Mohon tunggu...
yeni purnama
yeni purnama Mohon Tunggu... -

apa nich

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Penjual Jamu Gendong Terakhir

18 April 2011   09:25 Diperbarui: 4 April 2017   16:21 824
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Iyo Mbak, jangan lupa juga jamunya buat Bapak sama Ibu.. Mbak sudah tahu, tho?” kata Fransisca sambil duduk di pinggiran teras.

“Yo  jelas.. heheh.” Mereka berdua tertawa bersama.

Edellia tengah menuang kunyit asam ke dalam gelas ketika Fransisca berkata, “Mas.. . mau jamu ndak?”

Tanpa firasat apapun Edellia mendongak ke pintu masuk. Seseorang yang ada di depan pintu masuk pun menatap pada tukang jamu remaja yang sedang duduk di teras dengan kebaya warna hijaunya. Irfan tidak bisa berkata apa-apa. Bibirnya terkatup rapat. Edellia pun kaget bukan main melihat kekasihnya ternyata adalah penghuni rumah itu. Dia tidak pernah tahu kalau rumah besar itu adalah rumah orang tua Irfan. Gelas yang dipegangnya hampir jatuh, kalau Fransisca tidak segera mengambilnya sendiri dari tangan Edellia. Setelah beberapa detik berpandangan Edell yang lebih dahulu mengalihkan matanya.

“Ada apa tho? Kok Mas Irfan sampe terpesona gitu,” canda Fransisca. Irfan tidak menanggapi. “Mau jamu ndak, Mas?”

Irfan tetap  tidak menangapi dan masuk ke dalam rumah. Sebelum pintu rumah ditutup satu orang lagi keluar. Rambutnya beruban dengan setelan kaos oblong dan celana sedikit di bawah lutut.

“Oh.. ternyata ndak salah dengar tho.. Jamu ne segelas Cah ayu,” kata orang tua itu.

“Lho… simbah… kok …” Ternyata yang keluar adalah kakek tua yang bisa ngobrol dengannya di bawah pohon beringin.

“Lha ini rumah anak saya Nduk.. apa aneh tho kalau saya menginap di rumah anak saya?”

“Enggak Mbah,” kata Edellia sambil tersenyum kecut. Ternyata kakek teman ngobrolnya selama ini adalah kakek dari pacarnya sendiri. “Biasa tho, Mbah?” Dengan cekatan Edell menuang jamu pada gelas. Rasanya gadis itu ingin menangis, tapi ditahannya dengan sekuat tenaga.

Segera setelah urusannya di rumah besar itu selesai, Edellia langsung membenahi dagangannya dan melangkahkan kaki tanpa menoleh ke belakang. Rasanya dia sudah tidak punya muka lagi untuk bertemu dengan Irfan. Apa yang harus dikatakannya nanti? Pikirnya dengan perasaan yang kalut.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun