian tubuhku, tapi tidak, cukup Aca yang hampir dibuatnya sekarat karena senjata itu, tak kuizinkan hewan itu menyentuhku. Mengaumlah dia disertai cakaran-cakaran yang diasongkan pada apapun didepannya. Hal kecil, sebut otakku saat menghindari cakarannya. Kembalilah ku lakukan hal serupa seperti sebelumnya, tapi kali ini dengan kedua tangan menggenggam bersatu menguatkan tekad. Tak kuberi kesempatan dia menyiapkan senjatanya, Â "Kesalahan apa yang temanku lakukan hingga kau berani menyerangnya?!" lalu DUAR! Bunyi benda terbanting ke belakang berpuluh-puluh meter. Meledaklah benda itu disertai sambutan teriakan memekik manusia. Ya, itu alat, itu benda buatan, bukan benar-benar harimau sungguhan seperti kawanannya yang lain.
Tamat sudah usia hidup para harimau. Walaupun amarah sebagai motivasi, ternyata tetap menguntungkan dan mencapai keberhasilan, baguslah, amarah itu yang mestinya ada, bukan mencak-mencak tak jelas. Nafas ngos-ngosan terdengar memenuhi langit senja. Ku pedarkan pandangan kesekitar, ada yang langsung terduduk lemas lega dengan kemenangan yang telah didapat, ada yang tersenyum bangga pada usaha yang telah dibuat, tapi ada yang terisak pilu meratapi nasib sang tersayang. Itu dia, ada Aca yang belum selesai kuatasi.
VII. Fakta dan Pengkhianatan
Semua orang tengah mengobati lukanya masing-masing dan membantu sesama. Ku sorot sosok pemuda yang sedang sibuk kesana kemari membantu korban yang terluka. Dialah yang tadi sempat menyadarkan orang-orang setelah kejadian pertamaku menghantam kepala harimau. Kuhampiri lelaki itu, tersadarlah ia karena ada seseorang yang mendekatinya. Sorot tajam matanya bak elang, tatapannya sedingin es, rahang tegasnya mengisyaratkan keberanian seorang lelaki, tubuh tegapnya bagaikan sigap menghadang apapun marabahaya di hidupnya.
"Kau, Reyza?"
"Hm," hanya itu balasnya. Ingin ku timpuk kepalanya dengan batu tapi tak jadi.
"Oke pak Rey, karena saya malas berbicara dengan Pak Arnold mengenai mengapa kalian bisa berada disini, maka hal tersebut akan ku tanyakan pada dirimu saja." ujarku mengawali.
"Baiklah gadis kecil, yang pertama, jangan memanggilku dengan sebutan 'pak' karena aku masih bahkan sangat muda." ucapnya.
"Tapi kau lebih tua dariku"
"Tapi akupun belum jadi bapak-bapak"
"Ya baiklah baiklah Re"
"Yang lain"
"Hmm ija?"
"Pake z bukan j"
"Ja"
"Za"
"Enakan ja, ija, ijaaa ijaaa ijaa," sembari bersenandung.
"Rey saja."
"Ohh re iii"
"Hey!"
"Iya iya, Za"
"Nah"
"Nah! Jadi jelaskan bapak Ija mengenai-"
"Kau-"
Belum sempat umpatan itu keluar, tiba-tiba dalam kedipan mata terlihat sewujud layar transparan berukuran sangat besar dihadapan seluruh orang yang sedang beristirahat ini. "Hologram," cicit Pak Arnold tetua kami. Mata orang-orang terutama aku yang tadi baru dan belum selesai berdebat dengan pemuda disampingku itu menatap ke layar tersebut. Layar itu hanya terdiam tanpa ada penampilan apapun, keheranan melanda kami semua. Tergerak mundurlah kami ketika mendadak muncul wajah seseorang didalam benda bernama hologram itu. Tapi bukan itu yang menambah keterkejutan, melainkan wajah yang munculnya, wajah itu adalah wajah..paman Aca.
"Selamat sore wahai kalian para mutan,"
"Mutan? Jadi benar kita ini?" ucap salah satu orang.
"Pa-paman?" suara Aca tahu-tahu terdengar. Syukurlah dia telah sadar, walau perasaanku tetap tak karuan.
"Kau mempercayai kalau aku ini pamanmu Aca?" balas lelaki itu di layar hologram.
"Maksud paman apa?" teriak Ida.
"Syukurlah otak-otak kalian sepenuhnya teracuni. Ya setidaknya, selain si tua Arnold itu," tunjuknya pada pemimpin kami. Semua orang pun otomatis menghadap pada orang yang dimaksud.
"Ya! Akulah orang yang pulih ingatannya setelah Brama! Maka dari itu, ku kembali menggait orang-orang disini untuk menemukan kebebasan diluar sana!" pekik Pak Arnold sampai urat-uratnya nampak. Brama..dia menyebutkan nama Ayahku, jadi-
"Haha kebebasan? Tak cukupkah kalian hidup enak didalam kubah ini dengan segala macam isinya?" Dia bilang apa tadi? Enak? Kubah? Selama ini kita hidup dalam kubah? Kerasnya Ica berpikir.
"Paman, apa yang paman bicarakan? Paman kemarilah, kita butuh obat disini terutama untuk Aca, lihat dia paman! Keponakan paman butuh-"
"Dia bukan keponakanku!" jelas orang yang takkan mau ku percayai lagi. Dasar paman palsu! "Sudahlah, kalian semua ini mau kemana? Melakukan hal bodoh dengan kembali menghancurkan tembok di ujung sana? Begini saja, lebih baik kalian kembali ke pulau itu dan hidup dengan aman dan sentosa. Jika kalian tak mau, maka cara paksaan takkan mungkin tak dilakukan oleh kami." lanjut orang itu.
"Diam kau bajingan!" seru pria disebelahku. Tak ku sangka lelaki es itu bisa juga mengumpat. Sebelum orang-orang mendapat penjelasan lebih akurat, hologram itu sudah menghilang entah kemana.
"Maafkan paman, Ica, maaf" ujar pak Arnold sembari menunduk didepan mukaku.
"Pak, apa yang bapak lakukan? Kenapa bapak tak memberi tahu aku tentang ini? Kenapa bapak selama ini merahasiakannya? Kita semua hidup dalam kedustaan selama ini! Kenapa pak? Apa maksud mereka mengurung kita?" gemetarku menahan tangis.
"Panggil paman saja, nak. Paman tak pernah bermaksud menyembunyikan ini semua. Dengar, ingatan paman pulih setahun setelah kepergian Ayahmu. Ayahmu adalah bagian dari mereka, tapi Ayahmu dihukum karena mencintai salah satu tawanannya disini, yaitu Ibumu. Terlebih Ayahmu semakin memberatkan hukumannya karena ingin membantu kita bebas waktu dulu. Ayahmu jugalah yang meretas sistem tembok itu hingga kami semua dapat lebih mudah membobolnya. Tapi mereka tak tinggal diam, setelah kita berkeliaran diluar dan balas dendam dengan membuat kerusakan pada kota, mereka menangkap kami lagi dan kembali menjebloskan kami kedalam kubah ini, ingatan kamipun dicuci oleh mereka hingga hasilnya sejarah para leluhurlah yang kita ketahui." jelasnya panjang lebar.
"Brama?" lirih Ibu
"Sinta, sungguh maafkan aku, aku" paman menghela nafasnya, "Malam itu paman Aca datang padaku, darinya aku tau juga kalau dia bagian dari mereka, bahkan dia pelayan setia. Dia mengatakan bahwa Brama bermaksud kembali dan mengabdi ke pekerjaannya tapi dengan melakukan negosiasi terlebih dahulu demi kebebasan kita. Dia bilang kalau ingin Brama tetap selamat, aku harus tetap tutup mulut tentang kejadian di masa lalu dan kebenaran lainnya. Maka kulakukanlah itu, setelahnya ia menghilang seperti yang kita ketahui selama ini. Setelah Reyza memberitahuku bahwa Ica mengikuti jejak Ayahnya, aku berbaik hati mempercayai omonganmu dan mendiamkanya bukan. Tapi si Arnold itu datang dengan bentuk hologram seperti tadi dan mengatakan bahwa Brama..dia telah meninggal karena tangan-tangan mereka lewat musibah buatannya. Semuanya, banjir sampai harimau tadi juga buatan mereka." jelas tetua kami itu sejelas-jelasnya disertai tangan mengepal menahan amukan yang siap keluar kapanpun.
Ya, orang yang mengintai ketiga gadis di dermaga adalah Reyza, bukan karena dia mata-mata Arnold, melainkan dia salah satu orang yang sama halnya seperti Ica, ingin mencari tahu kebenaran. Dia juga ingin menguak tujuan apa yang mendorong Ayahnya Ica pergi dari pulau yang mereka tempati.
 Ternyata aku memang persis seperti Ayah, Ayah memang tak kembali ke tempatku disana, akupun demikian. Tapi itu hanya karena demi mencapai tujuan, tujuanku dan Ayah pun sama. Bagaimana dengan nasib selanjutnya? Apakah akan sama? Yang terpenting ku harap aku tetap bisa mencapai tujuan itu.
Perasaan campur aduk mencengkeram hatiku dan Ibu. Bagaimana mungkin orang luar itu tega menghabisi Ayah. Tak cukupkah mereka menghukum pembela kebenaran itu? Salahkah jika ada seseorang yang ingin melindungi orang-orang tersayangnya? Sedih, sesak, marah, pilu semua emosi berkumpul melingkupi.
Ku tau perasaan itu tak hanya menerpa diriku, temanku yang baru tersadar tadi kembali mengalami masa dropnya, perkataan lelaki yang selama ini membuatnya tersenyum justru yang meretakkan kepingan kepercayaan yang melebur bersamaan dengan perkataan hina dari mulut lelaki itu. Tak disangkanya air mata yang jatuh tatkala mengetahui pamannya itu hilang hanya sia-sia. Saat ini pun apa dia masih bisa mempercayai bibinya? Karena bibinya tak ada bersama orang-orang yang merantau dengan paman Arnold. Atau bibinya tengah mencemaskan dia? Apa bibinya baik-baik saja? Oh tidak, apa diri Aca sendiri baik-baik saja?
"Ja-jadi aku siapa?" ucap Aca terbata-bata, "Kau temanku, kau teman sejati ku Aca, kau sahabatku," serak Ida yang terfokus memandang Aca. Disertai senyuman, air mata dan sesak nafas yang kentara terlihat membuatku berlari padanya dan menggeleng-gelengkan kepala.
"Tidak Aca tidak, kau mesti bertahan. Lihatlah, kau baru saja sadar dari luka yang jarang sekali orang lain bisa menahannya. Bertahanlah, kumohon Aca, kumohon," bukan suara serak yang keluar, melainkan pekikan tertahan dengan linangan air mata berharga.
"Ya, aku berjaya menjadi makhluk sosial dengan status teman untuk kalian, aku aku aku ingin kalian membabat habis makhluk yang sudah membuat kesengsaraan ini, ak-"
"Diam Aca! Kau terlalu banyak berbicara! Istirahat saja, oke?" ucap Ida melembut.
"Baik, baik, aku akan istirahat," senyumnya yang baru kali ini kulihat indah. Selama ini bagiku tak ada bagus-bagusnya kedua temanku itu, tapi kali ini aku akan mengakui, aku akan mengakuinya.
"Besok bangun ya, Aca. Kita kan mesti kembali ke medan perang, akan dipastikan kita menang," simpul bibirku.
"Aku...lelah. Orang lelah harus istirahat bukan? Hehe," kikikan yang semakin lama semakin pudar kemudian berganti erangan dari bibir gadis itu. Suasana amat sunyi, bukan karena sedang menikmati situasi, tapi sebaliknya. Helaan nafas yang memberat menambah kerutan pada dahi siapapun yang mendengarnya. Pilu.
Detik demi detik, hanya genggaman yang dapat kurasakan sebagai kekuatan. Hingga genggaman itu semakin menipis kekuatannya, semakin melonggar, sampai benar-benar terlepas, sampai benar-benar tak terdengar lagi penderitaan yang tadi menggerogoti. Kelopak mata dengan lentiknya bulu di ujungnya yang menghiasi, secara lambat laun tak diberikan tenaga untuk terus membuka, bergerak turun sampai tertutuplah mata itu, maka tertutuplah pula perjalanan hidup Aca. Hidup yang baru diketahuinya di detik-detik terakhir penuh kepalsuan. Setidaknya ada secuil kebahagiaan karena sempat mengetahuinya, semoga saja begitu.
VIII. Lara
Hari itu, alampun ikut bersaksi bagaimana kesedihan membantai kami semua. Semua orang terluka, ada yang terluka karena kebohongan, karena penghianatan, ada pula yang karena kehilangan. Langit menjadi saksi bisu seperti memahami langsung berganti menjadi kegelapan. Bukan malam indah seperti sebelumnya, yang ada hanya gelap. Bahkan awan-awanpun ikut menyeruakkan suaranya dengan lelehan air yang menghujam apapun dibawahnya. Semua berduka. Kalimat itu yang tepat untuk mendeskripsikan keadaan. Tak ada yang menginginkan ini terjadi. Tak ada yang menginginkan kawan seperjuangannya gugur ditengah jalan. Tak ada yang mengharapkan malam sunyi diisi tangisan. Tak ada yang dapat berpikir jernih apa yang mesti dilakukan, setidaknya dalam jangka waktu dekat.
Jam berikutnya, paman Arnold selaku pemimpin memecah senyap yang lama menghantui. "Setidaknya, kita dapat membuat peristirahatan terakhirnya dengan baik," usapnya pada pundakku.
"Ya, benar sayang," Ibu menyetujui. Hanya anggukan yang dapat kuberikan saat itu, tenggorokanku sangat kering walau hujan mengguyur.
"Tapi, tuan, sekarang masih hujan, tanahnya.." Ida mampu menimpali.
"Hujannya tak lebat, setidaknya takkan membuat tergenang walau di dalam tanah," lelaki yang biasa dipanggil Rey itu menanggapi. "Hm baiklah."
Prosesi pemakamanpun berlangsung, mulutku masih saja terkunci sampai acara itu selesai. Aca akan senang karena banyak orang yang mengurus dan peduli padanya demi kenyamanan persinggahan terakhirnya. Untungnya hujan berhenti seperti lagi-lagi mengerti keadaan kami, penerang bulan pun menampakkan dirinya seperti ingin ikut menyaksikan. Ranting- ranting kayu yang telah diamankan pun dapat dibuat kayu bakar.
Semua orang kembali ke tempatnya masing-masing, mencari kehangatan, Ibu dan Mama Idapun ku sarankan membantu yang lain membuat kayu bakar, mencari makanan atau persediaan lainnya. Tersisalah aku dan Ida didepan gundukan tanah yang baru selesai diurus itu. Tinggal kami berdua, hanya kami berdua. Tak ada lagi si otak cerdas, tak ada lagi si realistis, tak ada lagi si dramatis, tak ada lagi yang melompat-lompat dan melayang, tak ada lagi sosok itu, tak ada.
Ida menemukan batu disekitar yang berbentuk unik, hampir menyerupai bentuk hati, maka ditarulah batu itu diatas rumah terakhir Aca, sekaligus sebagai pertanda. Aku yang melihat bunga didekat kaki pun berinisiatif mencabutnya dan menaburnya di gundukan itu. Dua pasang mata yang awalnya hanya menatap pada timbunan tanah berganti arah sampai pandangan itu menyatu. Bola mata kami saling menatap, bisu, hampa, lalu giringan tangan yang membawa kami pada pelukan. Pelukan sahabat yang seharusnya dilakukan oleh 3 orang, tapi sekarang hanya berdua. Kata apa lagi yang dapat menggambarkan suasana diantara kedua gadis itu?
"Sinta, maafkan kami. Saya selaku perwakilan dari yang lainnya meminta maaf karena tak mempercayai Ayahmu, bahkan kami meremehkan dan menertawainya. Kami tak pernah menyangka bahwa dia bermaksud menolong kita semua. Sungguh, maafkan kenaifan kami semua. Mungkin memang ingatan kami belum pulih, tapi semua yang telah kami saksikan membuat kami percaya dan yakin terhadap kebenaran yang masih harus digali." ucap salah satu orang yang datang bersama paman Arnold.
"Ya. Bahkan awalnya kami tak mempercayai ketika tuan Arnold mengajak kami pergi, tapi pikiran kami berubah ketika ia membuktikan bahwa kita bisa menyelam di air tanpa kesulitan. Mungkin kekuatan kami belum bisa menguar sampai seperti yang gadis-gadis dan kau lakukan, tapi kami akan tetap berusaha. Kami hanya bisa membuat benda ini sebagai kendaraan sekaligus senjata apa adanya. Tolong maafkan kami." timpal yang lainnya.
"Maafkan kami juga, karena bukannya mendukungmu karena kehilangan sosok Ayah, kami justru mengabaikan dan menjauhimu yang padahal masih butuh bimbingan seperti anak kecil lainnya. Padahal kau tak melakukan kesalahan, begitupun Ayahmu.." suaranya mengecil.
"Jangan panggil aku anak kecil paman, aku Ica, namaku Ica." jawabku yang bukannya fokus ke permintaan maafnya justru ke kata anak kecil. "Kau ini." geleng-geleng Ibu. "Hehehe"
"Ica, maafkan paman juga yang tak memberitahukan mengenai Ayahmu itu. Sungguh, dia kawan baik paman. Paman hanya ingin menjadi teman yang melindunginya, tapi paman ternyata tak dapat melakukan apa-apa," sesalnya sangat berbanding terbalik dengan sifatnya yang selama ini selalu tegas dan teguh, tak pernah terlihat sepasrah itu.
"Aku juga," ucap singkat seseorang. Oh, ternyata si Rey Rey itu.
"Apa?" tanyaku yang akhirnya berbicara.
"Sudah menguntitmu."
"Apa?!"
"Sudah sudah, aku dan anakku akan mencoba memahaminya. Kita semua disini adalah korban. Jadi, kita seharusnya bersatu, kita semestinya bisa melawan orang-orang itu. Kalian tak sabar merasakan udara yang sesungguhnya bukan? Memang ciptaan mereka ini sungguh sangat sempurna, tapi apa gunanya kalau tak murni? Mengapa pula hidup kita begini terus mengandalkan alam? Kapan kita mengandalkan otak kita? Mereka saja bisa membuat alam tiruan, kita juga semestinya bisa lebih, apalagi kita sekarang istimewa." tutur Ibu yang selalu membuatku bangga dan tersenyum.
IX. Ambisi
Pagi menyapa kami semua, walaupun separuh padang rumput dan pepohonan telah diluluhlantahkan, kicauan burung seperti tak terusik dan senantiasa bernyanyi di pagi hari. Harumnya tanah basah baru terasa membuai penciuman, tak seperti tadi malam. Seakan menyambut kisah baru, tujuan baru, semua orang bersiap dan semakin lebih siap.
"Sudah waktunya," ucap Reyza.
"Ya kau benar. Hari ini, akan kita buktikan dan sajikan kemampuan yang telah lama terpendam. Tak diizinkan apapun dan siapapun menghalangi langkah kita. Di ujung sana, mereka pasti telah menanti, sama seperti waktu silam. Kalian semua! Bersiaplah! Yakinkan diri kalian untuk memunculkan kekuatan yang ada! Kita pasti bisa!" serunya memimpin.
Mengambil posisi, ada paman Arnold di paling depan, sepasukan pemegang tombak beserta aku, Ida dan Ibu dibelakangnya. Dibelakang kami Mama dan Papa Ida diikuti pasukan lain yang mengendalikan senjata seperti meriam batu, dan barisan lainnya, mereka setidaknya sudah bisa menampakkan kekuatannya dengan mengangkat batu-batu besar itu. Bahkan ada yang membawanya ditangan tanpa perlu meriam. Batu-batu besar memang bertebaran dimana-mana.
Dari belakang ku dapat melihat punggung tegap seorang pemimpin yang akan bertanggung jawab sampai tujuan tercapai. Aku tak pernah menyangka bahwa kami akan sampai perang, inikah perang? Mengapa mesti perang? Mengapa tak dibiarkan saja kami menemukan kebebasan? Oh itu dia, pertanyaan itu yang belum terjawab. Aku belum mendapatkan jawaban dari paman mengapa kita sampai dikurung. Tapi disaat seperti ini kembali bertanya hanya akan membuang waktu, karena kita semua belum mengetahui sejauh mana untuk mencapai ujung. Barat. Itulah arah yang selama ini jadi patokanku menjelajah, dan akan menjadi tujuan kami sekarang.
"Majuu!" seru sang pemimpin.
Tergerak jiwa dan raga serentak melaju ke arah barat, dengan mentari sebagai saksi. Harapan yang haus didapat oleh kawanan manusia hari itu. Waktu berjalan tak terasa oleh mereka, bagi mereka se jam terasa se menit, tak ada kata lelah, tak ada kata menyerah. Sepasukan canggih telah mengawal pertahanan tembok yang sedang dituju pasukan lainnya. Kedua pasukan sama-sama gigih.
"3 kilometer lagi didepan!" teriak Ida.
Tidak seperti kawasan sebelumnya yang dipenuhi pohon-pohon bersanding, tempat ini hanya padang rumput luas dengan campuran tanah keras seperti landasan. Tempat yang cocok. Dibelakang pasukan manusia luar itu terdapat tembok, bukan, detailnya adalah kaca tebal yang tak diketahui ketebalannya oleh Ica dan pasukan yang bersamanya.
"Inikah tembok itu? Itu adalah kaca? Benar-benar seperti kubah setengah lingkaran," ujar Ica pada diri sendiri.
Pertarungan dimulai, lemparan batu-batu dilambungkan mengudara, senjata-senjata canggih dengan mudahnya melebur bebatuan itu. Memang tak sebanding, tapi tetap tak ada yang gentar.
"Pasukan pemilik listrik serang didepan! Bantu pasukan batu membobol kaca, sisanya tarik lawan ke dalam hutan!" perintah Arnold.
Ica baru mengetahui bahwa orang-orang yang bersamanya memiliki kekuatan listrik ditubuhnya, salah satunya Mama Papa Ida. Batu-batu yang mustahil teraliri listrik serentak terlempar ke sang target. Sebenarnya mutan itu kekuatannya apa saja? ucap dan kagum Ica dalam hati. Saat ia akan maju menyerang ke depan, ada tangan kokoh menariknya. "Kita pancing lawan ke hutan!"
"Tapi aku ingin-"
"Ikuti saja!"
Maka Reyza, Ica, Ida dan Sinta melakukan hal demikian, sedangkan Mama Papa Ida bergerak ke depan. Sebagian lawan berhasil ditarik mundur ke dalam hutan. Mengapa ke dalam hutan? Karena walaupun dengan senjata canggih, mereka tak bisa mengimbangi kegesitan lari Ica dkk. Meliak liuk mengitari pepohonan, kilatan-kilatan cahaya dari senjata ataupun listrik, memenuhi langit. Hutan itu telah benar-benar hancur. Biarlah, kerugian tercipta karena ulah orang-orang luar itu sendiri. Disaat yang lainnya memancarkan kekuatan jarak jauh, Icalah yang berani melawan dengan jarak dekat. Dengan pukulan dahsyatnya telah banyak pasukan lawan yang tumbang. Dengan senjata canggihnya pula sebagian pasukan pencari kebebasan terluka. Dengan kecerdikannya, Reyza memerintah untuk memungut senjata-senjata canggih dari yang telah gugur. Seimbanglah mereka.
Saat jumlah lawan semakin berkurang, datanglah 3 ekor harimau yang sama seperti sebelumnya. Mungkin memang itulah senjata andalannya. Dan dapat dipastikan yang kali ini ketahanannya melebihi yang kemarin. Dikerahkannya tenaga Ica memukul keras seonggok tubuh harimau, dibantu Reyza menancap ujung tombaknya pada mulut harimau untuk menghalangi peluru yang hendak keluar. Sia-sia, harimau itu justru mengibas dan melempar kedua muda mudi itu. Dengan pendaratan sempurna, kembali dengan bantuan pasukan lain, Ica bangkit menghantam harimau itu. Memanjatlah tubuh kecil itu ke atas pohon dengan lincah, saat mendapat kesempatan, melompatlah ia dan langsung memecah belah harimau itu sampai tangannya menembus dan menapak tanah. Hebat, masih memiliki tenaga, harimau itu kembali ingin mencakar tubuh Ica, lemparan batu dari Ibunya lah yang menolong. Skakmat, hewan itu musnah. Baru satu, masih ada dua lagi tersisa, masih ada pasukan lawan lainnya yang belum tumbang.
Setelah itu, Ibu Ica pun mengganti haluan jadi ke area perang di ujung tembok. Dari arah utara terlihat Ida yang sedang menaklukan harimau. Ternyata bukan hanya kemampuan melihat jarak jauhnya yang dapat diandalkan, matanya itu dapat membaca dengan baik gerak gerik musuh. Alhasil, dengan mudahnya ia menghindar dari serangan. Berpencarlah Reyza dan Ica mengurus sisa harimau, Ica pada Ida dan Rey pada harimau satunya.
Mereka yang bertarung di dalam hutan tak tahu menahu kejadian di dekat dinding, begitupun sebaliknya. Yang mereka ketahui hanyalah banyak suara-suara ledakan dimana-mana. Langit yang semula bersih telah terkontaminasi dengan puing-puing alam ulah makhluk-makhluk yang tak gentar mencapai tujuan. Mereka mengerahkan seluruh tenaganya, sampai Ica yang terus menerus menerjang dan melesat mulai merasakan energinya menurun, tapi harimau dan pasukan lawan seperti tak mempunyai rasa lelah. Hingga di pukulan terakhir Ica pada salah satu harimau, ia pun ambruk. Tak ada yang sempat mencemaskannya, semua sibuk dengan lawan masing-masing. Tubuh anak bernama Ica itu sedang mengalami fase paling rendahnya.
"Ijaa!" teriak Ica, "cepat kau menggempur lawan ke depan bantu Paman Arnold, yang disini biar ku urus dengan Ida dan sisanya."
"Bagaimana mungkin?! Kau terlalu mengeluarkan semua tenagamu. Sekarang kau bangkitpun tak bisa!"
"Cepat jangan pedulikan aku! Tujuan kita adalah dinding itu," ucap Ica yang mulai kesulitan melanjutkan ucapannya.
Tak mempermasalahkan panggilan lagi, Rey langsung berlari ke barat dengan senjata siap ditangannya. Ica terus meyakinkan dirinya untuk bangkit, 'ini tak boleh terjadi, tak boleh ada banyak korban jiwa lagi' batin Ica. Tak seperti harapan sang gadis, satu-satunya teman yang seumuran dengannya itu justru terkena bantingan harimau, naasnya malah semakin diperparah dengan dahan yang menimpa diatas tubuh anak yang masih dikategorikan belum dewasa itu. Saat Ica mulai bisa menggerakkan badannya berniat menolong, harimau yang masih gesit tadi terlanjur menghantam dan menjebloskan Ica ke dasar danau, teramat kuat.
Dinginnya air menyapa kulit-kulit ku, pukulan hewan itu tak main-main begitu nyeri rasanya. Mereka benar-benar ingin menghabisi kami, tapi apa kesalahan kami? Kami hanya pejuang yang ingin bebas dari kungkungan buatan ini. Kelopak mataku yang semula terbelalak kaget semakin menurun, tanda kepenatan. Apa inikah akhir hidupku? Berakhir di lautan dalam tanpa ada yang mengetahui? Mengapa badanku jadi benar-benar kaku? Dimana sosok pemberontakku? Hanya pikiranku yang bisa melakukannya? Mata itupun akhirnya benar-benar tertutup, tubuh itu semakin tertarik air ke jurang lautan tak berujung. Mengingat kembali keenggananku berurusan dengan air.
X. Bangkit
Tak ingatkah kau banyak orang-orang yang terluka? Tak ingatkah kau tujuanmu mengembara? Tak ingatkah kau temanmu itu sedang mengalami masa dropnya? Tak ingatkah kau Ibumu terus berjuang dan jadi penyelamat sedangkan kau hanya bertahan sampai disini? Tak ingatkah kau mereka telah membunuh Ayah dan sahabat karibmu?! hatiku bergemuruh.
Membeliaklah mataku sempurna, menatap sekeliling yang hanya dipenuhi kegelapan dan suara hampa menakutkan, "Ini bukan tempatku." Tubuhku yang tadinya hanya membatu sekarang benar-benar telah bugar, kekuatan tak terkira menguak dari dalam diriku, terus naik naik dan naik mencari permukaan. Dan syur! Meluncurku ke atas air mengudara menampilkan raga yang siap balas dendam. Sorot tajam mata berkoar-koar, langsung mendarat ke lawan yang akan menghabisi temanku, membabi buta semua musuh yang tersisa didalam hutan. "Menuju ujung!" teriakku menggema pada yang lain.
"Ida, beristirahatlah disini, kau sedang drop. Jangan biarkan energimu benar-benar habis, setelah membaik kau baru maju kesana." usaiku dan langsung berlari mencapai tujuan akhir. Batu, listrik, debu, bom, bogeman terngiung-ngiung di indra pendengaran.
Syukurlah Ibu, si Ija, dan pemimpin masih bertahan walau terlihat peluh disekujur tubuhnya, bahkan sebagian dengan ceceran darah. Aku kembali melawan jarak dekat, aku bisa melihat kawanan yang mengaliri listrik dari tubuhnya menyenter kekuatan ke arah dinding kaca, ajaibnya setelah kacanya retak maka berangsur-angsur akan kembali memulih seperti tak pernah tersentuh sebelumnya.
"ICA IZA maju kedepan! Hancurkan kacanya!" titah paman, lebih tepatnya sang pemimpin.
Semakin dekat kaca, tiba-tiba, paman Aca? Oh bukan, si paman palsu, senyumku menggunjing. "Paman gadungan! Aku lawanmu!" tepat, beliau menyadarinya.
"Apa katamu anak kecil?!" sembari siap menerjangku. Bola api sontak keluar dari tangannya, oh bukan, dari jam tangan itu. BUM! langsung hancur dengan tanganku, "Aku Ica! Ica Paman! Ica yang kau sebut anak kecil ini siap mengambil nyawamu!" murkaku.
Tak menyerah, terus menerus serangan diberikan lawan, terus menerus juga aku mudah menghindarinya, "Oke jangan jadi pengecut, majulah," ujarku pada diri sendiri. Terjanganku akhirnya membuat ia tersungkur jauh, berlari dan memukul lalu seterusnya begitu tanpa diberi kesempatan untuk bangkit.
"Sialan kau!" pekik dia marah.
"Hanya segitu paman?" dan bogeman keras membuatnya benar-benar terpelosok kedalam tanah. Satu pukulan lagi sudah pasti akan menghentikan nafasnya, karena pukulan sebelumnya saja sudah membuat tulang belulangnya remuk. Ku siap dengan tenagaku, "Kau hanya manusia biasa tanpa alat canggih itu!" lalu..
"Hentikan Ica! Tujuan kita adalah kaca didepan sana, bukan menghabisi si tua bangka itu!" ujar Rey kembali menyadarkan.
Akh, tak jadi. "Baiklah paman, walau belum seberapa, itu sudah sangat pantas dilakukan." Kembalilah aku berlari yang semakin dekat dengan tujuan.
Pemilik kekuatan listrik yang awalnya menyerang masing-masing jadi bersatu dan mulai meretakkan dinding itu, "Teruslah kerja sama," titah Rey yang menggunakan dua jam tangan dengan satu digunakan menyerang lawan yang mengganggu dan satu lagi untuk melaser dinding kaca. Dinding didepan mata, bum bum bum! Tiga pukulan telak namun tak banyak membuat perubahan. Akupun kembali berlari ke belakang untuk memulai ulang start, dengan pacuan batu yang dapat membuatku melayang seperti tadi keluar dari danau, kepalan tangan lagi dan lagi menghantam dinding. Sial! Kenapa energiku jadi mudah sekali habis? ucap dalam hati. Situasi tak menguntungkan, saat melakukan start dan melambung lagi, harimau tak diundang kembali menyerang dari samping yang berhasil menggulirkan tubuhku jauh.
Hey! Harimau itu ternyata masih ada? Huh wajar saja namanya juga senjata andalan, pikir Ica sempat-sempatnya walau sedang terguling-guling.
"Ica!" panggil Ida. Baguslah bocah itu telah bangkit. Ini dia hal yang tak ku sukai, terlihat lemah. Ida yang jadi melawan harimau lagi, si Ija yang membantu membobolkan kaca, Ibu, paman Arnold, Mama Papa Ida dan yang lainnya menuntaskan lawan, aku malah enak-enaknya terjerembab di tanah yang telah tandus ini? Huh. Apa mereka belum mengalami masa terendah kekuatannya? Oh tidak, kalau memang belum itu akan terjadi secara bersamaan. Harus segera ku tuntaskan misi ini, bangkit kembali Ica! Yo bisa yo! Yo yo ayo! Dan berhasil! Yes! Konyol, kenormalanku dimana? Hey musuh didepan, cepat Ica!
"Biar di urus sama yang lain harimaunya, terus hantam dinding kaca itu Ica." Benar juga kata si Ija.
"Hey kau, jangan gunakan seluruh tenagamu sekaligus, itu berbahaya Ija!" teriakku agar terdengar yang lain juga.
"Pakai zetttt!" terserahlah lelaki itu, hanya dinding dinding dan dinding yang jadi fokusku. Sedikit lagi, keretakan semakin memperparah, terus diperparah terus terus te-
"Hentikan!" bogeman mentah dari tua bangka tadi. Bodohnya ku melupakan beliau yang belum m a t i. Bukannya badannya sudah remuk? So so an bangun lagi.
Tercium atmosfir yang tak menguntungkan pihakku. Energi yang terpancar seperti mulai menyusut, redup. Hal yang ku takutkan terjadi. Kabar baiknya pihak lawan juga mengalami hal demikian. Ida yang menolongku dari paman palsu mulai lelah, Iza, ya akhirnya ku panggil dengan huruf z juga penat berhasil membuat pingsan si tua bangka, Ibuu?
"Semangat sayang, sedikit lagi," seperti terdengar tepat disamping telingaku, padahal ia jauh dibelakang, mungkin. Memang, hanya tinggal satu pukulan telak maka impianku tercapai. Aku akan melihat dunia luar, melihat hal baru yang belum pernah ku saksikan.
"Jangan Ica! Jangan gunakan seluruh tenagamu, kau sendiri yang bilang. Hey! Nyawamu bisa dalam bahaya!" Ida memperingati.
Tak ada pilihan lain, ini bukan hanya tujuanku, tapi tujuan bersama. Ancang-ancang ku siapkan, tangan mengepal berkemas, kaki berbenah, dan ku siap tamasya, eh maksudnya "Hiyaa!!" BUM BUM! Langsung dua gempuran otot lenganku.
XI. Pada Akhirnya..
Selesai. Selesai? Ya! Tujuanku tuntas, harapan semuanya tertunaikan. Sekaligus rasa sakitku akan berakhir. Aku tak akan merasakan kepiluan di dunia yang baru, kan?
Kacanya pecah.
Walau tak sepenuhnya tapi cukup untuk dilewati. Dengan bangga dan terharu mataku dapat melihat wujud rumah? Tapi lebih besar menjuntai keatas langit, bentuknya pun asing di mataku karena berbentuk persegi panjang dan dipenuhi kaca, ada banyak sekali. Senyumanku benar-benar menampakkan kebahagiaan, air mengalir yang bersumber dari balik mata melepaskan kepenatan. Inikah hal besar yang Ayah maksud? Indah sekali, Yah.
"Apa yang kau lakukan, hah?!" Iza marah.
"Kau hebat menggunakan alat canggih itu, Za. Seperti seorang ahli hehe,"
"Ja pun tak masalah, kau lebih hebat dan berani Ica," vokalnya lembut mendayu-dayu baru pertama kali kurasakan. Sorot tajam dan sinis hilang sejekap digantikan gunjingan senyum terpatri indah. Menawan. Tapi hanya senyum kecut yang bisa kubalas.
Ida berlari dari kejauhan, "Kau berhasil! Kau berhasil!" pekiknya haru. Tangan tergenggam di jemarinya, "Benar, aku berhasil, kita berhasil."
"Ica, Ica!" suara Reyza.
"Bertahan! Rencana kita masih banyak bukan setelah melewati ini, impianku, impianmu belum berakhir Ica! Bukan hanya sampai sini! Jangan lemah! Kau tak memiliki sifat itu!" setelahnya hanya suara ngiungan yang dapat ku dengar, tak jelas, buram, kabur. Ibu, kau dimana, aku tak bisa menahannya, apa mungkin kau sedang terengah-engah berlari ke arahku? Ibu, semuanya mulai buyar, sebelumnya apa kau bangga atas semua yang kulakukan ini? Bu, inikah saatnya? Tertutupnya histori, untukku?
Tapi,
Aca
Ibu
Ayah
Aku berhasil.
Aku, akuu.....
"ICAA!!!"
Epilog
Bisakah ku disebut orang beruntung? Beruntung karena selamat dari perang? Beruntung karena direkrut menjadi bagian dari pekerja eksperimen ilmiah?
Awalnya demikian. Awalnya ku patuhi semua aturan. Sampai sahabatku yang memulai perubahan.
"Benarkah yang kita lakukan ini?"
"Apa maksudmu kawan?"
"Apa maksudnya pula memanfaatkan manusia yang merupakan bagian dari kita?"
"Brama!"
"...."
"Jangan mempersulit dirimu. Aku sebagai saksi kekejaman negara itu. Teknologi dan ciptaan mereka semakin canggih, jangan mau lagi kita dikalahkan!"
"Tapi eksperimen manusia juga tidak dibenarkan Mahesa!"
"Kita justru memudahkan semuanya. Mereka beruntung akan memiliki kekuatan unik dan hebat, dan kita diuntungkan karena bantuan mereka dalam perang." senyum kecilku.
"Ini sama saja seperti menggunakan bahan atau senjata kimia dalam perang. Dan itu dilarang, Hes!"
"Hentikan, Bram." pergiku.
Disitulah awal mula ku biarkan Brama merecoki dan melakukan tujuannya. Disitu ku mulai berpura-pura menjalankan tugas jarak dekat dengan menjadi seorang paman dari gadis malang yang kedua orang tuanya telah direnggut nyawanya oleh pihak musuh. Dari situ ku mulai membuat kelonggaran sendiri, mulai dari situ aku mempunyai rasa simpati. Aku mendapatkan kasih sayang yang kurindukan selama menjadi Paman Aca. Tapi, mulai dari musibah besar itu, kapten mempererat pertahanan dengan membuat lapisan kaca bertambah. Dan akupun kembali mengabdi dan serius pada tujuan awal, walau sedikit dengan rasa tak karuan. Hanya Brama yang lebih berani, aku tak mampu melakukan pelanggaran itu, walaupun aku ingin, walaupun tak ada yang mengetahui. Karena kepercayaan terhadap diriku yang merupakan pelayan setia kapten.
Tempat ini, terlihat besar, benar-benar megah bahkan menjulang melewati awan. Tempat ini, hanya diketahui sebagai pusat eksperimen-eksperimen ilmiah tercipta tanpa mengetahui maksud utama dibentuknya. Tak ada yang mengetahui, kecuali para pekerja didalamnya yang tak pernah keluar dari tempat itu. Sekali direkrut, sekali masuk, selamanya menetap. Orang luar hanya berpikir hidup disini benar-benar enak dan memadai hingga enggan keluar, walaupun benar, alasan lebih tepatnya bukan itu. Privasi harus tetap aman, bukan?
Kejadian silam membuat aib besar bagi negara dan para ilmuan disini, untungnya berita itu tak sampai ke pihak negara luar, semua langsung dibereskan dan diberantas, di masukkan kembali dalam kubah buatan itu. Lapisan yang semula hanya 2 ditambah lagi dan ditampilkan replika atau hologram perkotaan yang terlihat seperti nyata. Tentu saja untuk memanipulasi mata, tentu saja untuk mengecoh para mutan didalamnya. Karena tak menutup kemungkinan, yang tahun silam saja berhasil menggempur kungkungan dinding kaca selebar 30 cm dengan bahan terkuat sekalipun, apalagi yang akan mendatang? Yang telah disodori dan dicampuri bahan terbaru lainnya. Mutan-mutan itu juga dapat berbahaya mengancam nyawa orang-orang tak bersalah.
Jadi, apakah mutan itu ada? Atau mutan itu hasil penciptaan? Apa yang dilihat Ica itu benar-benar dunia luar? Atau hanya replika buatan saja?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H