Mohon tunggu...
Afroh Fauziah
Afroh Fauziah Mohon Tunggu... Lainnya - mahasiswa

Pemahaman

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kungkungan Buatan

10 Februari 2021   02:44 Diperbarui: 10 Februari 2021   03:01 2639
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ya kau benar. Hari ini, akan kita buktikan dan sajikan kemampuan yang telah lama terpendam. Tak diizinkan apapun dan siapapun menghalangi langkah kita. Di ujung sana, mereka pasti telah menanti, sama seperti waktu silam. Kalian semua! Bersiaplah! Yakinkan diri kalian untuk memunculkan kekuatan yang ada! Kita pasti bisa!" serunya memimpin.

Mengambil posisi, ada paman Arnold di paling depan, sepasukan pemegang tombak beserta aku, Ida dan Ibu dibelakangnya. Dibelakang kami Mama dan Papa Ida diikuti pasukan lain yang mengendalikan senjata seperti meriam batu, dan barisan lainnya, mereka setidaknya sudah bisa menampakkan kekuatannya dengan mengangkat batu-batu besar itu. Bahkan ada yang membawanya ditangan tanpa perlu meriam. Batu-batu besar memang bertebaran dimana-mana.

Dari belakang ku dapat melihat punggung tegap seorang pemimpin yang akan bertanggung jawab sampai tujuan tercapai. Aku tak pernah menyangka bahwa kami akan sampai perang, inikah perang? Mengapa mesti perang? Mengapa tak dibiarkan saja kami menemukan kebebasan? Oh itu dia, pertanyaan itu yang belum terjawab. Aku belum mendapatkan jawaban dari paman mengapa kita sampai dikurung. Tapi disaat seperti ini kembali bertanya hanya akan membuang waktu, karena kita semua belum mengetahui sejauh mana untuk mencapai ujung. Barat. Itulah arah yang selama ini jadi patokanku menjelajah, dan akan menjadi tujuan kami sekarang.

"Majuu!" seru sang pemimpin.

Tergerak jiwa dan raga serentak melaju ke arah barat, dengan mentari sebagai saksi. Harapan yang haus didapat oleh kawanan manusia hari itu. Waktu berjalan tak terasa oleh mereka, bagi mereka se jam terasa se menit, tak ada kata lelah, tak ada kata menyerah. Sepasukan canggih telah mengawal pertahanan tembok yang sedang dituju pasukan lainnya. Kedua pasukan sama-sama gigih.

"3 kilometer lagi didepan!" teriak Ida.

Tidak seperti kawasan sebelumnya yang dipenuhi pohon-pohon bersanding, tempat ini hanya padang rumput luas dengan campuran tanah keras seperti landasan. Tempat yang cocok. Dibelakang pasukan manusia luar itu terdapat tembok, bukan, detailnya adalah kaca tebal yang tak diketahui ketebalannya oleh Ica dan pasukan yang bersamanya.

"Inikah tembok itu? Itu adalah kaca? Benar-benar seperti kubah setengah lingkaran," ujar Ica pada diri sendiri.

Pertarungan dimulai, lemparan batu-batu dilambungkan mengudara, senjata-senjata canggih dengan mudahnya melebur bebatuan itu. Memang tak sebanding, tapi tetap tak ada yang gentar.

"Pasukan pemilik listrik serang didepan! Bantu pasukan batu membobol kaca, sisanya tarik lawan ke dalam hutan!" perintah Arnold.

Ica baru mengetahui bahwa orang-orang yang bersamanya memiliki kekuatan listrik ditubuhnya, salah satunya Mama Papa Ida. Batu-batu yang mustahil teraliri listrik serentak terlempar ke sang target. Sebenarnya mutan itu kekuatannya apa saja? ucap dan kagum Ica dalam hati. Saat ia akan maju menyerang ke depan, ada tangan kokoh menariknya. "Kita pancing lawan ke hutan!"

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun