“Saya mengerti, Mbah.. Tapi saya nggak enak ngrepotin Mbah.. Lagipula…Emak saya juga sudah mewanti-wanti agar tetap melestarikan jamu gendong supaya tidak punah. Mbah tahu sendiri penjual jamu di Boyolali tinggal saya sendiri,” kata Edellia.
“Emak kamu berwasiat untuk melestarikan jamu gendong.. Tapi tidak berwasiat agar keturunannya berjualan jamu gendong kan?”
“Iya sih, Mbah….”
“Pikirkan saja dulu.. Bicarakan juga sama Bapak kamu.”
“Mbah… Mbah kenapa baik banget sama saya?”
“Mbah kan sudah bilang alasannya tadi.. Sudahlah jangan jadi beban begitu, Kuliah, lalu mandiri, itu saja yang harus kamu pikirkan.” Edellia tidak percaya pada apa yang didengarnya, tapi kakek tua di hadapannya tidak terlihat sedang bercanda. Edellia jadi bertanya-tanya siapa sebenarnya kakek tua yang berpenampilan bersahaja di depannya itu.
“Pak.. Disini tho rupanya.. ada tamu buat Bapak.” Tiba-tiba seorang laki-laki berseragam security menghampiri kakek tua itu.
“Oh… iya.. Waduh.. lali aku kalau sudah ada janji..” Kakek itu menepuk dahinya sendiri. “Ya sudah ya, Nduk.. Mbah pergi dulu. Jangan lupa sama yang Mbah omongin tadi.”
Edellia mengangguk. Dia memandangi Kakek tua dan security itu berjalan menyeberangi jalan lalu memasuki sebuah bangunan yang ternyata adalah sebuah restoran yang sangat terkenal karena masakan jawa nya. Entah siapa kakek tua itu.
***
“Pak, besok Edell nggak jualan ya.” Edellia menyapa Bapaknya yang sedang mengasah parang di belakang rumah. Hari masih sangat muda. Pukul 5.30 pagi. Dagangan Edellia sudah sudah siap, tinggal menunggu dijual saja.