Mohon tunggu...
Afroh Fauziah
Afroh Fauziah Mohon Tunggu... Lainnya - mahasiswa

Pemahaman

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kungkungan Buatan

10 Februari 2021   02:44 Diperbarui: 10 Februari 2021   03:01 2639
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Ternyata aku memang persis seperti Ayah, Ayah memang tak kembali ke tempatku disana, akupun demikian. Tapi itu hanya karena demi mencapai tujuan, tujuanku dan Ayah pun sama. Bagaimana dengan nasib selanjutnya? Apakah akan sama? Yang terpenting ku harap aku tetap bisa mencapai tujuan itu.

Perasaan campur aduk mencengkeram hatiku dan Ibu. Bagaimana mungkin orang luar itu tega menghabisi Ayah. Tak cukupkah mereka menghukum pembela kebenaran itu? Salahkah jika ada seseorang yang ingin melindungi orang-orang tersayangnya? Sedih, sesak, marah, pilu semua emosi berkumpul melingkupi.

Ku tau perasaan itu tak hanya menerpa diriku, temanku yang baru tersadar tadi kembali mengalami masa dropnya, perkataan lelaki yang selama ini membuatnya tersenyum justru yang meretakkan kepingan kepercayaan yang melebur bersamaan dengan perkataan hina dari mulut lelaki itu. Tak disangkanya air mata yang jatuh tatkala mengetahui pamannya itu hilang hanya sia-sia. Saat ini pun apa dia masih bisa mempercayai bibinya? Karena bibinya tak ada bersama orang-orang yang merantau dengan paman Arnold. Atau bibinya tengah mencemaskan dia? Apa bibinya baik-baik saja? Oh tidak, apa diri Aca sendiri baik-baik saja?

"Ja-jadi aku siapa?" ucap Aca terbata-bata, "Kau temanku, kau teman sejati ku Aca, kau sahabatku," serak Ida yang terfokus memandang Aca. Disertai senyuman, air mata dan sesak nafas yang kentara terlihat membuatku berlari padanya dan menggeleng-gelengkan kepala.

"Tidak Aca tidak, kau mesti bertahan. Lihatlah, kau baru saja sadar dari luka yang jarang sekali orang lain bisa menahannya. Bertahanlah, kumohon Aca, kumohon," bukan suara serak yang keluar, melainkan pekikan tertahan dengan linangan air mata berharga.

"Ya, aku berjaya menjadi makhluk sosial dengan status teman untuk kalian, aku aku aku ingin kalian membabat habis makhluk yang sudah membuat kesengsaraan ini, ak-"

"Diam Aca! Kau terlalu banyak berbicara! Istirahat saja, oke?" ucap Ida melembut.

"Baik, baik, aku akan istirahat," senyumnya yang baru kali ini kulihat indah. Selama ini bagiku tak ada bagus-bagusnya kedua temanku itu, tapi kali ini aku akan mengakui, aku akan mengakuinya.

"Besok bangun ya, Aca. Kita kan mesti kembali ke medan perang, akan dipastikan kita menang," simpul bibirku.

"Aku...lelah. Orang lelah harus istirahat bukan? Hehe," kikikan yang semakin lama semakin pudar kemudian berganti erangan dari bibir gadis itu. Suasana amat sunyi, bukan karena sedang menikmati situasi, tapi sebaliknya. Helaan nafas yang memberat menambah kerutan pada dahi siapapun yang mendengarnya. Pilu.

Detik demi detik, hanya genggaman yang dapat kurasakan sebagai kekuatan. Hingga genggaman itu semakin menipis kekuatannya, semakin melonggar, sampai benar-benar terlepas, sampai benar-benar tak terdengar lagi penderitaan yang tadi menggerogoti. Kelopak mata dengan lentiknya bulu di ujungnya yang menghiasi, secara lambat laun tak diberikan tenaga untuk terus membuka, bergerak turun sampai tertutuplah mata itu, maka tertutuplah pula perjalanan hidup Aca. Hidup yang baru diketahuinya di detik-detik terakhir penuh kepalsuan. Setidaknya ada secuil kebahagiaan karena sempat mengetahuinya, semoga saja begitu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun