Ketika berjalan di sekitar rumah itu, tidak ada teriakan khas tukang jamu yang dikeluarkan dari mulutnya. Dia hanya bisa membisu. Edellia tidak tahu kalau dari lantai dua rumahnya, Irfan memandanginya dengan tatapan sedih.
Malam itu Edellia tidak bisa tidur. Irfan tidak kunjung menelponnya meski sudah lewat tengah malam. Hari itu juga dia sudah bisa merasakan bahwa hubungan mereka akan berakhir. Besok tidak aka nada pertemuan apapun, seperti yang sudah pernah mereka rencakan berdua.
Namun, dibalik semua rasa sedih yang dihadapinya hari ini, sebuah beban besar seperti sudah diambil dari pundaknya. Kebohongannya sudah terbongkar, maka tidak ada yang perlu ditutupi lagi.
“Seorang tukang jamu… mana pantas pacaran sama anak dokter…” gumamnya pada diri sendiri. Air asin memasuki sela-sela bibirnya. Edellia menangis dalam diam.
***
Edellia dan Irfan terdiam. Sudah lima menit mereka berdua duduk diam di pembatas jalan di bawah pohon beringin. Itu adalah tempat Edellia biasa bertemu dengan Kakek tua. Awalnya mereka berencana bertemu di warung steak Amazone, tapi tidak disangka ketika Edell memutuskan untuk tidak menemui Irfan dan berjualan, malahan mereka dipertemukan di bawah pohon beringin. Mungkin Kakek tua yang memberi tahu Irfan bahwa Edellia tiap hari lewat sana.
“Aku tahu kamu nggak bakalan mau ketemuan sama Aku, Dell. Makannya aku kesini.” Suara Irfan berlomba dengan suara kendaraan yang baru saja melintas di depan mereka.
“Harusnya aku yang ngomong gitu, Mas.. Aku tahu Mas Irfan yang nggak mau ketemu lagi sama aku.”
“Ini buktinya ketemu.”
“Untuk memutuskan hubungan kita kan?”
“Kenapa kamu langsung menyerang begitu? Dengar dulu dong omongan Mas.” Irfan berkata tegas namun tidak kasar.