"Maafkan kami juga, karena bukannya mendukungmu karena kehilangan sosok Ayah, kami justru mengabaikan dan menjauhimu yang padahal masih butuh bimbingan seperti anak kecil lainnya. Padahal kau tak melakukan kesalahan, begitupun Ayahmu.." suaranya mengecil.
"Jangan panggil aku anak kecil paman, aku Ica, namaku Ica." jawabku yang bukannya fokus ke permintaan maafnya justru ke kata anak kecil. "Kau ini." geleng-geleng Ibu. "Hehehe"
"Ica, maafkan paman juga yang tak memberitahukan mengenai Ayahmu itu. Sungguh, dia kawan baik paman. Paman hanya ingin menjadi teman yang melindunginya, tapi paman ternyata tak dapat melakukan apa-apa," sesalnya sangat berbanding terbalik dengan sifatnya yang selama ini selalu tegas dan teguh, tak pernah terlihat sepasrah itu.
"Aku juga," ucap singkat seseorang. Oh, ternyata si Rey Rey itu.
"Apa?" tanyaku yang akhirnya berbicara.
"Sudah menguntitmu."
"Apa?!"
"Sudah sudah, aku dan anakku akan mencoba memahaminya. Kita semua disini adalah korban. Jadi, kita seharusnya bersatu, kita semestinya bisa melawan orang-orang itu. Kalian tak sabar merasakan udara yang sesungguhnya bukan? Memang ciptaan mereka ini sungguh sangat sempurna, tapi apa gunanya kalau tak murni? Mengapa pula hidup kita begini terus mengandalkan alam? Kapan kita mengandalkan otak kita? Mereka saja bisa membuat alam tiruan, kita juga semestinya bisa lebih, apalagi kita sekarang istimewa." tutur Ibu yang selalu membuatku bangga dan tersenyum.
IX. Ambisi
Pagi menyapa kami semua, walaupun separuh padang rumput dan pepohonan telah diluluhlantahkan, kicauan burung seperti tak terusik dan senantiasa bernyanyi di pagi hari. Harumnya tanah basah baru terasa membuai penciuman, tak seperti tadi malam. Seakan menyambut kisah baru, tujuan baru, semua orang bersiap dan semakin lebih siap.
"Sudah waktunya," ucap Reyza.