Mohon tunggu...
Afroh Fauziah
Afroh Fauziah Mohon Tunggu... Lainnya - mahasiswa

Pemahaman

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kungkungan Buatan

10 Februari 2021   02:44 Diperbarui: 10 Februari 2021   03:01 2639
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perjalanan dilanjutkan tanpa bahasan kelelahan ataupun bosan, kami tetap menikmati perjalanan walau udara malam yang identik dingin. Semilir angin mendayu-dayu membuat siapapun seperti di nina bobokan. Tapi apa yang terjadi dengan para anak yang beranjak remaja itu dapat melampaui batasannya, mata mereka tetap awas melihat sekitar sampai mentari berganti di bentangan langit itu.

Dengan sesekali menonjolkan bagian kepala ke permukaan air, aku melihat betapa jauhnya kami telah meninggalkan tempat yang kami tinggali sedari kecil itu, menciptakan jarak tak terkira. Mengendalikan kepala dengan bergerak ke arah berlawanan, aku melihat setitik kawasan baru, setitik harapan yang membawaku kembali menyelam meneriakkan dan berbagi harapan itu pada Ida dan Aca. Harapan yang kami tunggu dari kemarin, lebih tepatnya dari tahun-tahun lalu bagiku. Tak perlu menunggu respon, kami serempak segera mempercepat dorongan pada kaki, membelah air yang tertangkap oleh manik mata. Meskipun kami tau jaraknya tak sedekat yang dikira, kegigihan yang terpatri tetap tak tergoyahkan.

Terbayarlah sudah kekeraman pada kaki dengan adanya bentangan kawasan luas yang dihinggapi berbagai pepohonan bersanding. Berbeda dengan tempat yang kami kenali sebelumnya, disini lahan yang menjadi tumpuan dominan dengan rerumputan segar, bukan tanah lapang seperti tempat tinggal kami. Kegaduhan yang diciptakan oleh makhluk hidup lainnya terdengar di gendang telinga. Ya, kicauan burung yang merdu seakan merasuki kesunyian belantara jiwa, tidak seperti saat dalam perairan yang akan kami tinggalkan dibelakang. Pohon-pohon menari riang bak menyambut kedatangan tiga sekawan ini.

Tepian kakiku yang pertama menjejak daratan itu, memberikan kesan bangga telah memecah pertanyaan-pertanyaan yang selama ini bersemayam di lubuk hati. Tak heran bukan bahwa hal pertama yang kami lakukan adalah berdiri tegap dengan tangan membentang menyambut kehidupan baru  di depan mata. Dengan dorongan kaki, kembali kami menyambung perjalanan yang belum atau bahkan takkan berakhir.

Dengan kesadaran bahwa diantara kami sedari tadi dipenuhi keheningan tanpa obrolan, muncullah inisiatif Ida membuka pembicaraan. "Apa mama papa akan percaya kalau aku menjelaskan tentang tempat ini?"

"Mungkin," gumam Aca "karena pada akhirnya akupun demikian." lanjutnya.

"Baiklah, ayo mulai menjejakkan langkah kita dipadang yang luas ini, kalian tak bisa hanya menatap kagum sampai disini!" semangatku tak pudar.

III. Tak Terduga

Langkah demi langkah terlewati, tuturan demi tuturan tergaungi. Masuk ke hutan semakin dalam, berinteraksi dengan hewan yang menyapa, menyibakkan tumbuhan yang mendindingi perjalanan kami. Cicitan jangkrik menaungi, desiran angin melengkapi. Adakah alam yang lebih indah daripada ini? Tanyaku dalam hati. Bukannya mengurangi pertanyaan dengan mendapatkan jawaban, justru aku ditimpa oleh kekaguman baru yang terekam dimata hingga selanjutnya sampai pada otak. Didepan sana, terlihat segerombol air mengalir mengikuti takdir mereka, dari atas tebing curam hingga ke permukaan yang tenang. Tunggu, apa? Air itu, air itu telah menghiptonis tiga orang dihadapannya. Bukan main eloknya air yang berani terjun dari atas tebing itu, semakin memperdaya makhluk manapun yang melihatnya.

Tanpa sadar, bukan hanya aku yang terpanggil bergerak maju, dua sekawanku pun melakukan hal serupa. "Adakah satu orang saja manusia yang dapat menjelaskan kemolekkan alam di hadapan pupil mataku ini?" Aca berucap. "Apaan sih? Lebay." Ida bergeming. "Bilang aja kamu ga mampu jelasin," ucapku menyahut perkataan Ida. Cengiran malu terpatri di wajah gadis berkulit putih itu.

"Ya oke-oke, kita skip. Sekarang, emm haruskah kita melewati sungai ini?" tanya Ida.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun